Pakar: Pemerintah akan Kesulitan Tarik Pajak Perusahaan Penyedia Konten

Tia Asmara
2016.04.13
Jakarta
160413_ID_Tax_1000.jpg Pejalan kaki melintas di depan kantor pusat Direktorat Jenderal Pajak di Jakarta, 20 Januari 2011.
AFP

Upaya pemerintah untuk menarik pajak perusahaan penyedia konten berbasis data atau over the top (OTT) seperti Google, Twitter, Facebook, dan Yahoo akan menghadapi tantangan, demikian menurut seorang pakar teknologi informasi (IT).

“Petugas pajak kita tidak bisa ambil pajak perusahaan yang di luar negeri, emang bisa ngejar?“ ujar Onno W Purbo, pakar IT dari Institut Teknologi Bandung kepada BeritaBenar, Selasa, 12 April 2016 saat diminta tanggapan, terkait rencana pemerintah mengejar pajak dari perusahaan-perusahaan digital itu.

Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro, Rabu pekan lalu, mengungkapkan bahwa pemerintah sedang mengkaji laporan keuangan perusahaan OTT itu karena ternyata tidak pernah membayar pajak kepada Indonesia.

Menurut dia, banyak penghasilan perusahaan OTT itu dari kegiatannya di Indonesia.

"Kami sedang menghitung potensi pajak yang hilang hingga lima tahun ke belakang," kata Bambang kepada wartawan.

Tetapi Onno menyebutkan alasan pemerintah memungut pajak dengan alasan ingin melindungi konsumen tidak mendasar karena para pengguna dunia maya tak merasa diuntungkan dengan peraturan ini.

“Pajak dibayarkan jika ada manfaat. Sementara ini tidak ada nilai tambah apa-apa ke warga dunia maya,” ujarnya.

Menurut dia, transaksi apapun lewat internet kini sangat mudah. Contohnya, belanja online barang dari China hanya dikenai pajak bea cukai saat tiba di Indonesia.

“Bukan berarti perusahaan asal China itu harus bayar pajak ke Indonesia, kan?,” tuturnya.

Apalagi jika transaksinya berbentuk jasa keuangan seperti Paypal, akan sulit dilacak oleh Bank Indonesia sekalipun, tambahnya.

Sulit diblokir

Onno menilai pemerintah tidak bisa serta merta memblokir perusahaan OTT karena dunia digital yang semakin berkembang banyak alternatifnya.

“Jika diblokir satu, masih ada yang lain. Banyak alternatif. Situs porno saja tidak bisa diblokir semuanya,” kata dia.

Akhir Maret lalu, Kementerian Komunikasi dan Informasi mengeluarkan surat edaran tentang penyediaan layanan aplikasi dan konten yang berisi pemahaman kewajiban bagi OTT jika ingin terus berbisnis di Indonesia.

Menurut edaran tersebut, perusahaan OTT wajib mendirikan Bentuk Usaha Tetap (BUT) di Indonesia sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan, termasuk dalam bidang perpajakan.

Manager perwakilan International Data Corporation (IDC) untuk Indonesia dan Filipina, Sudev Bangah, menilai peraturan ini bisa membantu pemerintah dalam melakukan penyensoran jika tidak sesuai dengan regulasi.

“Tapi sangat disayangkan jika pemerintah memblokir atau membatasi konten yang tersedia melalui situs-situs tertentu karena dianggap buruk. Ini dapat menghalangi kesempatan belajar bagi masyarakat Indonesia,” katanya kepada BeritaBenar.

Dia menilai dilihat dari sisi ekonomi, para pelaku bisnis teknologi akan menerapkan peraturan dan terus melakukan penetrasi dengan masyarakat Indonesia jika sesuai proporsi.

Namun dia juga mengkhawatirkan peraturan tersebut akan makin menjauhkan perusahaan OTT yang tidak punya basis besar di Indonesia. Hal ini agak bertentangan dengan gagasan Indonesia yang ingin menjadi negara dengan ekonomi berbasis digital tahun 2025.

“Peraturan semakin ketat untuk masuk dan beroperasi (bagi) perusahaan OTT. Berlawanan dengan negara lain yang justru sangat ingin mengembangkannya,” tegasnya.

Bisa dikenakan sanksi

Juru bicara Google Indonesia, Jason Tedjasukmana mengaku bahwa pihaknya sudah terdaftar sebagai badan hukum di KPP Tanah Abang III dengan status PMA (Penanaman Modal Asing) sejak 15 September 2011.

"PT Google Indonesia didirikan tahun 2011. Kami telah dan akan taat membayar pajak sesuai ketentuan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia," ujarnya.

Tetapi, Direktur Penyuluhan Pelayanan dan Humas Direktorat Jenderal Pajak, Mekar Satria Utama mengatakan pihaknya sedang mengaudit perusahaan raksasa itu.

Jika nanti ditemukan ada pelanggaran, berbagai sanksi bisa dikenakan sesuai dengan Undang-Undang Perpajakan, katanya.

“Bisa kena denda, sanksi administratif atau kenaikan pajak bila pidana,” ujarnya.

Mekar merincikan, denda keterlambatan laporan sekitar Rp1 juta. Sanksi sebesar 2 persen perbulan dari kekurangan bayar dan keterlambatan maksimal 24 bulan.

“Jadi maksimal sanksi bisa 48 persen dari kekurangan pajak. Selain itu kenaikan empat kali dari kekurangan pajak bila sudah dalam tahapan penyidikan,” jelasnya.

Selama ini, ujar dia, perusahaan OTT terdaftar sebagai kantor-kantor perwakilan. Pajak mereka sebatas pembayaran gaji karyawan, PPN, atau Corporate Income Tax terkait kegiatan mereka.

Sedangkan kantor perwakilan seharusnya hanya sebagai agen tidak ada kegiatan usaha sehingga tak ada pajak pendapatan perusahaan.

“Jika ditetapkan sebagai BUT kena pajak atas penerimaan dari penduduk Indonesia. Kalau tak di-BUT-kan, penerimaan iklan dari orang Indonesia yang posting di Google, Facebook dan lain-lain menjadi bisnis income mereka,” jelasnya.

“Dengan ada BUT atau permanent establishment, penghasilan tersebut bisa ditarik sebagai penghasilan BUT dan dikenakan pajak di Indonesia,” tambahnya.

Mekar menolak menyebutkan jumlah potensi pajak yang bisa diperoleh dari perusahaan OTT dengan alasan audit masih berlangsung.

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.