Cukup Sulit, Rehabilitasi Orangutan yang Dieksploitasi
2016.05.04
Balikpapan
Poni hanya menghabiskan masa muda dalam kandang berteralis besi. Pelepasliaran orangutan betina 20 tahun itu nyaris mustahil karena trauma masa lalunya sebelum diselamatkan Borneo Orangutan Survival Foundation (BOSF).
“Sekarang dia ditempatkan dalam kandang saja, bersebelahan dengan klinik Pusat Rehabilitasi Nyaru Menteng, Kalimantan Tengah,” tutur Humas BOSF, Nico Hermanu saat dihubungi BeritaBenar, Rabu, 4 Mei 2016.
Poni sudah menjalani proses rehabilitasi selama 13 tahun. Sebelumnya, BOSF, BKSDA dan polisi menyita Poni dari tempat pelacuran Kereng Pangi, Kabupaten Katingan, Kalimantan Tengah (Kalteng) pada 2003.
“Memang benar, Poni dimanfaatkan sebagai pelacur di lokalisasi itu. Kami berhasil menyitanya meski ada penolakan dari pemiliknya,” papar Nico.
Nico mengisahkan Poni dipaksa melayani syahwat pria hidung belang yang memiliki kebiasaan seks menyimpang. Pemiliknya mencukur habis seluruh bulu Poni sehingga sekilas fisiknya menyerupai manusia.
“Kami ada foto-fotonya sebagai bukti,” ungkapnya. “sekarang Poni bertubuh gemuk dan sehat dalam kandangnya.”
Trauma masa lalu, kata Nico, menjadi penghalang proses rehabilitasi Poni. Selama belasan tahun, naluri alamiah Poni sulit dibangkitkan seperti sedia kala. Interaksinya yang terlalu lama dengan manusia membuatnya lambat bersaing dibandingkan 482 individu orangutan lain di Nyaru Menteng.
“Memang Poni ada kecenderungan lebih nyaman dengan manusia dibanding sesama orangutan. Dia sangat malas mencari makanan maupun membuat sarang saat dalam lokasi pra-peliaran. Akhirnya kami kembalikan ke kandang,” paparnya.
Rehabilitasi
Nico menyatakan proses rehabilitasi orangutan biasanya membutuhkan waktu enam hingga 12 tahun. Adapun proses rehabilitasi Poni sudah di atas angka perhitungan normal dibandingkan orangutan sejenisnya.
“Kami masih berusaha melakukan rehabilitasi kepada Poni meskipun kemungkinan kecil,” ujarnya.
Koordinator Komunikasi dan Pendidikan Nyaru Menteng, Agung Monterado yang dihubungi terpisah, menambahkan eksploitasi orangutan juga terjadi dalam industri hiburan Thailand. Pemerintah Thailand pernah memulangkan 49 individu orangutan asal Kalteng pada 2006 lalu.
“Mereka dilatih untuk bermain sirkus, Thai Boxing, dan lain lain,” tuturnya.
Menurut dia, proses rehabilitasi orangutan yang mengalami eksploitasi sangat sulit. Sebagian besar orangutan sitaan dari Thailand masih menjalani rehabilitasi peliaran di Nyaru Menteng.
Selain itu, tambahnya, enam orangutan yang disita di Kuwait juga sedang menjalani proses rehabilitasi sejak akhir Desember 2015 lalu.
Agung mengungkapkan Pusat Rehabilitasi Nyaru Menteng mengajarkan orangutan untuk bertahan hidup setelah dilepasliarkan ke hutan. Setiap orangutan mendapat pelatihan survival selama enam tahun atau lebih tergantung tingkat kecerdasannya masing masing.
Menipis habitat hutan
Kapten tim Crusader, Pusat Perlindungan Orangutan (Centre for Orangutan Protection-COP), Paulinus Kristianto menyatakan masalah utama pelestarian orangutan adalah makin menipisnya luasan habitat hutan primer di Kalimantan.
Menurut dia, terdapat 60 ribu populasi orangutan Kalimantan, sehingga perlu luasan habitat 12 juta hektare area hutan primer.
“Seekor orangutan idealnya butuh area minimal seluas 200 hektare. Hutan primer Kalimantan tidak ada setengahnya,” jelasnya.
Hal ini menyebabkan tingginya konflik manusia dan orangutan Kalimantan. Paulinus mencatat, empat kasus pembantaian orangutan di Kalimantan Timur (Kaltim) dalam lima bulan terakhir.
“Februari lalu, tiga orangutan dibakar di Bontang dan baru-baru ini ada seekor yang dibunuh di Sungai Sangata,” ungkapnya.
Dia menyebutkan populasi orangutan masih banyak ditemui di hutan primer Kalteng dan Kaltim. Khusus di Kaltim, dia menyebutkan tiga kantong populasi orangutan yakni Kutai Barat, Kutai Timur dan Berau.
Tapi pemerintah daerah, katanya, cukup agresif dalam pengembangan perkebunan kelapa sawit dan pertambangan batu bara sehingga mengganggu habitat orangutan.
“Akibatnya banyak orangutan masuk ke pemukiman warga mencari makan. Habitat alamnya sudah berganti menjadi perkebunan sawit dan pertambangan batu bara. Manusia menganggap orangutan sebagai hama,” tutur Paulinus.