Empat Prajurit Tewas dalam Penyerangan ke Pos TNI di Papua Barat

Sayap militer gerakan separatis mengaku bertanggung jawab atas insiden itu.
Ronna Nirmala
2021.09.02
Jakarta
Empat Prajurit Tewas dalam Penyerangan ke Pos TNI di Papua Barat Dalam foto tertanggal 3 September 2021 ini, para prajurit TNI di Makassar, Sulawesi Selatan, membawa peti mati dua tentara yang gugur dalam serangan sehari sebelumnya oleh pemberontak separatis di pos militer TNI di Kabupaten Maybart Papua Barat.
AP

Diperbarui pada Jumat, 3 September 2021.

Komando Daerah Militer di Papua Barat pada Kamis (2/9) mengerahkan dua peleton pasukan untuk mengejar kelompok yang melakukan penyerangan dengan senjata tajam ke pos tentara yang menewaskan empat prajurit dan melukai dua lainnya.

Sayap bersenjata dari kelompok separatis Organisasi Papua Merdeka (OPM) yang menamakan diri mereka Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB) mengaku bertanggungjawab atas penyerangan di Distrik Aifat Selatan, Kabupaten Maybrat itu, dan mengancam akan terus melakukan tindakan serupa.    

Pangdam Kasuari Mayor Jenderal I Nyoman Cantiasa mengatakan penyerangan Pos Koramil Kisor terjadi pada Kamis jelang subuh sekitar pukul 4:00 waktu setempat dilakukan oleh sekitar 30 orang yang disebutnya sebagai “separatis teroris.” 

“Ya, sekitar 30 orang ke atas, kami duga KST, dengan menggunakan senjata tajam, parang, menyerang pagi hari mengakibatkan empat anggota TNI AD gugur, dua lainnya luka bacok, sementara lima anggota dalam keadaan selamat,” kata Cantiasa dalam konferensi pers. 

KST adalah singkatan dari Kelompok Separatis Teroris, istilah yang dipakai pemerintah setelah menetapkan individu atau grup pemberontak pro-kemerdekaan dari Indonesia sebagai teroris pada bulan April. 

“Saya atas nama pribadi dan komando menyampaikan turut berduka cita yang mendalam atas gugurnya prajurit-prajurit terbaik sebagai kusuma bangsa dalam menjalankan tugas negara di Tanah Papua Barat ini,” Cantiasa menambahkan. 

Identitas empat anggota yang gugur adalah Komandan Pos Koramil Persiapan Kisor Lettu Chb Dirman, Serda Ambrosius Apri Yudiman, Praka Muhammad Dhirhamsyah, dan Pratu Zul Ansyari Anwar. 

Sementara dua prajurit terluka, Sertu Juliano dan Pratu Ikbal, saat ini dalam perawatan intensif di RS Sorong Selatan. 

Cantiasa mengatakan telah memerintahkan Komandan Korem Sorong dan dua peleton prajuritnya untuk mengejar kelompok separatis dalam keadaan hidup atau mati. Pihaknya juga telah berkoordinasi dengan Kapolda Papua Barat Irjen Tornagogo Sihombing untuk menambah pengamanan di sekitar lokasi kejadian. 

Pangdam mengatakan kondisi di Papua Barat aman dan meminta masyarakat di Kabupaten Maybrat dan sekitarnya untuk tetap tenang dan tidak terprovokasi.

“Sekarang Bupati Maybrat ada di lokasi kejadian untuk menenangkan masyarakat,” kata Cantiasa.

Konflik kelompok separatis dengan aparat keamanan di Papua Barat terakhir kali terjadi pada awal Mei, ketika rombongan Kapolres Maybrat Kompol Bernadus Okoka ditembaki ketika melintas di wilayah Kampung Aisya, Distrik Aifat Timur. Polisi mengatakan tidak ada korban jiwa dalam insiden tersebut. 

TNI mengirim 400 personel Batalyon Infanteri (Yonif) 315/Garuda ke Papua dan Papua Barat untuk menjaga keamanan menyusul serangkaian aksi kekerasan oleh kelompok separatis, termasuk yang menewaskan Kepala BIN Papua Brigjen I Gusti Putu Danny Nugraha Karya pada bulan April. 

Kematian Danny Karya itu pula yang menjadi salah satu pemicu pemerintah mempercepat keputusan untuk menyebut kelompok separatis yang melakukan kekerasan secara brutal sebagai teroris. 

TPNPB akui penyerangan

Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB) mengatakan bertanggung jawab atas penyerangan yang mereka sebut sebagai bagian dari “strategi perang pembebasan.” 

“Brigjen Deny Mos dan pasukannya bertanggung jawab atas penyerangan ini, dan manajemen markas pusat Komisi Nasional TPNPB-OPM di bawah pimpinan Goliath Tabuni bertanggung jawab secara komando,” kata juru bicara Sebby Sambom, melalui rekaman suara kepada BenarNews. 

Wakapolri Komjen Gatot Eddy Pramono pada awal Juni mengidentifikasi Tabuni sebagai pemimpin kelompok separatis bersenjata yang bermarkas di Tingginambut Puncak Jaya, Papua. 

Sambom mengatakan kelompoknya tidak akan berhenti melakukan penyerangan di seluruh Tanah Papua sampai pemerintah mau duduk bersama untuk berunding dengan seluruh organisasi pemberontak. 

“Pemerintah Indonesia di bawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo untuk segera bersedia duduk di meja perundingan dengan kami, TPNPB-OPM, yang berafiliasi dengan semua organisasi perjuangan. Perang tidak akan berhenti di Tanah Papua selagi Indonesia masih menduduki,” kata Sambom. 

Awal Juni, kelompok yang sama juga menyerukan warga pendatang untuk keluar daerah yang dilanda peperangan pasca-penembakan dua warga sipil di Ilaga, Kabupaten Puncak. TNI ketika itu merespons dengan menjamin keamanan dan keselamatan warga.

TPNPB meminta aparat untuk tidak melakukan operasi militer di pemukiman warga. 

“Kami sampaikan kepada pemerintah Indonesia untuk tidak lagi mengejar atau membunuh atau melakukan operasi militer di wilayah-wilayah pemukiman masyarakat sipil. Cari TPNPB langsung di markas-markasnya dan perang di sana,” kata Sambom. 

Cahyo Pamungkas, pengamat konflik Papua dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), mengatakan terus berulangnya peristiwa kekerasan yang memakan korban jiwa di Papua dan Papua Barat memberikan ketegasan bahwa operasi militer tidak relevan dalam upaya penyelesaian konflik di sana. 

“Kelompok separatis bersenjata sudah ada dari tahun 1965, mereka sering menyerang aparat setiap tahun. Ini menandakan konflik Papua belum dapat atau tidak dapat diselesaikan dengan pendekatan keamanan,” kata Cahyo kepada BenarNews. 

Sayangnya hingga kini, pendekatan dialog antara Jakarta dan Papua belum juga menjadi agenda pemerintahan Presiden Joko “Jokowi” Widodo, lanjut Cahyo. “Pemerintah lebih memilih pendekatan pembangunan ekonomi dan operasi penegakan hukum. Tidak ada trust antara pemerintah dan kelompok separatis,” katanya. 

Dia mengatakan perlu adanya komitmen kedua pihak untuk melindungi masyarakat sipil yang menjadi korban dalam konflik berkepanjangan. 

“Pemerintah dan TPNPB harus menyepakati jeda kemanusiaan untuk membeirkan akses bagi warga sipil yang terjebak dalam konflik bersenjata,” kata Cahyo. 

Dalam perkembangan lain pada hari yang sama, pasukan keamanan menangkap seorang pemimpin separatis di Kabupaten Yahukimo Papua yang diidentifikasi sebagai Senat Soll, demikian menurut Kantor Berita Antara.

Polisi menembak Soll di kaki setelah dia diduga menyerang petugas yang mencoba menangkapnya lapor Antara, mengutip kepala investigasi kriminal polisi Papua Faisal Rahmadani.

Polisi menuduh Soll, yang pernah menjadi prajurit TNI itu, memperdagangkan senjata dan membunuh seorang anggota Komisi Pemilihan Umum setempat dan seorang pekerja toko furnitur pada Agustus 2020, kata Rahmadani.

Sejak wilayah Papua resmi menjadi bagian dari Indonesia melalui Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) di bawah pengawasan Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tahun 1969, konflik antara separatis dan aparat keamanan Indonesia terus mewarnai wilayah Papua.

Aktivis hak asasi manusia dan sebagian warga Papua melihat Pepera manipulatif karena melibatkan hanya sekitar 1000 orang yang telah diinstruksikan untuk memilih bergabung dengan Indonesia.

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.