Kelompok Separatis Papua Bentuk Pemerintahan Sementara

Kemlu sebut klaim Benny Wenda tidak mendasar karena ‘kembalinya Papua ke Indonesia sebagai negara penerus Hindia Belanda, sudah final.’
Ronna Nirmala
2020.12.01
Jakarta
Kelompok Separatis Papua Bentuk Pemerintahan Sementara Para mahasiswa asal Papua mengibarkan bendera “Bintang Kejora” lambangkan pro-kemerdekaan Papua dalam demonstrasi di Jakarta, 3 April 2017.
AFP

Pemimpin kelompok separatis Papua di pengasingan, Selasa (01/12), mengumumkan pembentukan pemerintah sementara Papua Barat sebagai upaya mewujudkan referendum menuju kemerdekaan dua provinsi paling timur itu. 

Gerakan Pembebasan Bersatu untuk Papua Barat (United Liberation Movement for West Papua/ULMWP) juga mendeklarasikan pemimpinnya, Benny Wenda, sebagai presiden pemerintahan sementara serta menetapkan konstitusi baru yang berfokus pada perlindungan lingkungan hidup dan hak asasi manusia.

“Hari ini, kami menghormati dan mengakui semua nenek moyang kami yang berjuang dan mati untuk kami dengan akhirnya membentuk pemerintah sementara. Mewujudkan semangat rakyat Papua Barat, kami siap menjalankan negara kami,” kata Wenda dalam pernyataan tertulisnya. 

Dalam waktu dekat, pemerintah sementara Papua Barat juga bakal mengumumkan Deklarasi Kemerdekaan Sepihak (UDI) untuk menegaskan kembali klaim mereka bahwa kehadiran negara Indonesia di Papua Barat adalah tidak sah. 

“Seperti yang diatur dalam konstitusi sementara kami, Republik Papua Barat pada masa depan akan menjadi negara hijau pertama di dunia, dan sinyal pandu hak asasi manusia yang menjadi kebalikan dari penjajahan berdarah Indonesia selama berdekade,” kata Wenda, yang saat ini berdomisili di Inggris. 

Juru Bicara Kementerian Luar Negeri, Teuku Faizasyah, menyebut klaim Benny tidak mendasar, lantaran “kembalinya Papua ke Indonesia sebagai negara penerus Hindia Belanda, sudah final.”

Pengumuman ULMWP muncul bertepatan dengan peringatan pertama kalinya bendera nasional Papua Barat—Bintang Kejora—dikibarkan dan dijadikannya nyanyian religi “Hai Tanahku Papua” sebagai lagu kebangsaan. 

Indonesia pada waktu itu menolak kemerdekaan Papua--diwujudkan melalui operasi Trikora (Tiga Komando Rakyat) di bawah komando Mayor Jenderal Soeharto. Kelompok pro-kemerdekaan Papua hingga kini menjadikan 1 Desember sebagai hari penting perjuangan menuntut pemisahan diri. 

Pemerintah Indonesia mengharamkan pengibaran bendera Bintang Kejora melalui penerbitan UU Otonomi Khusus Papua pada 2001. Aturan tersebut sempat tidak berlaku pada era Presiden Abdurrahman Wahid alias Gus Dur yang menilai bendera Bintang Kejora hanya sebagai simbol kultural masyarakat Papua. 

Pada 2019, sedikitnya 13 aktivis dan mahasiswa divonis penjara karena terbukti menurut pengadilan melakukan makar dengan melakukan pengibaran bendera Bintang Kejora saat unjuk rasa menuntut referendum keluar dari Indonesia.

Jumat pekan lalu, Kepolisian Resor Sorong Kota menetapkan enam orang sebagai tersangka kasus makar karena membentangkan atribut Bintang Kejora dalam aksi unjuk rasa jelang peringatan 1 Desember di Sorong, Papua Barat.

Pada Selasa, 15 peserta aksi dari Front Rakyat Indonesia untuk West Papua yang melakukan unjuk rasa penolakan otonomi khusus Papua di Sinjai, Sulawesi Selatan, ditangkap aparat kepolisian karena dituding berpotensi menyebarkan virus COVID-19 serta memicu perpecahan bangsa. 

Selain di Sulawesi Selatan, aksi memperingati 1 Desember yang dihadiri puluhan orang Papua juga berlangsung di Ternate Tengah, Maluku Utara, namun dibubarkan aparat karena tidak memiliki izin kerumunan. 

Sejak November, Polda Papua telah menyiagakan sedikitnya 3.000 personel, termasuk di lima daerah rawan kerusuhan jelang perayaan 1 Desember di Papua dan Papua Barat.

“Sampai saat ini belum ada yang menonjol di Papua terkait dengan 1 Desember. Namun demikian, memang untuk mengantisipasi itu dari bulan November, Polda Papua sudah melakukan kegiatan rutin yang ditingkatkan,” kata juru bicara Polri, Brigjen Awi Setiyono. 

Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB), faksi bersenjata kelompok pro-kemerdekaan Papua, menyatakan pihaknya akan merayakan 1 Desember dengan pengibaran bendera di 33 wilayah Komando Daerah Pertahanan (Kodap) yang tersebar di seluruh wilayah Papua dan Papua Barat. 

“Selama 58 tahun kami selalu melakukan upacara militer, menaikan bendera, menyanyikan lagu kebangsaan. Dengan semangat itu kami akan terus berjuang,” kata Sebby Sambom, juru bicara TPNPB. 

Pendekatan kesejahteraan

Kepala Kantor Staf Presiden (KSP), Moeldoko, mengatakan otonomi khusus Papua akan tetap berlanjut sebagai langkah mempercepat pembangunan menuju pemerataan kesejahteraan.

“Sudah ada Keppres Nomor 20 Tahun 2020. Keppres itu bertujuan agar tercipta semangat dan juga cara-cara baru dalam mengelola percepatan pembangunan Papua dan Papua Barat dalam menuju kesejahteraan bisa segera terwujud,” kata Moeldoko kepada wartawan, Selasa. 

Moeldoko mengatakan pemerintah bakal terus melakukan pendekatan kesejahteraan sebagai upaya penyelesaian konflik yang disebutnya muncul akibat upaya sistematis dari “kelompok kriminal bersenjata (KKB)” - sebutan pemerintah untuk kelompok separatis - untuk menekan dan menyebarkan teror di masyarakat. 

“Kalau sejahtera, dia sudah tidak lagi punya pengaruh kepada masyarakat, sehingga pengaruh KKB menjadi sempit,” kata Moeldoko kepada wartawan, Selasa. 

“Contohnya apa, jalan yang sedang dibangun diganggu, dan bahkan beberapa orang menjadi korban. Itu salah satu indikator,” tambah Moeldoko merujuk pada insiden penembakan 19 pekerja konstruksi trans Papua di Kabupaten Nduga pada Desember 2018. 

Pemerintah: Otsus tetap berlaku

Pemerintah menerbitkan UU Otonomi Khusus pada 2001 salah satunya untuk meredam tuntutan pemisahan diri kelompok pro-kemerdekaan. UU tersebut memberikan keleluasaan untuk orang Papua dalam mengelola daerahnya sendiri secara politik, ekonomi dan budaya. Pemerintah juga mengalokasikan dana otsus yang berlaku selama 20 tahun. 

Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan (Polhukam) Mohammad Mahfud MD pada September 2020, mengatakan UU Otonomi Khusus Papua akan tetap berlaku, namun dengan revisi beberapa pasal, utamanya terkait anggaran otsus yang akan dinaikkan sebesar 3,3 persen. 

Data Kementerian Keuangan menyebutkan selama periode 2002-2020, pemerintah telah mencairkan dana otsus untuk Papua sebesar Rp93,05 triliun dan Papua Barat sebesar Rp33,94 triliun. 

Kendati status otonomi khusus sudah berjalan selama dua dekade, namun kesejahteraan Papua dan Papua Barat masih jauh di bawah rata-rata nasional. 

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat Indeks Pembangunan Manusia (IPM) 2019 untuk Provinsi Papua dan Papua Barat berada di posisi terendah, dengan masing-masingnya memiliki poin 60,84 dan 64,70. IPM mengukur kesejahteraan melalui kualitas kesehatan, pendidikan dan pemenuhan kebutuhan hidup. 

Djohermansyah Djohan, pakar otonomi daerah dan Guru Besar Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN), mengatakan buruknya manajemen dana otonomi khusus yang berimplikasi pada penyimpangan dana oleh oknum pemerintah daerah sebagai penyebab utama kegagalan otsus dalam mencapai tujuan untuk menyejahterakan masyarakat. 

“Ada persoalan terkait dengan manajemen dana otonomi khusus. Jadi tidak efektif. Harus ada perbaikan model transfernya seperti apa, monitoring serta tanggung jawabnya juga seperti apa,” kata Djohan kepada BenarNews. 

Peneliti konflik Papua dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Cahyo Pamungkas, menilai persoalan otonomi khusus Papua dan Papua Barat bukan hanya bersumber dari buruknya manajemen pemerintah daerah, melainkan juga karena sejak awal kesepakatan itu tidak dibuat atas dialog komprehensif antara kedua kubu. 

“Otsus itu akan efektif jika lahir melalui dialog, karena ada suatu komitmen politik dari pemerintah maupun dari Papua untuk melaksanakannya,” kata Cahyo. 

Selain komitmen dan legitimasi untuk penyelesaian konflik, pada perjalanannya, banyak pasal dalam otsus yang tidak dijalankan dengan efektif seperti penegakan atas berbagai masalah HAM di sana, sambung Cahyo. 

“Komisi kebenaran dan rekonsiliasi untuk Papua itu belum direalisasikan. Simbol-simbol Papua juga ada di otsus, tapi tidak dilaksanakan. UU otsus pada akhirnya diabaikan karena aturan tumpang tindih di sektoral,” tukasnya. 

PBB soroti rentetan pelanggaran HAM

Kantor Urusan HAM untuk Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), OHCHR, turut menyoroti serentetan pelanggaran kemanusiaan di Papua dan Papua Barat dalam beberapa bulan terakhir. 

OHCHR juga menyerukan Pemerintah Indonesia untuk menegakkan hak-hak masyarakat untuk berekspresi, berkumpul, dan berserikat secara damai, terutama menjelang 1 Desember, momen yang sejak beberapa tahun silam diwarnai dengan unjuk rasa, ketegangan dan berujung penangkapan. 

“Kami terusik dengan meningkatnya kekerasan selama beberapa pekan dan bulan terakhir di Papua dan Papua Barat, serta meningkatnya risiko ketegangan dan kekerasan,” kata juru bicara OHCHR, Ravina Shamdasani dalam pernyataan tertulis, Senin (30/11). 

Kasus-kasus yang disoroti OHCHR meliputi penembakan remaja 17 tahun di Distrik Gome, Papua Barat pada 22 November, hingga penembakan terhadap Pendeta Yeremia Zanambani di Intan Jaya pada pertengahan September. 

Ravina juga menyebut pihaknya menerima laporan tentang penangkapan setidaknya 84 aktivis dan pegiat HAM, termasuk Wensislaus Fatuban—pegiat sekaligus penasihat HAM Majelis Rakyat Papua (MRP), pada 17 November oleh aparat kepolisian. 

Mereka ditangkap menjelang rapat dengar pendapat mengenai implementasi UU Otsus di Papua dan Papua Barat. Fatuban dan sejumlah rekannya dibebaskan satu hari setelahnya. 

“Pasukan militer dan keamanan telah diperkuat di wilayah tersebut dan telah ada laporan berulang tentang pembunuhan di luar hukum, penggunaan kekuatan yang berlebihan, penangkapan dan intimidasi terus menerus terhadap pembela HAM,” kata Shamdasani. 

Penembakan Pendeta Yeremia menjadi puncak konflik antara aparat keamanan dengan kelompok separatis di Distrik Hitadipa, Kabupaten Intan Jaya, yang dimulai dengan bermukimnya pasukan TNI di wilayah tersebut pada Desember 2019. 

Komisi Nasional (Komnas) HAM bersama tim independen masyarakat sipil dan pemerintah menyimpulkan adanya keterlibatan aparat dalam penembakan Pendeta Yeremia, meski hingga kini belum ada titik terang atas penindakan terhadap oknum pelaku. 

Selain masyarakat sipil, dalam insiden tersebut dua aparat dari kubu TNI juga tewas ditembak kelompok separatis.

 

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.