Ratusan Warga Papua Demo Tolak Perpanjangan Otsus
2020.09.24
Jakarta
Sekitar 800 orang berdemonstrasi di depan kota Nabire, Provinsi Papua pada Kamis (24/9) untuk menolak otonomi khusus dan menuntut hak menentukan nasib sendiri melalui referendum.
Para demonstran yang membawa poster yang bertuliskan antara lain “Referendum Yes!” dan “Free Papua!” berkumpul dan meneriakkan slogan pro-kemerdekaan di depan kantor Polresta Nabire.
“Kami menolak dengan tegas perpanjangan pemberlakuan Otonomi Khusus Jilid II dalam bentuk dan nama apapun di teritori West Papua (Provinsi Papua dan Papua Barat),” demikian bunyi pernyataan pengunjuk rasa yang dibacakan juru bicara mereka, Roberta Muyapa.
Dalam pernyataan yang disebut Petisi Rakyat Papua (PRP), demonstran juga menolak segala bentuk kompromi sepihak serta agenda pembahasan dan keputusan yang tidak melibatkan rakyat Papua.
“Segera kembalikan kepada rakyat Papua untuk memilih dan menentukan nasibnya sendiri apakah menerima otsus ataukah menentukan merdeka sebagai sebuah negara,” kata Roberta.
Petisi juga mengutuk dan menuntut pemerintah untuk segera menarik tentara dari kabupaten Intan Jaya, Nduga, Yakuhimo, Oksibil, Mimika.
Pegiat hak asasi manusia (HAM) di Papua, Yones Douw mengatakan polisi mulai menangkapi pengunjuk rasa saat mereka mulai berkumpul pagi hari di lima titik sebelum bergerak ke Polresta Nabir.
“Jumlah masa pendemo yang ditangkap sekitar 160 orang di tahan. Namun, sekitar jam 10 mereka yang ditangkap dikeluarkan lagi oleh reskrim Polres,” ujar Yones kepada BenarNews.
Tidak ada ditahan
Kabid Humas Polda Papua Kombes Ahmad Musthofa Kamal mengatakan 275 personel polisi yang mengamankan demo tidak melakukan penahanan.
“Tidak ada yang ditahan semuanya pulang paska orasi. Anggota Polres Nabire melakukan pengamanan aksi demo massa karena aksi tersebut tidak memiliki izin sehingga mendapat pengawalan ketat aparat keamanan,” ujarnya dalam pernyataan tertulis.
Hasil mediasi antara Kapolres Nabire didampingi para Kepala Suku dan Pemda Nabire disepakati bahwa polisi mengijinkan massa melaksanakan aksi penyampaian aspirasi sesuai dengan permintaan massa aksi.
“Kepala suku juga berterima kasih kepada pendemo yang tidak melakukan tindakan anarkis dan mendukung kegiatan aksi massa dan berharap pemerintah dapat meneruskannya apa yang menjadi tuntutan kepada pemerintah yang lebih tinggi,” ujarnya.
Ketua United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) yang berbasis di Inggris, Benny Wenda, menuntut agar siapapun pendemo yang ditangkap segera dibebaskan.
“Kami menuntut hak kami untuk menentukan nasib sendiri. Kami tidak menginginkan lebih banyak 'Otonomi Khusus'. Kami ingin referendum kemerdekaan segera,” kata dia.
Pada tahun 2001 untuk meredam tuntutan pemisahan diri dari Indonesia, pemerintah pusat mengeluarkan undang-undang otonomi khusus yang mengatur tentang hak-hak orang Papua dalam mengelola daerahnya sendiri secara politik, ekonomi dan budaya. Undang-undang yang disahkan DPR tersebut juga mengatur alokasi dana otsus yang berlaku selama 20 tahun. Alokasi dana Otsus akan berakhir pada 2021, dan DPR telah memasukkan pembahasan status otonomi khusus Papua dalam daftar prioritas Program Legislasi Nasional (Prolegnas) tahun ini.
“DPR mengajukan RUU tersebut tanpa membicarakannya dengan masyarakat adat Papua yang menjadi subyek RUU tersebut. Orang Papua yang menentukan apakah mereka menginginkan otonomi khusus tahap kedua atau kemerdekaan," demikian juru bicara Komite Nasional Papua Barat (KNPB) Victor Yeimo, seperti dikutip The Jakarta Post.
Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan Mahfud MD mengatakan pada 11 September bahwa otonomi khusus Papua tetap berlaku setelah tahun 2021 tapi akan dilakukan revisi terhadap beberapa pasal.
Pasal yang direvisi antara lain pasal 34 mengenai dana otonomi khusus dan Pasal 76 tentang pembagian daerah Papua yang rencananya akan dijadikan lima provinsi.
Pemerintah Provinsi Papua mengatakan Papua tahun ini dipastikan menerima dana otonomi khusus senilai Rp5,86 triliun.
Pada bulan Maret, Presiden Joko “Jokowi” Widodo memerintahkan menterinya untuk mengevaluasi evektivitas penyaluran dana otonomi khusus untuk Papua dan Papua Barat yang mencapai Rp94,24 triliun antara tahun 2002 sampai 2020.
Satu pendeta tewas
Demo di Nabire terjadi setelah seorang pendeta ditemukan tewas di kampung Kalisemen, Distrik Nabire Barat.
“Telah terjadi kasus penemuan mayat seorang laki-laki atas nama Alfred Degei (55) pada Selasa pukul 17.15 WIT,” kata Polda Papua dalam pernyataannya merujuk pada nama pendeta itu.
Polda menjelaskan mayat ditemukan oleh seorang warga dalam keadaan telungkup di parit dan kepala terbenam di air.
“Dari hasil pemeriksaan awal terhadap korban, tidak ditemukannya tanda-tanda kekerasan,” kata Kamal, “dari keterangan keluarga diketahui bahwa korban memiliki riwayat sakit ayan (epilepsi).”
Namun demikian, anggota Komnas HAM, Yones Douw, mengatakan dia yakin Alfred tewas karena dibunuh.
“Semua kekerasan, ada luka di kepala yang darahnya tidak berhenti keluar hingga sehari semalam,” ujar dia.
Sebelumnya, seorang pendeta, Yeremia Zanambani, tewas di Distrik Hitadipa, Kabupaten Intan Jaya, Papua pada Sabtu lalu.
Bentrok dengan TNI
Sementara itu, pada Rabu (23/9) siang, telah terjadi kontak senjata antara aparat keamanan TNI - Polri dan kelompok separatis di Distrik Sugapa, Intan Jaya, ujar juru bicara Komando Gabungan Wilayah Pertahanan (Kogabwilhan) III Kolonel I Gusti Nyoman Suriastawa.
Kejadiannya, berawal saat sejumlah kelompok TPNBP - OPM yang menembaki iring-iringan pengamanan TNI - Polri menuju kantor Bupati.
“Itu hanya tembakan dan kemudian dibalas, lalu mereka kabur,” ujar Suriastawa kepada BenarNews.
Ia mengatakan tidak ada korban jiwa dalam insiden ini.
Dalam dua minggu terakhir, setidaknya ada empat orang tewas - dua anggota TNI dan dua warga sipil - dalam serangkaian aksi rentetan penembakan dan bentrok di Papua.
Polisi dan TNI mengklaim Tentara Nasional Pembebasan Papua Barat (TPNPB) bertanggung jawab atas kekerasan tersebut.
TPNPB mengaku bertanggung jawab atas kedua penyerangan yang menewaskan satu warga sipil dan dua anggota TNI itu, tapi kelompok pro-kemerdekaan Papua itu menuduh warga sipil - seorang tukang ojek yang tewas itu, adalah informan aparat keamanan.