Papua Ragukan Pemerintah dalam Selesaikan Kasus HAM
2016.03.30
Jayapura/Jakarta
Sejumlah pihak di Papua meragukan janji Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam), Luhut Binsar Pandjaitan yang menyatakan bahwa pemerintah akan menyelesaikan kasus-kasus dugaan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) dalam tahun ini.
Kordinator Bersatu untuk Kebenaran, Peneas Lokbere menegaskan tak mungkin bisa diselesaikan kasus-kasus HAM dengan durasi waktu setahun seperti dikatakan Luhut. Dia juga meragukan keseriusan pemerintah untuk menyelesaikannya.
“Satu tahun, yang benar saja. Banyak kasus pelanggaran HAM di Papua. Menjanjikan waktu setahun sudah membuat saya ragu dengan keseriusan pemerintah,” tegasnya.
Ketika berkunjung ke Papua tanggal 28 dan 29 Maret lalu, Luhut menyatakan bahwa pemerintah akan menyelesaikan kasus-kasus dugaan pelanggaran HAM dalam tahun ini.
“Dari 16 kasus dugaan pelanggaran HAM yang dilaporkan terjadi di Papua, menurut saya ada sekitar delapan kasus yang tidak masuk kategori pelanggaran. Itu menurut saya ya. Namun untuk memastikannya masih terus dipelajari untuk dipilah-pilah,” kata Luhut.
Di antara 16 kasus itu, tambahnya, termasuk penembakan di Paniai, Wasior dan Wamena.
Untuk memastikan apakah kasus tersebut pelanggaran HAM atau bukan, pemerintah akan melibatkan Gubernur Papua, Kapolda, Pangdam serta Komnas HAM, katanya.
Luhut menambahkan, bulan Mei ini ada dua kasus yang akan dilaporkan ke Presiden Joko Widodo. Namun, dia tak menyebutkan kedua kasus tersebut.
Sudah dilapor ke Komnas HAM
Lokbere, yang selama ini aktif mengadvokasi para korban pelanggaran HAM Papua, menyebutkan semua kasus pelanggaran HAM di Papua sudah dilaporkan ke Komnas HAM.
“Komnas HAM itu lembaga negara kan? Lalu pemerintah mau meragukan keputusan lembaga negara itu?” tanyanya heran.
Anggota Komisi I DPR Papua, Laurens Kadepa juga tak yakin kasus-kasus pelanggaran HAM di provinsi itu akan selesai dalam setahun.
“Luhut akan menggunakan rumus apa untuk menyelesaikan semua itu,” ujarnya kepada BeritaBenar.
Menurut dia, penembakan yang menewaskan lima siswa di Paniai pada Desember 2014, pemerintah sulit mengungkapkannya. Bagaimana dengan pelanggaran HAM yang terjadi belasan hingga puluhan tahun lalu, tambahnya.
“Cara pemerintah menyelesaikan kasus penembakan siswa di Paniai tak masuk akal. Pihak yang diduga pelaku justru disuruh menyelidiki kasus itu. Itukan tidak benar,” kata Kadepa.
Tetapi, Yulianus Dwaa, aktivis Pemuda Adat Papua berharap agar semua pihak dapat menerima kehadiran Menko Polhukam karena ada ruang dialog untuk penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM di Bumi Cendrawasih.
“Saya pikir ada itikad baik dari pemerintah agar semua pihak berkomunikasi secara langsung. Dan yang paling penting adalah masyarakat tidak terprovokasi,” ujarnya.
Kunjungi Papua Nugini dan Fiji
Setelah berada dua hari di Papua, Luhut bertolak ke Papua Nugini dan Fiji. Lawatan itu dinilai beberapa pihak yang diwawancara BeritaBenar, Rabu di Jakarta, positif untuk mereduksi pengaruh gerakan Papua merdeka di kawasan Pasifik Selatan.
"Meskipun hanya Luhut seorang tapi ini penting, karena setidaknya pemerintah bisa memberikan informasi berimbang kepada mereka (negara Pasifik), setelah apa yang dipropagandakan gerakan Papua merdeka di sana," kata pengamat politik keamanan dari Universitas Padjadjawan, Muladi.
Menurut dia, pemerintah selama ini cenderung abai dalam menjaga hubungan diplomasi yang baik dengan negara-negara Melanesia seperti Fiji atau Papua Nugini, yang memiliki kedekatan dengan penduduk Papua.
Anggota Komisi I DPR RI Tantowi Yahya juga menyambut baik langkah pemerintah yang mulai serius membina hubungan dengan negara Pasifik Selatan sebagai langkah awal untuk menangkal pengaruh gerakan Papua merdeka.
"Kalau bisa, lawatan berikutnya harus menuju negara-negara yang selama ini kurang bersahabat seperti Solomon atau Vanuatu," ujar politikus Partai Golkar itu.
Pendekatan psikologis
Pengamat politik militer dari Universitas Hasanuddin, Mulyadi meminta pemerintah tak melupakan pendekatan psikologis dalam penyelesaian masalah di Papua, selain mengintensifkan lobi kepada negara-negara Melanesia.
Mulyadi menambahkan, andaikata pemerintah hanya berfokus pada diplomasi untuk memperkuat klaim bahwa Papua bagian dari Indonesia, masalah yang ada selama ini terjadi di daerah itu tak akan terselesaikan.
"Karena masalahnya adalah bagaimana Papua mengakui Indonesia adalah mereka, bukan sekedar Indonesia mengakui Papua," katanya.
"Makanya pendekatan kultural menjadi kunci agar psikologis seperti merasa dianaktirikan, disepelekan, dan tidak dihargai bisa hilang," tambahnya.
Seorang komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Natalius Pigai menyatakan pemerintah seringkali hanya terfokus pada pembangunan infrastruktur di Papua, sebagai siasat "mengambil hati" warga setempat. Tapi, di sisi lain tetap melakukan beragam pelanggaran HAM.
"Padahal, kebutuhan mendasar warga Papua adalah tegaknya hak asasi manusia dan perlindungan hukum," ujar Natalius."Kalau itu berlanjut, konflik sosial dan politik hanya akan menjadi lebih dalam saja."
Merujuk data Komnas HAM, sejak Joko “Jokowi” Widodo menjadi presiden, kasus-kasus pelanggaran HAM masih saja terjadi di Papua. Komisi mencatat setidaknya 700 warga Papua disiksa, dianiaya, atau bahkan dibunuh dalam dua tahun terakhir.