COVID-19, 63 Tahanan Politik Surati PBB Mendesak Pembebasan Tanpa Syarat
2020.04.16
Jakarta
Lebih dari 60 tahanan dan narapidana politik di Indonesia menyurati Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk mendesak pemerintah membebaskan mereka tanpa syarat, menyusul ancaman penularan COVID-19 di dalam penjara dengan kapasitas berlebih, kata pengacara hak asasi manusia, Kamis.
Surat desakan para tapol yang kebanyakan berasal dari Papua dikirimkan oleh pengacara hak asasi manusia ( HAM) pada Rabu malam kepada Gugus Kerja Penahanan Sewenang-wenang dan Pelapor Khusus Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), kata Jennifer Robinson, salah satu pengacara.
Surat itu disertai dokumen 400 halaman yang berisi data tapol dan uraian apa yang mereka sebut sebagai pelanggaran hukum internasional yang telah dilakukan pemerintah Indonesia.
“Kini penahanan mereka tak hanya tidak sah, tapi juga mengancam keselamatan jiwa. Semua 63 tapol tersebut harus segera dibebaskan tanpa syarat,” kata Robinson kepada BenarNews.
Selain Robinson, surat tersebut turut ditandatangani Veronica Koman, pengacara hak asasi manusia Indonesia yang kini tinggal di Australia.
Veronica saat ini berstatus buron dari kepolisian Indonesia karena dituding menyebarkan informasi bohong terkait insiden asrama mahasiswa Papua di Surabaya, Jawa Timur, tahun lalu yang memicu kerusuhan di Tanah Papua selama bulan Agustus dan September.
Sebanyak 63 tapol tersebut terdiri dari 56 orang asli Papua, satu orang non-Papua, lima orang Maluku, dan satu orang berkewarganegaraan Polandia.
Beberapa nama yang termasuk dalam daftar tersebut adalah aktivis dan Juru Bicara Front Rakyat Indonesia (FRI)-West Papua, Surya Anta Ginting, dan perempuan pembawa bendera Bintang Kejora, Sayang Mandabayan.
Sebagian besar tapol ditangkap saat aksi unjuk rasa besar-besaran di Papua dan daerah lain pada akhir 2019. Mereka dijerat dengan Pasal 106 dan/atau Pasal 110 KUHP dengan ancaman penjara maksimal 20 tahun. Kendati demikian, baru tujuh orang dari seluruh yang ditahan tersebut telah mendapatkan vonis.
Veronica mengatakan bahwa daftar 56 nama tapol yang belum mendapatkan vonis telah diserahkan kepada Presiden Joko “Jokowi” Widodo untuk dilakukan peninjauan kembali atas penahanan mereka.
“Pada Februari, kepada Presiden Jokowi ketika Beliau mengunjungi Australia dan juga kepada Menkopolhukam. Namun, sejauh ini kita belum mendapat respons apapun, kecuali bahwa Pak Menteri (Mahfud MD) bilang bahwa data tersebut sampah,” kata Veronica dalam statemen yang diterima BenarNews.
Pejabat Kementerian Hukum dan HAM tidak dapat dihubungi untuk dimintai komentar perihal tuntutan pembebasan para tahanan dan narapidana tersebut.
Hingga 11 April, Kementerian Hukum dan HAM telah membebaskan 36.554 narapidana melalui program asimilasi dan integrasi untuk mencegah penyebaran COVID-19.
Para napi yang mendapat program asimilasi adalah mereka yang sudah akan menjalani dua per tiga masa hukuman mereka pada bulan Desember tahun ini. Untuk napi anak-anak, mereka harus sudah menjalani setengah dari masa hukum pada bulan Desember tahun ini.
Mereka yang dibebaskan lebih awal diwajibkan menjalankan isolasi di rumah masing-masing sampai diintegrasi lewat pembebasan bersyarat, cuti menjelang bebas atau cuti bersyarat.
Hingga Kamis (16/4), jumlah pasien yang dinyatakan meninggal dunia karena terinfeksi virus corona mencapai 496 kasus, menempatkan Indonesia sebagai negara dengan angka kematian tertinggi di Asia Tenggara. Adapun total pasien positif mencapai 5516 orang, dengan 548 di antaranya dinyatakan sembuh.
Mei diperkirakan 95.000 kasus
Puncak kasus COVID-19 di Indonesia diperkirakan akan terjadi pada awal Mei hingga awal Juni dengan jumlah konfirmasi positif mencapai 100.000 an orang terinfeksi, ujar pakar kesehatan masyarakat di tim gugus tugas penanganan COVID-19, Wiku Adisasmito.
“Kami yakin masa puncak dari pandemik COVID-19 di Indonesia akan dimulai awal Mei dan akan berakhir pada awal Juni dengan angka akumulatif positif mencapai 95.000 dan akan terus bertambah mencapai 106.000 sepanjang Juni hingga Juli,” katanya kepada wartawan.
Hasil tersebut, ujarnya, didapatkan dari hasil penelitian gabungan yang dikerjakan beberapa pakar dari beberapa institusi ilmiah di Indonesia.
“Tetapi itu bukanlah angka pasti. Kami telah berusaha untuk menerapkan kebijakan bersama yang diharapkan bisa membuat prediksi tersebut tidak terjadi dan angka faktanya nanti akan lebih rendah dari prediksi tersebut,” kata dia.
Namun demikian, pihaknya tetap berpatokan terhadap perhitungan kasar terkait puncak dan jumlah korban Covid 19 di Indonesia. “Kami menghormati hasil itu dan akan bekerja keras supaya puncak itu tidak terjadi,” tambahnya.
Ia mengatakan pihaknya akan berupaya untuk mengintegrasikan seluruh data dari mulai kecamatan, kabupaten, kota, propinsi dan nasional. “Setelah kami ada data valid kami akan infokan ke publik terkait kasus per kasus yang terjadi di Indonesia,” ujar dia.