20 Tahun Pasca Otsus, Perdamaian dan Kesejahteraan di Papua Jauh dari Harapan
2021.11.19
Jayapura dan Jakarta
Dua puluh tahun setelah pemerintah Indonesia memberlakukan otonomi khusus untuk meredam tuntutan kemerdekaan, kekerasan di Papua tetap berlangsung bahkan meningkat akhir-akhir ini dan tidak ada tanda-tanda gerakan separatis akan berakhir.
Berbagai pihak di Papua dan pengamat menganggap otonomi khusus yang pertama kali berlaku 21 November 2001- tepat 20 tahun lalu itu, tidak berhasil membawa manfaat ekonomi dan perdamaian, walau dana yang telah digelontorkan oleh pemerintah tidak sedikit jumlahnya.
Setelah pada Juli lalu revisi undang-undang otonomi khusus (otsus) disahkan DPR untuk perpanjangan pemberlakuannya selama 20 tahun ke depan, masyarakat Papua mengungkapkan pesimisme akan terjadi perubahan ke arah yang lebih baik.
Emanuel Dumupa, seorang warga kota Jayapura, mengaku tidak faham detail dari undang-undang otonomi khusus yang baru, tapi menurutnya dalam praktiknya otonomi hanya menguntungkan segelintir orang.
“Kalau memihak ke masyarakat biasa, ya itu puji Tuhan. Tapi kalau hanya memihak para elite politik kemudian pengusaha besar, nah itu saya tidak setuju,” kata Emanuel kepada BenarNews.
Emanuel mengungkap kekhawatiran akan penguasaan ekonomi oleh warga non-Papua asli.
“Seperti yang jual pinang, kenapa orang luar juga jual? Kenapa tidak bikin perda (peraturan daerah) bahwa orang Papua saja yang jual pinang?” tanyanya. Mengunyah dan makan pinang adalah tradisi penduduk asli Bumi Cendrawasih.
Pemerintah mengatakan selama 20 tahun terakhir dana otsus dan dana tambahan infrastruktur untuk Papua dan Papua Barat mencapai Rp138,65 triliun.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati memperkirakan jumlah dana otsus untuk kedua provinsi itu akan mencapai Rp234 triliun dalam 20 tahun ke depan.
Menurut undang-undang otonomi yang baru, Papua berhak mendapatkan porsi bagi hasil dengan pemerintah pusat untuk sumber daya alam yang terbagi antara lain 80 persen untuk kehutanan dan perikanan bagi rakyat Papua - 20 persen untuk Jakarta, dan 70 persen untuk pertambangan minyak bumi dan gas dan sisanya adalah untuk pusat.
Pada 2020, kedua provinsi menerima dana alokasi khusus senilai total Rp7,6 triliun atau turun dari tahun sebelumnya yang mencapai Rp8,4 triliun karena alasan pandemi COVID-19, dan dana infrastruktur senilai Rp4,4 triliun.
Di sisi lain, walaupun merupakan wilayah yang kaya sumber daya alam, Indeks Pembangunan Manusia Papua dan Papua Barat selalu berada pada peringat terbawah dari 34 provinsi di Indonesia. Indeks pembangunan manusia Papua dan Papua Barat pada tahun ini masing-masing adalah 60,62 dan 65,26 di mana rata-rata nasional adalah 72,29.
Konflik yang tak kunjung reda
Kekerasan di Papua meningkat tajam sejak kelompok separatis menyerang pekerja yang sedang membangun jembatan di Kabupaten Nduga pada akhir 2018 dan menewaskan 20 orang.
Pada Agustus 2019, terjadi demonstrasi menolak rasisme buntut dari perlakuan sewenang-wenang aparat terhadap mahasiswa Papua di asrama Surabaya, Jawa Timur. Demonstrasi menjalar ke sejumlah titik, termasuk Papua dan Papua Barat, yang kemudian memicu bentrok dan menewaskan sedikitnya 40 orang.
Tahun ini, pemerintah memberi label teroris kepada kelompok separatis di Papua setelah Kepala Badan Intelijen Negara di provinsi paling timur Indonesia itu ditembak mati oleh gerilyawan pejuang kemerdekaan.
Penelitian yang dilakukan Universitas Gadjah Mada (UGM) di Yogyakarta menemukan sepanjang 2010 hingga 2020 sedikitnya telah terjadi 204 kasus kekerasan di Papua, dengan lebih dari setengahnya terjadi karena konflik senjata antara aparat keamanan dengan kelompok separatis.
“Pembangunan dalam otsus berjalan atas hasil interpretasi sepihak, sementara persoalan separatisme tidak diselesaikan dari akarnya. Ada gap antara pembangunan dan penyelesaian konflik. Ini yang menjadi kegagalan otsus pertama, tidak ada dialog,” kata Cahyo Pamungkas, peneliti konflik Papua dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), kepada BenarNews.
Markus Haluk, Direktur Eksekutif United Liberation Movement for West Papua (ULMWP), mengatakan otsus telah gagal.
“UU ini bukan resolusi politik, tapi pemerintah mengkampanyekan seakan-akan ini resolusi politik,” kata, kepada BenarNews.
Markus mengatakan kondisi demokrasi serta penghormatan hak asasi di Papua semakin memburuk dalam beberapa tahun terakhir.
Kondisi itu diperparah dengan kehadiran militer secara bertahap yang menurut pemerintah untuk meredam konflik keamanan demi keberlangsungan pembangunan infrastruktu, ujarnya.
“Penangkapan dan penahanan sewenang-wenang, penyiksaan, penembakan, pembunuhan, selama otsus begitu masif, sistematis, dan terbuka. Para aktivis politik maupun HAM (hak asasi manusia) menjadi target dan ditangkap kapan saja, di mana saja, sesuai dengan pengusaha punya mau,” kata Markus.
Konflik antara kelompok separatis dan aparat keamanan Indonesia terus mewarnai wilayah Papua sejak Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) di bawah pengawasan PBB pada 1969 yang menetapkan wilayah itu sebagai bagian dari Indonesia. Sebagian warga Papua dan kalangan pegiat hak asasi manusia memandang Pepera manipulatif lantaran hanya melibatkan sekitar seribu orang yang telah diinstruksikan untuk memilih bergabung dengan Indonesia.
'Telah disesuaikan'
Revisi undang-undang otonomi Papua mengubah 18 pasal dan menambah 2 pasal, termasuk menaikkan dana otsus Papua dari 2 persen menjadi 2,25 persen per tahun dari Dana Alokasi Umum Nasional.
Undang-undang juga mengatur kewajiban pengusaha untuk mengutamakan orang asli Papua dalam perekrutan tenaga kerja dan memungkinkan pembentukan badan khusus percepatan pembangunan Papua yang diketuai wakil presiden.
Tidak lama setelah revisi undang-undang otonomi Papua disahkan, Majelis Rakyat Papua (MRP), lembaga yang mewadahi pemimpin adat, menggugat legislasi itu ke Mahkamah Konstitusi.
MRP mengajukan pembatalan sejumlah pasal seperti terkait penghapusan partai politik lokal dan pemekaran daerah yang mengatakan dapat dilakukan tanpa melibatkan MRP, DPR Papua dan gubernur.
“Kami berpandangan, bahwa pasal-pasal tersebut telah nyata-nyata bertentangan dengan Pancasila dan UUD NRl 1945 dan oleh karena itu, kami memohon kepada Mahkamah agar pasal-pasal tersebut dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat,” kata MRP dalam pernyataannya.
Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mohammad Mahfud MD mengatakan revisi undang-undang telah disesuaikan dengan arah pembangunan yang menyeluruh melalui pendekatan kesejahteraan baik di sektor politik, ekonomi, sosial dan budaya.
“UU ini dibentuk untuk memperkuat ikatan kesatuan dan memajukan Provinsi Papua sebagai bagian yang sah dari NKRI, baik berdasar konstitusi dan tata hukum kita maupun hukum internasional,” kata Mahfud dalam pembacaan jawaban pemerintah atas permohonan uji materi UU otsus di Mahkamah Konstitusi, Selasa.
Jaleswari Pramodhawardani, salah satu deputi di Kantor Staf Presiden, berharap seluruh aspek pemerintahan daerah berkomitmen untuk tidak terjadi penyelewengan, korupsi, maupun pungutan liar dalam proses penyaluran dana otonomi Papua.
“Kondisi yang belum ideal ini harus menjadi evaluasi bagi semua pihak bahwa pendekatan kebijakan pembangunan di Papua tidak boleh biasa-biasa saja, tidak boleh parsial dan sporadis, serta tidak boleh asal terserap tanpa memperhatikan dampaknya," kata Jaleswari.
Semi Pigome, warga Manokwari di Papua Barat mengkhawatirkan bahwa pemekaran, yang disebut dalam otsus, akan semakin meminggirkan orang asli Papua.
“Ini secara perlahan akan mendegradasi peluang-peluang orang asli Papua dalam mengisi wilayah-wilayah baru yang dimekarkan, namun membuka seluas-luasnya lapangan pekerjaan bagi saudara-saudara kita dari seberang,” kata Semi.
Ketua Komisi V DPR Papua (DPRP), Timiles Yikwa, mengatakan pengaturan alokasi dan pencairan dana otsus harus mengacu dari hasil evaluasi terhadap kegagalan yang terjadi pada periode sebelumnya.
“Yang jadi pertanyaan saya, khusus sebagai pribadi saya ke perwakilan rakyat Papua, apakah dana ini akan diawasi oleh DPR RI, DPRP, atau DPRD. Karena dana ini langsung ditransfer dari pusat ke daerah,” Timiles menambahkan.
Cahyo, pengamat dari BRIN mengungkapkan prioritas program pemerintah harus fokus pada pemenuhan pendidikan, kesehatan, dan ekonomi rakyat dan disusun melibatkan seluruh pemangku kepentingan.
“Semua program yang tidak penting, seperti ada rencana gubernur bangun gedung 12 tingkat itu sebaiknya dialihkan dengan program yang lebih bermanfaat bagi orang Papua secara luas,” kata Cahyo, menambahkan bahwa transparansi juga harus diutamakan untuk mencegah korupsi.
“Jujur saya pesimistis dengan kebijakan rezim Jokowi ini. Selama pembangunan tidak melibatkan masyarakat adat Papua yang terjadi hanyalah semakin banyaknya displacement. Tanpa keterlibatan grassroots itu saya pesimistis pembangunan bakal berjalan dengan mulus,” kata Cahyo.