Panti Semedi, Rumah untuk Umat Semua Agama

Pemerintah diminta mewaspadai penyusupan paham radikal yang bertentangan dengan ideologi bangsa Indonesia.
Kusumasari Ayuningtyas
2016.11.18
Klaten
161118_ID_PAntiSemedi_1000.jpg Suasana diskusi kegiatan temu nasional lintas iman dan budaya di Rumah Retret Panti Semedi di Klaten, Jawa Tengah, 16 November 2015.
Kusumasari Ayuningtyas/BeritaBenar

Hening dan rindang terasa saat memasuki Rumah Retret Panti Semedi di Klaten, Jawa Tengah.

Panti yang dibangun pada tahun 1963 itu awalnya dikhususkan untuk umat Katolik sebagai tempat peristirahatan. Dalam perkembangannya, peruntukan menjadi lebih luas lagi dan tidak terbatas pada umat Katolik saja.

“Siapa saja boleh menggunakan selama kegiatan yang dilakukan terkait dengan rohani,” ujar Direktur Rumah Retret Panti Semedi, Romo Ignatius Wardi Saputra.

Apa yang dikatakannya terbukti, seperti terlihat pada Rabu, 16 November 2016, ketika BeritaBenar menyambangi tempat itu.

Bangunan yang tampak asri dinaungi pepohonan berusia puluhan tahun itu menjadi tuan rumah bagi sekitar 130 peserta kegiatan lintas iman. Banyak perempuan berkerudung dan pria berpeci seliweran, tanpa canggung.

“Nyaman sekali di sini, sampai siang masih terasa sejuk seperti pagi hari,” ujar Wakhid, seorang peserta kegiatan Temu Nasional Lintas Iman dan Budaya.

Kegiatan selama 12-16 November 2016 dalam rangka Hari Toleransi Internasional yang jatuh setiap 16 November itu, diikuti perwakilan enam agama di Indonesia dan mendatangkan beberapa tokoh agama tingkat nasional sebagai pembicara.

Wakhid merupakan umat Islam yang telah ikut kegiatan sejak Senin sehingga merasakan kenyamanan menginap di rumah retret bersama peserta lainnya.

Pernyataan bersama

Pada hari terakhir, peserta yang merupakan 43 simpul jaringan multikultur di Indonesia mengeluarkan delapan poin pernyataan bersama.

Mereka mengajak setiap umat mawas diri dalam menjalani kehidupan keberagamaan. Dalam konteks interaksi umat beragama lain, diminta mengedepankan nilai-nilai saling memahami demi terciptanya keharmonisan.

“Kami mendesak pemerintah bersikap tegas dan tak diskriminatif, sesuai peraturan dan undang-undang berlaku, terhadap pihak-pihak yang berusaha merusak kerukunan antar-umat dan mengancam keberlangsungan NKRI,” tulis mereka.

Mereka juga mendesak pemerintah menghargai kearifan lokal, nilai budaya, dan agama dalam membuat perumusan kebijakan serta tidak menghambat partisipasi masyarakat dan mengikis keberagaman serta potensi lokal.

“Kami mengajak tokoh-tokoh untuk mengembangkan dan menyebarkan ajaran agama yang menghargai kemajemukan, perdamaian, dan menjaga lingkungan hidup,” sebut pernyataan itu.

Mereka juga mendesak pemerintah mewaspadai penyusupan paham radikal yang bertentangan dengan ideologi bangsa Indonesia serta berusaha mempengaruhi pelajar, mahasiswa, dan kaum muda.

Para siswa SMA melakukan kegiatan di taman Rumah Retret Panti Semedi. (Kusumasari Ayuningtyas/BeritaBenar)

Untuk umum

Kisah Rumah Retret Panti Semedi berawal tahun 1960, ketika Soegijapranata, yang juga adalah uskup pribumi pertama di Indonesia, membeli tanah persawahan seluas 4,8 hektar. Saat pembangunan dimulai akhir tahun 1963 di tanah tersebut, Soegijapranata sudah meninggal dunia.

“Waktu itu, belum ada rumah retret di Jawa Tengah. Jadi, ini yang pertama dan tertua,” ujar Romo Wardi.

Rumah retret itu kini kerap menjadi tempat kegiatan rohani. Kegiatan rohani disini maksudnya lebih pada sisi psikologi berupa motivasi diri dan bukan rohani keagamaan.

Menurutnya, ketika orang-orang datang ke rumah retret, mereka berada dalam keadaan lelah psikis. Ada yang tertekan karena bisnis, masalah keluarga, atau para remaja yang bermasalah.

“Kita sediakan tempat saja, mereka datang dengan tujuan dan membawa pendamping sendiri,” tuturnya.

Seringkali institusi dan kalangan profesi, juga forum keagamaan, meminjam rumah retret untuk aktivitas mereka. Mereka antara lain pelajar, mahasiswa, TNI, perkumpulan guru, dokter, pengusaha, dan pensiunan.

“Ada juga umat Kristen, Budha, Hindu, Muslim, meski hanya berupa forum kecil saja,” ujar Romo Wardi yang sebelumnya bertugas di Katedral Jakarta.

Ketika umat agama lain datang, biasanya forum bersifat umum, seperti cara mengatasi persoalan remaja agar terbebas dari pergaulan bebas dan narkoba. Mereka datang dengan pembimbing sendiri.

“Ketika ada kegiatan yang murni religi di sini, itu hanya khusus untuk umat Katolik,” tutur Romo Wardi.

Menurutnya, dari ratusan rumah retret di Jawa Tengah, hanya Panti Semedi tersebut yang boleh dipakai untuk umum. Selebihnya fokus untuk kerohanian Katolik.

Sesuai keyakinan

Pihak yang sering menjadikan rumah retreat sebagai lokasi pertemuan adalah Forum Kebersamaan Umat Beriman (FKUB) Kebersamaan Klaten. Menurut Jazuli Kasmani, pengurus FKUB Kebersamaan, Rumah Retret Panti Semedi cukup representatif.

“Sulit mencari seperti ini. Ini bagai hutan di tengah kota, mau pakai ini juga antrinya 1,5 tahun,” terang Jazuli, yan sering mengajak santrinya outbound di tempat yang masih berada di tengah kota Klaten ini.

Bagaimana Muslim melaksanakan shalat? Jazuli mengatakan, itu tak perlu dikhawatirkan selama memenuhi syarat. Shalat dilakukan dalam kamar atau ‘mushalla’ biasanya dipilih oleh muslim yang berkegiatan di sana.

“Bukan tempatnya yang dimasalahkan, yang penting kita shalat menghadap Allah bukan yang lain,” tegasnya.

Wakhid dan rekannya, Desta, juga punya pandangan sama terkait tempat melaksanakan shalat saat ikut kegiatan di rumah retret.

“Selama bersih dari najis, tak masalah di mana lokasi shalat,” ujar Wakhid.

Keduanya memilih shalat di mushalla sementara yang disediakan karena luas sehingga bisa berjamaah.

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.