Usut Kematian Pendeta di Papua, PGI Desak Jokowi Bentuk Tim Investigasi

TNI dan Polri menyebut pendeta ditembak kelompok separatis, tapi kelompok itu justru berbalik mengatakan aparat berbohong dan menutupi fakta.
Arie Firdaus
2020.09.21
Jakarta
200921_ID_Papua1_620.jpg Dalam foto tertanggal 28 Oktober 2019 ini, Presiden Joko Widodo menari dengan warga Papua saat kunjungannya di Wamena, menyusul kerusuhan yang terjadi di wilayah tersebut dan di daerah lainnya di Papua dan Papua Barat, yang dipicu oleh perlakuan rasis atas mahasiswa Papua di Jawa pada pertengahan Agustus 2019.
AFP

Persekutuan Gereja-Gereja Indonesia (PGI), Senin (21/9), mendesak Presiden Joko "Jokowi" Widodo untuk mengusut tuntas kasus kematian seorang pendeta pada akhir pekan lalu di Kabupaten Intan Jaya, Papua.

Polri dan Tentara Nasional Indonesia (TNI) menuduh kelompok separatis berada dibalik kematian Yeremia Zanambani, sementara Tentara Nasional Pembebasan Papua Barat (TPNPB) mengatakan penembakan dilakukan oleh anggota TNI.

"PGI mengecam keras peristiwa pembunuhan ini. Untuk menghindari saling tuduh, kami mengusulkan dibentuknya Tim Pencari Fakta (TPF) yang independen," ujar Ketua Umum PGI Gomar Gultom dalam keterangan tertulis, Senin (21/9).

Yeremia ditemukan tewas tak jauh dari kandang babi miliknya di Distrik Hitadipa dengan luka sabetan benda tajam dan bekas tembakan Sabtu lalu, seperti dilaporkan media lokal Suara Papua.

Pada hari yang sama, seorang tentara, Pratu Dwi Akbar Utomo, juga ditemukan tewas ditembak di Hitadipa, Intan Jaya, ujar Suriastawa. Dwi adalah anggota TNI yang bertugas sebagai anggota Satuan Tugas Bawah Kendali Operasi aparat teritorial Koramil Persiapan di Hitadipa.

Dalam insiden sebelumnya pada hari Kamis, seorang pengemudi ojek dan seorang anggota TNI bernama Serka Sahlan tewas akibat diserang oleh kelompok bersenjata di Intan Jaya, kata juru bicara Komando Gabungan Wilayah Pertahanan (Kogabwilhan) III Kolonel I Gusti Nyoman Suriastawa.

Sebelumnya pada hari Senin (14/9), kelompok bersenjata menembak dan melukai dua orang tukang ojek di kabupaten yang sama.

TPNPB mengaku bertanggung jawab atas kedua penyerangan yang menewaskan satu warga sipil dan anggota TNI pada Kamis, tapi kelompok ini menuduh tukang ojek yang tewas sebagai informan aparat keamanan.

Selain mendesak pembentukan TPF independen untuk menginvestigasi pembunuhan Pendeta Yeremia Zanambani, PGI meminta Jokowi untuk memerintahkan Panglima TNI menghentikan semua operasi militer di Papua.

Dalam suratnya, PGI mengatakan operasi militer di Papua selama ini hanya menambah daftar panjang korban jiwa di provinsi paling timur Indonesia tersebut, baik warga sipil maupun anggota TNI.

"Segala bentuk kekerasan dan pendekatan militer selama ini tidak mampu menyelesaikan masalah Papua, malah menjadi lingkaran kekerasan yang tak berujung," kata surat itu.

"Bapak Presiden sendiri telah meyakini bahwa kekerasan tidak akan pernah menyelesaikan masalah Papua. Jadi PGI bersama gereja-gereja di Indonesia, menuntut pemenuhan janji tersebut."

Anggota Komisi I Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Yan Mandenas yang meminta pemerintah pusat dan daerah, TNI, serta kepolisian melakukan investigasi untuk mengungkap penyebab kematian Yeremia.

"Masalah itu harus ditanggapi serius semua pihak," ujar Yan lewat keterangan tertulis.

Membawa poster, mahasiswa Papua melakukan unjuk rasa di Jakarta, 15 Agustus 2020. (AFP)
Membawa poster, mahasiswa Papua melakukan unjuk rasa di Jakarta, 15 Agustus 2020. (AFP)

Curi perhatian internasional

Media lokal menyebutkan bahwa anggota TNI beberapa hari terakhir memang memberikan peringatan keras kepada warga Hitadipa untuk mengembalikan dua pucuk senjata yang diduga diambil anggota TPNPB setelah menembak mati anggota TNI yang bertugas di pos komando rayon militer setempat.

Nyoman Suriastawa, Juru bicara Komando Gabungan Wilayah Pertahanan (Kogabwilhan) III menyangkal tuduhan separatis bahwa anggota TNI dibalik tewasnya pendeta Yeremia.

Ia bahkan balik menyebut TPNPB secara sengaja menggunakan insiden ini untuk menarik perhatian dunia internasional, terutama Sidang Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang digelar minggu ini.

"Harapan mereka (TPNPB), kejadian ini menjadi bahan di Sidang Umum PBB. Saya tegaskan bahwa semua ini fitnah keji dari mereka," kata Suriastawa.

Sangkalan serupa disampaikan juru bicara Kepolisian Daerah Papua Komisaris Besar Ahmad Musthofa Kamal yang mengatakan insiden ini sebagai fitnah untuk menyudutkan TNI dan kepolisian serta mencuri perhatian internasional jelang Sidang Umum PBB.

"Kami mengimbau warga tidak terprovokasi, khususnya melalui media sosial," kata Ahmad.

Ahmad menambahkan pihaknya berencana akan melakukan olah tempat kejadian perkara penembakan untuk mendalami dan memastikan penyebab kematian Yeremia.

Buka akses media

Juru bicara TPNPB Sebby Sambom membantah pernyataan TNI dan Polri yang menyatakan bahwa mereka menggunakan insiden ini untuk mencuri perhatian internasional jelang Sidang Umum PBB.

Ia bahkan balik menyebut kedua instituasi tersebut telah merekayasa kasus dan menyembunyikannya dari dunia internasional.

"Membunuh dan menyiksa rakyat Papua adalah perilaku biadab," kata Sebby.

"Pemerintah Indonesia harus berhenti memaksakan diri membuat warga Papua sengsara dan membebaskan rakyat Papua untuk menentukan nasib sendiri."

Adapun aktivis hak asasi manusia dari Human Rights Watch (HRW) Andreas Harsono mendukung langkah PGI yang mendesak Presiden Jokowi untuk TPF independen agar penyebab insiden menjadi jelas.

"Itu langkah bagus untuk mencari titik masalah sekaligus menghilangkan kecurigaan. Ketidakterbukaan pula yang sebabkan orang Papua curiga dengan TNI selama ini," kata Andreas saat dihubungi.

Mengenai kebijakan yang dapat ditempuh pemerintah agar insiden serupa tak terulang di masa mendatang, Andreas meminta Presiden Jokowi menepati janji untuk membuka akses wartawan asing dan independen ke Papua serta membebaskan tahanan politik.

"Kita harus menyamakan posisi orang Papua dengan di Jawa. Seperti di Jawa yang berteriak khilafah, tidak ada yang ditangkap. Begitu pula seharusnya di Papua," pungkas Andreas, seraya menambahkan bahwa insiden kali ini bukan yang pertama terjadi.

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.