Pemerintah Berlakukan Tarif Baru dan Pengampunan Pajak bagi Orang Kaya
2021.10.07
Jakarta
Dewan Perwakilan Rakyat pada Kami (7/10) mengesahkan revisi aturan perpajakan yang menyasar peningkatan penerimaan melalui kenaikan pajak orang kaya dan pertambahan nilai, tariff emisi karbon, serta pada saat yang sama juga menerapkan kembali pengampunan pajak.
Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) Yasonna Laoly mengatakan revisi aturan yang disahkan menjadi Undang-undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) itu merupakan bagian dari upaya pemerintah untuk meningkatkan rasio pajak sekaligus menetapkan kepastian hukum atas kepatuhan.
“Dalam rangka membangun basis pajak yang luas dan kuat, maka reformasi perpajakan adil, sehat, dan akuntabel mutlak diperlukan. Ini juga dilakukan agar lebih kuat di tengah tantangan pandemi,” kata Yasona, usai pengesahaan UU HPP di Gedung DPR RI, Jakarta, Kamis.
Yasonna mengatakan, penyusunan revisi aturan telah mengakomodasi beragam pandangan, baik dari akademisi, pengusaha, hingga masyarakat.
Merujuk salinan draf terakhir RUU HPP yang diterima BenarNews, aturan baru itu terdiri dari 19 pasal yang di antaranya mencakup kententuan baru penggunaan Nomor Induk Kependudukan (NIK) sebagai Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) untuk mempermudah proses pemungutan pajak individu.
Aturan baru ini turut mengubah skema Penghasilan Kena Pajak (PKP) bagi wajib pajak dengan penghasilan di atas Rp5 miliar per tahun dengan pungutan sebesar 35 persen. Sebelumnya, aturan itu hanya mengatur pengenaan pajak 30 persen bagi wajib pajak dengan penghasilan di atas Rp500 juta per tahun.
“Ini dimaksudkan untuk lebih mencerminkan keadilan. Bagi orang pribadi yang lebih mampu, harus membayar pajak lebih besar,” kata Yasonna.
Selain itu, batas tarif terendah PKP sebesar 5 persen dalam UU HPP dinaikkan dari penghasilan total Rp54 juta per tahun menjadi Rp60 juta per tahun.
“Artinya, masyarakat dengan penghasilan sampai dengan Rp4,5 juta per bulan tetap terlindungi dan tidak membayar pajak penghasilan sama sekali,” katanya.
Beban PPN dan PPh
Undang-undang baru juga menaikkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang sebelumnya 10 persen secara bertahap menjadi 11 persen pada 1 April 2022, dan sebesar 12 persen berlaku paling lambat 1 Januari 2025.
Di sisi lain, pemerintah juga membatalkan rencana untuk menurunkan tarif PPh badan dari 22 persen pada tahun ini, menjadi 20 persen pada 2022.
Sarman Simanjorang, Wakil Ketua Umum Bidang Pengembangan Otonomi Daerah Kamar Dagang dan Industri Indonesia (KADIN), mengatakan penerapan kebijakan ini seharusnya dilakukan saat kondisi ekonomi sudah pulih dari efek pandemi COVID-19.
“Ekonomi kita ini baru akan bangkit, belum pulih. Kalau PPN naik dalam kondisi seperti ini, maka daya beli akan sulit sekali untuk digenjot,” kata Sarman ketika dihubungi.
Dia menilai, penerapan PPN dan pembatalan penurunan PPh badan ujungnya bakal berdampak pada konsumen. “Untuk PPh, kami tentu maunya turun. Kalau ekonomi kita tumbuhnya sudah berkualitas, bolehlah PPh dan PPN naik,” katanya.
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) Roy Mandey mengatakan, meski kenaikan PPN tidak tinggi, namun tetap berpotensi menimbulkan reaksi.
“Kenaikan bisa memicu inflasi yang didorong permintaan dan peningkatan harga. Karena ekonomi pulih perlahan, terutama di ritel, kami khawatir konsumsi rumah tangga akan tergerus,” kata Roy.
Konsumsi rumah tangga masih menjadi penyumbang tertinggi dari total produk domestik bruto (PDB) Indonesia dengan hampir 60 persen, sebut data Badan Pusat Statistik. Penurunan kinerja konsumsi rumah tangga menjadi faktor utama ekonomi Indonesia memasuki resesi pada kuartal II/2020 yang berlangsung hingga kuartal pertama tahun ini.
Merujuk data Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) per November 2020, tarif PPN Indonesia berada sejajar dengan Vietnam, Amerika Serikat (AS), dan Korea Selatan,namun masih di bawah China (13 persen) dan Brasil (17-18 persen).
Sementara, rerata tarif PPh badan di negara Asia sebesar 22,17 persen, negara-negara OECD sebesar 22,8 persen, dan negara G20 sebesar 24,17 persen.
Pengampunan jilid dua
Pemerintah kembali menerapkan program pengampunan pajak atau tax amnesty mulai 1 Januari 2022, hingga enam bulan ke depannya. Program yang pertama kali diadakan pada 2017 itu, memberikan kelonggaran bagi wajib pajak untuk membuka harta bersih yang belum atau kurang diungkapkan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT) pajak.
Harta yang dilaporkan merupakan aset yang diperoleh selama periode 1 Januari 1985 hingga 31 Desember 2015. Harta bersih itu kemudian akan dianggap sebagai tambahan penghasilan dan dikenakan PPh final.
Pada jilid pertama, program pengampunan pajak berhasil melampaui target deklarasi harta dalam dan luar negeri sebesar Rp4.000 triliun, dengan mencapai Rp4.552,8 triliun. Kendati demikian, nilai yang direpatriasikan hanya sebesar Rp145,9 triliun dari target Rp1.000 triliun.
Yusuf Rendy Manilet, ekonom Center of Reform on Economics (CORE), mengatakan penerapan tax amnesty hanya semakin memperlebar ketimpangan karena program ini hanya akan menguntungkan orang-orang kaya yang memiliki tingkat kepatuhan pajak rendah.
“Pengampunan pajak kalau diberikan berkali-kali, maka akan kehilangan maknanya. Pemerintah akan kehilangan wibawa karena semakin terlihat keberpihakannya kepada orang-orang kaya. Kan sudah pernah diberikan pengampunan, masa masih tidak patuh,” kata Yusuf.
Berkaca dari pencapaian program tahap pertama, Yusuf melihat pengampunan pajak tidak signifikan menaikan rasio pajak. Kenaikan rasio pajak tercatat hanya terjadi pada periode 2017 dan 2018, masing-masingnya 9,9 persen dan 10,2 persen. Setelahnya, rasio terus turun hingga ke level 8,3 persen pada 2020, sebut data Kementerian Keuangan.
“Kalau memang mengincarnya kenaikan penerimaan, harusnya dilakukan pendekatan yang lebih ekstrem dengan menaikkan tarif tertinggi dari PPh atau tambah lagi pajak untuk orang kaya,” katanya.
Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menjadi satu-satunya fraksi di DPR yang menolak pengampunan pajak dalam pembahasan RUU Perpajakan. Anggota Badan Anggaran DPR dari Fraksi PKS, Ecky Awal Munawar, mengatakan program tersebut hanya menunjukkan kebijakan perpajakan yang jauh dari prinsip keadilan fiskal.
“Kita tidak sependapat dan menolak terkait rencana tersebut kenapa karena jelas ini sesuatu yang aneh, karena kita sudah keluarkan UU TA di 2015, masa ada lagi program yang sama dengan yang lalu," kata Ecky, di DPR.
Tarif pajak karbon terlalu rendah
Pada kesempatan yang sama, pemerintah juga menyepakati penerapan atas pajak karbon senilai Rp30 per metrik kilogram karbon dioksida ekuivalen (CO2e) atau $2,1 per metrik ton CO2e. Tarif tersebut lebih rendah dari usulan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati sebesar $5,2 per metrik ton CO2e.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan penerapan pajak karbon sebagai bentuk komitmen Indonesia dalam menurunkan gas emisi rumah kaca seperti dalam Perjanjian Iklim Paris.
“Pembangunan ke depan diarahkan untuk mempertahankan keseimbangan antara pertumbuhan ekonomi, target penurunan emisi, dan kapasitas daya dukung sumber daya alam,” kata Airlangga dalam konferensi pers, Kamis.
Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), menilai tarif yang ditetapkan pemerintah masih terlalu rendah dan dikhawatirkan tidak efektif dalam mengubah perilaku masyarakat maupun industri dalam mendorong terjadinya transformasi ekonomi yang rendah karbon.
Nilai tersebut juga menurutnya sangat jauh dari standar yang ditetapkan Bank Dunia sebesar $35 dolar per metric ton CO2e.
“Mungkin ini hasil negosiasi dengan berbagai kepentingan. Tarif Indonesia paling rendah di antara negara lain, bahkan di Cina, ketika memulai perdagangan karbon, harga awal dimulai di $6.93 per ton,” kata Fabby, melalui sambungan telepon.
Fabby berharap dalam aturan turunannya nanti, pemerintah masih memberikan ruang untuk melakukan koreksi tarif terutama ketika sudah terjadi perbaikan ekonomi agar upaya untuk menurunkan gas emisi rumah kacanya menjadi maksimal sesuai dengan komitmen yang dituangkan dalam National Determined Contribution (NDC).
Dalam dokumen tersebut, pemerintah menetapkan target pengurangan emisi gas rumah kaca sebesar 29 persen dengan usaha sendiri dan 41 persen dengan dukungan internasional pada 2030.