Ketika Ojek Menjadi Agen Perdamaian di Ambon
2016.08.01
Ambon
Kamis, 28 Juli 2016, pukul 21.30 WIT, pangkalan ojek di Desa Batu Merah, Kecamatan Sirmau, Ambon, masih ramai. Jeverson Latuharhary (27) dan dua temannya menunggu penumpang. Selang beberapa menit, seorang warga mencari tumpangan. Jeverson menawarkan jasa ojeknya.
Tidak menunggu lama, Jeverson yang beragama Kristen itu, mengeluarkan motor dari pangkalan dan mengantar penumpang beragama Islam ke kawasan Kebun Cengkeh. Selain penumpang Muslim, ia juga mengantar warga Kristen yang bersilaturahmi ke kerabat dan teman Muslim.
Kedatangan pengojek Kristen, sudah diketahui dan dimaklumi tukang ojek Muslim di sana. Warga setempat sering menjamu Jeverson dan teman-temannya makanan dan minuman.
Apa yang terlihat sekarang mungkin tidak akan terpikir bisa terjadi pada masa-masa awal pecahnya konflik 1999 yang tersulut dari pertikaian antara supir angkot dengan seorang preman di terminal bis Batu Merah.
Pertikaian tersebut memicu kerusuhan yang meluas menjadi konflik antara umat Islam dan Kristen di Ambon dan beberapa daerah lain di Maluku.
Konflik selama 1999-2002 itu menewaskan 5.000 jiwa. Data lain menyebutkan, korban jiwa lebih dari 10.000 karena konflik melebar hingga ke Maluku Utara yang dulunya belum dimekarkan menjadi provinsi. Kala itu, pengojek ditengarai menjadi bagian dari pihak yang menyulut api konflik.
Agen Perdamaian
Pengojek di pemukiman Kristen (Passo) dan Islam (Tulehu) membangun kesepakatan tahun 2008 untuk menjalin kembali kerukunan dan menjaga perdamaian. Menjelang Natal, pengojek Muslim bisa mangkal di pemukiman Kristen. Sebaliknya ketika Idul Fitri, pengojek Kristen beroperasi di wilayah Muslim.
“Tahun 2008, pemuda Passo bekerja sama dengan pemuda Tulehu untuk roling mengojek saat Natal dan Tahun Baru. Begitu juga saat Idul Fitri, kami mencari penumpang di Tulehu,” kata Yafet Koedoeboen, pengojek asal Passo yang mangkal di Jalan Baru, Manusela.
Untuk memastikan kenyamanan dan antisipasi hal-hal buruk, Jafet yang juga ketua pemuda Passo, membuat pemberitahuan kepada sesama pengojek, bahwa beberapa hari menjelang Natal dan Tahun Baru, pangkalan sudah harus dikosongkan untuk pengojek dari Tulehu.
“Setiap Idul Fitri, kami sengaja tak parkir motor dalam pangkalan. Basudara pengojek Kristen sudah tahu itu. Selama dua hari mereka cari penumpang di sini,” tutur Abdullah Rumalean (25), pengojek di pangkalan Batu Merah Dalam.
Pengakuan yang sama juga dikatakan Iskandar Rumodar (25) dan beberapa temannya yang mangkal di pemukiman Kristen ketika Natal. Kala itu, mereka mengantar penumpung hingga ke Hatalae, Kecamatan Leitimur Selatan, yang mayoritas beragama Kristen.
“Basudara (saudara) Kristen sangat terbuka menerima dan menghargai kami. Mereka bilang, mengojek saja. Tidak perlu khawatir,” tutur Iskandar.
Warga melintas di jalan dekat pangkalan ojek yang ada di Kota Ambon, Maluku, 30 Juli 2016. (Tajudin Buano/BeritaBenar)
“Sekarang sangat terbalik dan ini menunjukkan hakikat damai yang sesungguhnya. Terlepas dari budaya Maluku (Pela Gandong- ikatan persaudaraan), tetapi setiap manusia dilahirkan dengan potensi damai. Dalam kondisi apapun, perdamaian harus tetap dijaga,” kata salah satu pekerja perdamaian, Agus Loupaha kepada BeritaBenar.
Upaya mendamaikan Maluku secara totalitas, tutur pendeta Gereja Protestan Maluku (GPM) Maluku itu, harus dimulai dari masyarakat paling bawah. Sebab, perdamaian yang direkayasa pemerintah, tidak selalu berhasil.
Masyarakat harus dibiarkan bertemu dalam semua aspek kehidupan, baik sosial, agama dan ekonomi. Perjalanan 17 tahun masyarakat Maluku lepas dari konflik membuktikan bahwa perdamaian adalah keniscayaan.
“Perdamaian jangan direkayasa dan dimanfaatkan oleh siapapun buat kepentingan tertentu. Saat masyarakat dibiarkan bersosialisasi, damai, dan rukun akan tercipta dengan sendirinya. Lambat laun perasaan curiga akan hilang. Itu yang terjadi selama ini,” jelasnya.
Upaya ini, kata Loupahaa, sangat mempan terhadap provokasi. Sebab, pengojek merupakan kelompok yang bersentuhan langsung dengan semua lapisan masyarakat. Kalau ada isu yang bernilai provokasi bisa segera diredam.
Potensi konflik
Aksi sederhana pengojek itu membuat Gubernur Maluku, Said Assagaf terharu. Ia mengaku, kendati dalam bentuk antaran ojek, itu sangat bermakna untuk menjaga perdamaian, dan membuktikan keharmonisan antar umat beragama di Maluku semakin mengental.
“Ini merupakan aktualisasi nilai kohesi sosial dan budaya Pela Gandong, Satu Sayang Laeng, serta kesadaran saling menghargai dan melengkapi. Dengan begitu tercermin keharmonisan antarumar beragama karena semua merasa orang basudara,” katanya.
Meski upaya perdamaian telah dilakukan selama belasan tahun, namun potensi konflik masih ada. “Kalau potensi masih ada. Luka memang sudah sembuh, tetapi masih ngilu-ngilunya sedikit,” kata Direktur Binmas Polda Maluku, Moh. Yamin Sumitra.
Untuk mengantisipasi, aparat keamanan terus melakukan tindakan preventif melalui deteksi dini. Pencegahan juga dilakukan dalam bentuk patroli dialogis untuk menanamkan rasa percaya diri dalam setiap warga agar jangan terprovokasi pada berbagai isu yang tak jelas, katanya.
Terlepas dari kebutuhan hidup, Yafet, Jeverson, Abdullah, Iskandar, dan para pengojek lain ikut menebar benih perdamaian dengan cara mereka di wilayah yang pernah hancur karena konflik agama itu. Persaudaraan yang terjalin antara mereka, menjadi perekat keyakinan yang berbeda.