Bagi orang Papua, pelantikan Prabowo sebagai presiden picu kecemasan sekaligus harapan

Kenangan tentang penyalahgunaan kekuatan militer di masa lalu masih sangat terasa bagi banyak orang di Papua.
Victor Mambor
2024.10.21
Jayapura
Bagi orang Papua, pelantikan Prabowo sebagai presiden picu kecemasan sekaligus harapan Presiden Prabowo berjalan bersama mantan Presiden Joko Widodo saat upacara pisah-sambut di Istana Merdeka, Jakarta, 20 Oktober 2024.
Achmad Ibrahim/AP Photo

Bagi masyarakat Papua, pelantikan Prabowo Subianto sebagai presiden Indonesia kedelapan pada Minggu memunculkan perasan campur aduk, antara kecemasan dan harapan.

Wilayah kaya sumber daya ini telah lama menjadi sumber konflik dengan pemerintah Indonesia, di mana masyarakatnya mengalami penindasan dari aparat militer dan pelanggaran hak asasi manusia selama berpuluh-puluh tahun.

Sekarang, mantan komandan jenderal Kopassus yang pernah bertugas di Papua ini menjadi pemimpin nomor satu Indonesia. Banyak warga pulau paling timur negara ini khawatir mereka akan mengalami penindasan dan represi lagi.

Masyarakat asli Papua tampak apatis dengan munculnya pemimpin baru berlatar militer ini, sementara kekhawatiran dengan jelas ditunjukkan oleh para aktivis hak asasi manusia.

Salah satu masyarakat yang apatis adalah Musa Haselo, seorang montir di sebuah bengkel di kota Jayapura, ibu kota Provinsi Papua, yang merasa tidak peduli terhadap perubahan politik yang terjadi di Jakarta.

Saya tidak ikut dalam pemilu lalu, baik pemilihan presiden mau pun pemilihan legislatif. Siapa saja mau jadi presiden silakan, yang penting Papua aman sehingga kita bisa cari uang untuk hidup,” kata Musa kepada BenarNews.

“Saya tidak tahu latar belakang Prabowo yang terpilih jadi presiden Indonesia. Bagi saya, siapa pun yang menjadi presiden tidak terlalu penting.”

Namun, ketidakpedulian seperti itu jarang terjadi di daerah di mana ingatan tentang tindakan keras militer sangat mendalam.

Banyak orang Papua masih dihantui oleh kesewenang-wenangan aparat di masa lalu, terutama yang terkait dengan kampanye kontra pemberontakan Indonesia yang dimulai setelah Papua menjadi bagian dari negara ini pada 1969 melalui yang didukung PBB.

Bagi orang-orang seperti Maurids Yansip, seorang karyawan sektor swasta di Sentani, pelantikan Prabowo sebagai presiden memunculkan kekhawatiran serius.

“Dengan dilantiknya Prabowo jadi presiden, saya malah jadi khawatir apakah masyarakat di tanah Papua lima tahun ke depan akan aman atau tidak,” kata Yansip kepada BenarNews.

“Karena bagi saya penyelesaian masalah Papua yang ditawarkan Pak Prabowo pada waktu debat presiden, itu adalah pendekatan militer.”

Padahal, tambah dia, orang Papua melihat pendekatan militer di tanah mereka itu memperparah situasi di provinsi paling timur Indonesia itu, serta tidak akan menyelesaikan masalah malah menambah pelanggaran hak asasi manusia.

76054654-938c-469f-aa23-ffabadd028da.jpeg
Mayor Jenderal Prabowo Subianto, komandan Kopassus, difoto bersama Panglima ABRI Feisal Tanjung di Bandung, 12 April 1997. [Reuters]

Prabowo, mantan menantu presiden kedua Indonesia, Suharto, telah lama menjadi sosok yang kontroversial.

Karier militernya yang dipenuhi tuduhan pelanggaran hak asasi manusia, terutama selama pendudukan Indonesia di Timor Timur terus memicu kekhawatiran publik Papua.

Pada tahun 1996, saat bertugas di pasukan khusus elite, Kopassus, Prabowo memimpin misi penyelamatan 11 sandera dari tim penelitian ilmiah yang ditahan oleh kelompok bersenjata Organisasi Papua Merdeka (OPM).

Operasi tersebut berhasil namun menelan korban jiwa dua sandera dan delapan pemberontak bersenjata.

Meskipun dia tidak pernah dihukum dan membantah keterlibatan pelanggaran hak asasi manusia di Timor Timur atau Papua, tuduhan-tuduhan ini terus membayangi perjalanan politiknya.

Prabowo mencalonkan diri sebagai presiden pada 2014 dan 2019, namun kedua upaya itu gagal. Pada pemilu tahun ini, akhirnya dia meraih kursi nomor satu Indonesia, namun pada saat yang sama menimbulkan pertanyaan tentang masa depan Papua.

Meskipun ada kekhawatiran tersebut, beberapa orang melihat Prabowo juga bisa memberikan harapan bagi Papua.

Elvira Rumkabu, dosen di Universitas Cendrawasih di Jayapura, termasuk di antara mereka yang memandang latar belakang militer Prabowo bisa menjadi pedang bermata dua.

“Di mana harapannya? Latar belakang militer Prabowo dan “strategic thoughts”-nya bukan saja bisa menjadi kekuatan untuk mengontrol militer di Papua namun juga untuk meredam kelompok ultranasionalis di Jakarta yang antiperdamaian,” kata dia.

“Meski ada sedikit harapan, saya juga khawatir jika Prabowo melimpahkan urusan penting terkait agenda perdamaian di Tanah Papua kepada wakilnya.”

Menurut Rumkabu, pelimpahan seperti itu menjadi tren pemerintahan Jokowi di mana persoalan Papua dilimpahkan ke wakil presiden.

“Jika diserahkan ke level wakil presiden, akan menurunkan tingkat prioritas, urgensi dan keseriusan penyelesaian permasalahan Tanah Papua,” kata Rumkabu kepada BenarNews.

Dalam beberapa tahun terakhir, bentrokan antara pasukan keamanan Indonesia dan Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat semakin meningkat, dengan warga sipil sering terjebak di tengah-tengah konflik tersebut.

Yohanes Mambrasar, aktivis hak asasi manusia yang berbasis di Sorong, menyampaikan kekhawatiran besar tentang masa depan di bawah kepemimpinan Prabowo.

“Saya masih teringat kampanye Prabowo saat dia mencalonkan diri sebagai presiden. Prabowo berpandangan dalam penanganan konflik bersenjata di Papua TNI perlu diperkuat dengan penambahan pasukan dan alat utama sistem senjata,” kata Mambrasar kepada BenarNews.

“Artinya bahwa dia merupakan orang yang setuju dengan pendekatan militer di Papua.”

Kebijakan tersebut, kata dia, berpotensi meningkatnya kekerasan militer dan perampasan tanah adat Papua yang dapat dilihat dari keterlibatannya dalam pembentukan kebijakan proyek strategis nasional di Merauke, Papua, dan pembentukan lima batalion baru untuk keamanan dan investasi di Papua.

1748286b-0bcc-4893-a825-65fe782170c0-2.jpeg
Presiden Prabowo Subianto menyapa masyarakat yang menyambutnya seusai sidang pelantikan di Jakarta, 20 Oktober 2024. [Eko Siswono Toyudho/BenarNews]

Awal bulan ini, Panglima TNI Jenderal Agus Subiyanto meresmikan lima batalion infanteri baru di Papua, dengan menyatakan bahwa mandat mereka adalah untuk mendukung operasi keamanan dan pembangunan daerah.

Kenangan tentang penyalahgunaan kekuatan militer di masa lalu masih sangat terasa bagi banyak orang di Papua, di mana seruan untuk kemerdekaan belum pernah benar-benar reda.

Markus Haluk, sekretaris eksekutif United Liberation Movement for West Papua (ULMWP), menggambarkan kepemimpinan Prabowo sebagai kelanjutan masa suram dari apa yang dia sebut sebagai "genosida perlahan" terhadap rakyat Papua.

“Bagi saya kepresidenan Prabowo hanya akan memperpanjang pendudukan Indonesia di tanah Papua, kata Haluk kepada BenarNews.

“Ini hanya mengantar orang Papua pada apa yang disebut slow motion genosida, etnosida dan ecosida. Memoria passionis ini tidak hilang.”

Selama debat presiden, Prabowo berjanji akan memperkuat pasukan keamanan di Papua.

"Jika terpilih, prioritas saya adalah menegakkan supremasi hukum dan memperkuat keamanan kita," kata dia, seraya menggambarkan pendekatannya sebagai hal penting untuk melindungi penduduk lokal.

Namun, di tengah kekhawatiran tersebut, beberapa orang melihat peluang untuk perubahan positif. Yohanes Kedang dari Keuskupan Agung Merauke mengatakan bahwa meningkatkan kondisi sosial-ekonomi masyarakat asli Papua harus menjadi prioritas bagi Prabowo.

“Saya melihat dalam konteks bagaimana orang asli Papua hari ini mereka masih terbelakang dalam bidang pendidikan, kesehatan dan ekonomi,” kata Kedang kepada BenarNews.

Menurut dia, tiga bidang tersebut menjadi satu tugas berat bagi Prabowo sehingga dia bagaimana mencari formula yang baik untuk bisa membuat sebuah pendidikan yang menyenangkan, kesehatan yang bisa sampai turun ke menyentuh masyarakat asli Papua, sehingga masyarakat lokal bisa merasakan dampak dari pembangunan.

“Lalu di satu pihak, bagaimana pemberdayaan ekonomi orang asli Papua itu juga perlu digencarkan Papua, khususnya Papua selatan dan Merauke itu punya potensi yang sungguh luar biasa.”

Theo Hesegem, direktur eksekutif Yayasan Keadilan dan Keutuhan Manusia Papua, percaya bahwa dialog adalah kunci untuk menyelesaikan masalah yang telah lama ada di wilayah tersebut.

“Pak Prabowo punya kewenangan yang besar itu menyelesaikan kasus pelanggaran HAM di Papua. Prabowo perlu datang ke Papua berdialog dengan warga dan tokoh Papua untuk mendengarkan hati nurani mereka. Itu penting,” kata Hasegem kepada BenarNews.

“Jangan seperti Jokowi yang datang hanya bertemu pejabat saja. Jokowi gagal melakukan itu. Jika Prabowo ingin memimpin, dia harus mendengarkan suara mereka."

Pizaro Gozali Idrus di Jakarta turut berkontribusi dalam laporan ini.

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.