Kisah Perempuan Papua Mengais Rezeki Dari Rajutan Noken
2016.03.01
Jayapura
Di depan Saga Mall, pusat perbelanjaan terbesar di kawasan Abepura, Jayapura, Papua, Blandina duduk beralas tikar yang dibawanya dari rumah. Di hadapannya berjejer berbagai jenis noken dan asesoris lain yang dijualnya.
Temaram lampu penerangan jalan menerangi jari-jarinya yang sedang merajut noken. Di sebelahnya, duduk anak perempuannya, yang berusia sembilan tahun, Rosita. Selain Blandina, tiga perempuan lain juga menjual barang yang sama. Mereka perempuan asli Papua.
Sudah hampir tiga tahun mereka mengais rezeki dari berdagang noken dan asesoris Papua di pinggir jalan itu. Mereka mengaku tak punya pilihan, selain berjualan noken dan asesoris dari jam lima sore hingga larut malam.
Noken adalah tas tradisional Papua yang dibawa dengan kepala. Biasanya terbuat dari serat kulit kayu. Sama dengan tas, noken dipakai untuk membawa barang-barang kebutuhan sehari-hari. Orang Papua memakainya untuk membawa hasil-hasil pertanian seperti sayuran, umbi-umbian dan juga membawa barang-barang dagangan ke pasar.
Karena keunikannya dibawa menggunakan kepala, noken didaftarkan ke Lembaga PBB Urusan Pendidikan, Sains dan Kebudayaan (UNESCO) sebagai karya tradisional dan warisan kebudayaan dunia. Pada 4 Desember 2012, noken ditetapkan sebagai warisan kebudayaan tanpa benda UNESCO.
Tersenyum, tapi pelit kata
Mengorek cerita empat wanita itu sangat sulit. Meski selalu tersenyum, tak mudah keluar sepatah dua patah dari mulut mereka. Tipikal pedagang asli Papua nyaris semuanya seperti ini, memercayai orang adalah hal “mewah”.
Mereka seringkali digunakan sebagai obyek untuk kepentingan tertentu. Mulai dari orang-orang yang punya kepentingan untuk dana bantuan sosial sampai kampanye politik kerap mendatangi mereka.
Biasanya ketika politisi datang, mereka diwawancara, KTP mereka difotocopy, wajah dan dagangan mereka dipotret. Tapi bertahun-tahun dana bantuan sosial tak sampai kepada mereka. Pemimpin berganti mereka masih berjualan di lokasi itu.
Blandina yang sedikit terbuka akhirnya mau berbagi kisah tentang dirinya dan dua anaknya, tapi dia menolak menyebutkan marganya.
‘Nama saya Blandina. Itu saja. Tidak ada fam (marga)”, ujar perempuan berusia 32 tahun ini.
Ia merantau ke Jayapura dari tempat asalnya, Enaro, sembilan tahun silam. Ia datang bersama suaminya yang saat itu sedang mendapat tugas belajar dari kantor. Namun, tak lama ia hidup bersama suaminya di Jayapura. Suaminya meninggal dunia, dua tahun setelah mereka tiba di ibukota Papua.
Blandina tak bisa pulang ke kampung. Dia tidak tahu harus bagaimana kehidupannya jika pulang. Suaminya yang pegawai negeri sudah lama tak berkebun seperti kebanyakan masyarakat Enaro.
Ia juga tak tahu apakah suaminya punya tanah atau tidak di Enaro. Dia mengaku tak lagi punya tanah di Enaro yang bisa dijadikan kebun. Akhirnya, Blandina harus pasrah bertahan hidup di Jayapura.
Saat ditinggalkan suaminya untuk selamanya, Blandina sedang mengandung anak kedua. Anak pertamanya, Rosita saat itu berusia dua tahun.
"Anak saya yang kedua laki-laki. Sekarang kelas satu SD di Abe. Kakaknya ini selalu ikut saya berjualan. Kalau saya pulang sebentar ke rumah, dia yang jaga saya punya jualan," tutur Blandina.
Rumahnya di lereng bukit Padang Bulan tak jauh dari tempat dia berjualan. Jaraknya hanya 10 menit pakai ojek. Setiap jam tujuh malam dia pulang mengantar makanan untuk anak laki-lakinya, kemudian kembali untuk berjualan.
Bakat berdagang
Blandina punya bakat pedagang. Ia mulai berdagang tak lama setelah suaminya meninggal. Berbekal uang pensiun suaminya, ia membuka usaha jual bensin eceran. Tapi hanya sebentar. Tempat jualan bensin cukup jauh dari rumah yang disewanya sehingga ia harus meninggalkan anaknya setiap malam hingga jelang subuh.
Blandina sempat berdagang “kupon putih”, atau judi toto gelap (togel). Itu juga tidak berlangsung lama. Hanya lima bulan. Walau penghasilannya lumayan dibanding saat berjualan bensin eceran, ia merasa tak nyaman karena harus membagi uang setoran setiap pekan kepada beberapa orang yang mengaku polisi.
“Ada teman-teman yang dapat tangkap. Mereka keluar lagi setelah bayar 5 juta. Ada yang bayar 10 juta. Saya tak bisa bayar jika ditangkap. Jadi saya berhenti jual togel,” kisah Blandina.
Lalu ia jualan sayur dan buah di pinggir jalan depan Universitas Cenderawasih. Di sini, setiap sore memang banyak perempuan asli Papua berjualan sayur dan buah-buahan. Tapi tiga tahun lalu, penertiban yang dilakukan pemerintah kota membuat ibu-ibu ini harus pindah berjualan ke Waena.
Blandina tak punya waktu luang di pagi hingga siang hari sehingga tak bisa berjualan di Waena. Waktu luangnya hanya ada saat sore hingga malam.
“Saya punya kebun kecil di belakang rumah. Pagi sampai siang saya urus kebun,” ujarnya.
Usai bekerja di kebun, Blandina merajut noken untuk dijual. Tapi noken Blandina berbeda dengan tas yang diakui warisan kebudayaan tanpa benda UNESCO. Bahan noken buatan Blandina dan ketiga rekannya di depan Saga Mall dari benang.
Satu noken ia buat dalam seminggu. Blandina mengaku punya sekitar seratus noken untuk dijual. Tiap sore dia hanya membawa 30 noken. Harganya bervariasi sesuai ukuran mulai Rp50.000 hingga Rp.200.000.
Ia juga menjual asesoris lain seperti gelang dan pembatas buku. Tapi itu bukan miliknya. “Ini titipan orang,” katanya sambil menunjuk barang dagangan di hadapannya.
Noken Blandina banyak dibeli orang-orang yang datang dari luar Papua, selain para mahasiswa di Jayapura. Sebulan dia bisa mendapat penghasilan bersih hingga Rp.3 juta.
“Iya toh. Lebih besar daripada jual bensin atau jual togel,” katanya sambil tertawa.
Penghasilan perempuan perajut noken itu lebih besar dari upah minimum Provinsi Papua yang ditetapkan sebesar Rp2,4 juta.