Pengacara: Kondisi Kesehatan Aktivis Papua Menurun di Tahanan
2021.08.12
Jakarta
Kelompok hak asasi manusia dan kuasa hukum mendesak kejaksaan untuk segera memindahkan aktivis pro-kemerdekaan Papua, Victor Yeimo, dari tahanan Brimob menyusul terus menurunnya kondisi kesehatan pria yang akan segera diadili dengan tuduhan makar itu.
Sementara sejumlah tokoh di luar negeri menyuarakan dukungan kepada Yeimo tidak hanya dengan mengkhawatirkan kesehatannya tetapi juga untuk pembebasan aktivis yang telah ditahan sejak penangkapannya pada 9 Mei lalu.
Polisi mengatakan Selasa bahwa berkas pemeriksaannya telah diserahkan kepada kejaksaan untuk segera diadili.
Sejak berada dalam tahanan, kondisi Kesehatan Yeimo terus menurun, dengan keluhan di bagian dadanya serta batuk yang disertai muntahan darah, kata aktivis dan pengacara.
Emanuel Gobay, koordinator Koalisi Penegak Hukum dan HAM Papua, Yeimo seharusnya sudah dipindahkan dari tahanan Mako Brimob Polda Papua ke Lembaga Pemasyarakatan Abepura sejak pelimpahan berkas dilakukan pada awal pekan ini.
“Kami meminta kepada Jaksa untuk pindahkan dia dari Mako Brimob ke Lapas Abepura dengan pertimbangan pemenuhan hak-hak Victor Yeimo sebagai tersangka,” kata Gobay.
“Kondisi psikologi yang tinggal sendirian dan kepengapan di dalam Rutan Mako Brimob bisa terus membahayakan kondisi tubuhnya yang semakin menurun sejak 10 Mei,” ujarnya.
Gobay mengatakan Yeimo memiliki riwayat penyakit paru-paru, namun sejak keluhan sakit dada mulai dirasakan, aktivis yang juga Ketua Komite Nasional Papua Barat (KNPB) itu tidak pernah mendapatkan pemeriksaan kesehatan menyeluruh.
Dia menggambarkan ruang tahanan Brimob minim pencahayaan, sirkulasi udara buruk, dan berlokasi persis di samping septic tank sehingga bau menyengat sangat mudah tercium.
Selain itu, Yeimo tidak mendapat suplai makan yang teratur dari polisi, ujarnya.
Menurut Gobay dan kuasa hukum, Yeimo menjalani dua pemeriksaan sejak dirinya ditahan yakni pada 17 Mei di ruang Provos Mako Brimob dan kedua pada 17 Juni di RS Bhayangkara Polri Jayapura.
“Tapi dua-duanya hanya pemeriksaan umum dan dia hanya dikasih obat maag, tidak mendetail untuk tahu apa penyakit yang sebenarnya,” kata Gobay, yang juga advokat dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Papua itu.
Gustav Kawer, kuasa hukum Yeimo, mengatakan baru-baru ini kliennya juga menjalani pemeriksaan oleh dua perawat yang dibawa Ketua DPRD Papua ke tahanan, namun hasilnya masih belum diketahui.
Kuasa hukum bersama koalisi juga telah membuat surat pengajuan izin pembantaran atau penundaan penahanan kepada kejaksaan agar Yeimo mendapatkan pemeriksaan menyeluruh di RSUD Jayapura, lanjutnya.
Bila pun kejaksaan tidak mengizinkan Yeimo dibawa keluar tahanan, pengacara juga telah menyiapkan tim dokter memeriksanya di tempat.
“Tapi dari kejaksaan tidak juga kasih jawaban, sementara dia makin sering mengeluh kesakitan. Kami sudah siapkan opsi lain tapi itu tidak dibuka (komunikasi) polisi dan kejaksaan. Beri tahu kami saja, kami sudah siapkan untuk bisa menolong secepatnya,” kata Gustav, melalui sambungan telepon.
Adrianus Tomana, Jaksa Penuntut Umum yang menangani kasus Yeimo, menolak untuk memberikan respons lebih jauh perihal pengajuan pemindahan tahanan serta izin pembantaran yang diajukan pengacara.
“Kami menunggu perintah pimpinan,” kata Adrianus melalui pesan singkat.
Sementara itu, Juru Bicara Polda Papua Ahmad Musthofa Kamal tidak menjawab ketika ditanya perihal ruang tahanan serta pemenuhan hak Yeimo selama ditahan.
Kepolisian menetapkan Yeimo sebagai tersangka tindakan makar dan penghasutan yang menimbulkan keonaran di masyarakat terkait kerusuhan di Papua dan Papua Barat yang menewaskan sedikitnya 40 orang dan melukai puluhan lainnya pada 2019.
Selain itu, Yeimo juga didakwa dengan pasal perusakan lambang negara, pencurian, hingga penyelundupan senjata. Bila terbukti bersalah, Yeimo bisa mendapatkan hukuman penjara dua tahun sampai seumur hidup.
‘Laporan mengkhawatirkan’
Terus menurunnya kondisi kesehatan Yeimo mendapatkan sorotan dari kalangan internasional.
Pelapor Khusus PBB untuk Pembela HAM, Mary Lawlor pada Selasa, menyampaikan kekhawatirannya atas kondisi kesehatan Yeimo yang membuatnya semakin rentan terpapar COVID-19.
“Saya menerima laporan yang mengkhawatirkan bahwa aktivis HAM dari Papua Barat, Victor Yeimo, saat ini sedang menderita karena kondisi kesehatannya yang menurun di dalam tahanan,” kata Mary, melalui akun Twitternya.
“Saya khawatir kondisinya yang buruk itu bisa membuat risiko dirinya terpapar COVID-19 semakin besar,” katanya.
Joe Collins, juru bicara the Australia Western Papua Association (AWPA) mengirimkan surat kepada Menteri Luar Negeri Australia Marise Payne terkait kekhawatiran asosiasi itu atas kondisi kesehatan Yeimo.
“Berat badannya turun dan mengalami batuk berdarah dalam beberapa hari terakhir,” tulis Collins dalam suratnya.
“Kami mendesak Anda untuk menggunakan jasa baik Anda (Menteri Luar Negeri Australia) dengan Pemerintah Indonesia untuk menyerukan pembebasan segera dan tanpa syarat dari Victor Yeimo dan semua tahanan politik,” lanjut pesan tersebut mengacu juga pada 14 mahasiswa Universitas Cendrawasih di Papua yang ditahan saat melakukan protes damai untuk pembebasan Yeimo.
Sementara itu, Amnesty Internasional Indonesia menyerukan hal yang sama, mengingat tidak adanya bukti yang kredibel bahwa Victor telah melakukan tindak pelanggaran hukum yang diakui secara internasional.
“Kami juga mendesak agar selama masih di dalam tahanan, Victor Yeimo diberikan akses kepada tim kuasa hukumnya, dipastikan memperoleh pelayanan kesehatan yang layak, dan tidak mengalami praktik penyiksaan atau perlakuan buruk lainnya,” kata Deputi Direktur Amnesty Indonesia, Wirya Adiwena dalam keterangan tertulis, Rabu.
Ketika ditanyakan kepada kuasa hukum perihal perlakuan buruk terhadap Yeimo di tahanan, Gustav mengatakan sejauh ini tidak ada aduan yang disampaikan maupun bekas luka pada tubuh kliennya itu.
Adriana Elisabeth, pengamat konflik Papua dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) sebelumnya mengatakan aparat keamanan Indonesia perlu memastikan pemenuhan keadilan dalam penyelesaian kasus Yeimo yang memiliki jejaring kuat dengan organisasi HAM internasional.
“Bila ditemukan celah yang tidak humanis, sekecil apapun itu, akan langsung memicu kritik atau protes kepada pemerintah Indonesia. Ini akan sangat tricky, apalagi kabarnya Yeimo juga sedang sakit. Itu saja sudah bisa menjadi satu rambu bagi mereka,” kata Adriana kepada BenarNews, Selasa.
KNPB, organisasi yang dipimpin Yeimo, bukanlah kelompok bersenjata melainkan organisasi sipil Papua yang memperjuangkan referendum dengan opsi kemerdekaan untuk Papua. Namun polisi mengklaim KNPB bersama kelompok-kelompok lain termasuk gereja, media, dan mahasiswa Papua berkolaborasi dalam gerakan separatisme Papua.
Pada akhir April 2021, pemerintah menyatakan kelompok pemberontak di Papua sebagai teroris usai serangkaian bentrok yang turut menewaskan Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) di wilayah itu.
Adriana menambahkan, pemberian label baru bagi individu maupun kelompok separatis itu menjadi salah satu penyebab mengapa Yeimo didakwa melanggar banyak pasal yang tidak substantif dan berpotensi melanggar HAM.
“Setiap warga negara punya hak untuk menyuarakan pendapatnya, tapi bagi para aktivis Papua, terutama setelah ada label separatis sebagai teroris, ideologi itu akan selalu dicap sebagai propaganda, membahayakan negara,” kata Adriana.