Asia Sambut Baik Respons Baru G7 Terhadap Program OBOR Cina
2021.06.23
Bangkok, Dhaka, Jakarta, Kuala Lumpur & Manila
Bangladesh dan negara-negara di Asia Tenggara menyambut baik respons baru negara-negara G7 atas inisiatif One Belt, One Road (OBOR) yang digulirkan Cina. Mereka mengatakan hal itu akan menjadi sumber lain untuk membiayai kebutuhan infrastruktur mereka yang terus bertambah.
Tetapi sejumlah analis di wilayah Asia Tenggara mengatakan, dengan terbatasnya informasi dan detil mengenai kapan dan bagaimana investasi ini akan terwujud, negara-negara tersebut harus menunggu dan melihat apakah program Kemitraan Membangun Kembali Dengan Lebih Baik atau Build Back Better World Partnership (B3W) yang dipimpin AS dapat menandingi delapan tahun yang telah berjalan dan ratusan miliaran dolar yang telah investasikan Cina dalam program pembangunan infrastruktur globalnya itu.
Program B3W yang diumumkan awal bulan ini di KTT G7 di Cornwall, Inggris, menjanjikan investasi infrastruktur yang berkelanjutan dan berbasis nilai senilai "ratusan miliar dolar" di negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah di tahun-tahun mendatang. Presiden Joe Biden saat mengumumkan inisiatif baru tersebut mengatakan bahwa program ini akan membantu mengurangi kebutuhan biaya sebesar US$40 triliun untuk proyek infrastruktur di negara-negara berkembang.
B3W adalah “kesempatan yang baik bagi kami,” ujar Menteri Perencanaan Bangladesh Abdul Mannan kepada BenarNews minggu ini.
“Kami akan mencoba memanfaatkan peluang tersebut untuk program pembangunan kami. Selain dari Cina, sumber lain dari B3W akan memungkinkan kami untuk mengeksplorasi dana untuk pembangunan infrastruktur di Bangladesh,” ujarnya.
Ekonom dan direktur eksekutif Policy Research Institute di Dhaka, Ahsan H. Mansur, menggambarkan inisiatif G7 yang baru sebagai “peluang besar bagi kami, negara-negara berkembang dan negara-negara berpenghasilan rendah.”
“Hal ini karena sekarang kami punya pilihan alternatif untuk mendapatkan dana,” katanya kepada BenarNews.
Thailand juga “menyambut” inisiatif G7 dan percaya bahwa G7 dan inisiatif One Belt, One Road (OBOR) Beijing “saling memperkuat,” ujar juru bicara Kementerian Luar Negeri, Thanee Sangrat, kepada BenarNews.
“Keduanya bertujuan untuk memperkuat konektivitas dan menciptakan rantai pasokan yang tangguh di wilayah kami,” katanya.
Sementara itu, Filipina menyambut baik B3W “tetapi melihat dan menerimanya dengan benar untuk mempercayainya,” ujar juru bicara kepresidenan Harry Roque kepada BenarNews.
Di Indonesia, juru bicara Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Jodi Mahardi, mengatakan menunggu perwujudan nyata dari inisiatif G7 itu.
“Kami menyambut inisiatif pembangunan B3W yang diusulkan oleh G7, namun kita ingin melihat implementasinya. Telah banyak inisiatif yang diusulkan Amerika namun tidak ada realisasinya,” kata Jodi kepada BenarNews.
“Skemanya harus fleksibel, harus didasarkan pada keinginan dari negara-negara mitra, tidak didasarkan paad apa yang menurut negara-negara Barat sebagai bagus. Saya menggunkan kata ‘partner’ karena saya tidak menginginkan hubungannya sebagai antara donor dan penerima. Kita ingin ini (kerja sama) yang sebanding.”
B3W belum jadi sepenuhnya, tetapi pada prinsipnya merupakan sumber pendanaan yang baik untuk Indonesia, ujar Fithra Faisal Hastiadi, direktur eksekutif Next Policy, sebuah lembaga kajian di Indonesia.
“Saya pikir B3W akan menjadi alternatif yang baik bagi Indonesia sebagai negara nonblok. Tapi saya kira masalahnya adalah inisiatifnya masih setengah matang,” ujar Fithra kepada BenarNews.
BenarNews menghubungi badan investasi Malaysia, kementerian perdagangan dan menteri yang bertanggung jawab soal ekonomi, namun tidak mendapatkan jawaban dari mereka.
Menurut spesialis hubungan internasional di Singapura, Oh Ei Sun, B3W akan mengarahkan negara-negara di kawasan ini “bermain dua sisi untuk melihat siapa yang dapat menawarkan lebih banyak.”
“Ini semua tentang uang, kita jangan membohongi diri sendiri,” ujar Oh kepada BenarNews.
Diresmikan di 2013, OBOR adalah program geopolitik yang digagas Presiden Cina Xi Jinping untuk membangun Jalur Sutra modern melalui jaringan pelabuhan, kereta api, jalan, dan rute perdagangan untuk menghubungkan Cina ke pasar di Asia Tenggara, Asia Selatan, dan sekitarnya.
OBOR dimulai delapan tahun lalu yang berfokus pada investasi dalam proyek energi, infrastruktur, dan transportasi di seluruh dunia. Besarnya estimasi investasi OBOR sangat bervariasi – dari $1 triliun hingga $8 triliun.
Menurut lembaga data keuangan di London, Refinitiv, proyek-proyek OBOR diperkirakan telah mencapai hampir 3,000 dengan nilai $3.87 triliun hingga Januari 2020
Proyek konstruksi yang sedang berjalan di Asia Tenggara antara lain termasuk proyek kereta api berkecepatan tinggi Bandung-Jakarta senilai $6 miliar di Indonesia dan proyek pelabuhan laut dalam senilai $1,3 miliar di Kyaukphyu, Myanmar.
Di Bangladesh, Cina telah mengucurkan sejak Oktober 2016, dana sebesar hampir $7 miliar untuk sembilan proyek pembangunan, menurut data dari Divisi Hubungan Ekonomi di Kementerian Keuangan. Namun, Dhaka tidak menyebutnya sebagai dana pinjaman OBOR, ujar Menteri Perencanaan Mannan.
‘Cara yang lebih setara’
Sebagian pihak mungkin melihat B3W dan OBOR sebagai pelengkap, tetapi Presiden Biden dan G7 melihat kedua inisiatif tersebut berbeda secara fundamental.
“Intinya, apa yang terjadi adalah Cina memiliki Inisiatif Belt and Road ini, dan kami pikir ada cara yang jauh lebih adil untuk memenuhi kebutuhan negara-negara di seluruh dunia,” ujar Biden pada konferensi pers di Cornwall, 13 Juni seperti yang dirilis dalam transkrip Gedung Putih.
“Dan kami percaya cara ini tidak hanya akan baik untuk negara-negara tersebut, tetapi juga akan baik untuk seluruh dunia dan mewakili nilai-nilai yang diwakili oleh kami negara-negara demokrasi, dan tidak otokratis tanpa nilai.”
Negara-negara demokrasi yang dimaksud selain AS adalah sesama anggota G7 yaitu Kanada, Prancis, Jerman, Italia, Jepang, dan Inggris.
Biden menyoroti bahwa Cina bukanlah negara demokrasi, dan menyinggung apa yang dikatakan para kritikus sebagai praktik pinjaman predator atau diplomasi perangkap utang Beijing melalui OBOR.
Sebagai contoh, analis menunjuk pada satu pinjaman Cina ke Sri Lanka sebagai kisah peringatan bagi negara-negara yang berencana untuk meminjam dari Beijing.
Di 2017, badan usaha milik negara Cina mengambil alih saham mayoritas di pelabuhan Hambantota yang strategis di Sri Lanka setelah Colombo berjuang keras untuk membayar hutangnya ke Cina.
Presiden Biden sepertinya juga merujuk pada pembiayaan Cina untuk proyek-proyek yang diduga sangat berpolusi di negara-negara berkembang.
Di Bangladesh, Beijing mendanai sebagian besar pembangkit listrik tenaga batu bara, yang baru-baru ini disebut oleh pemerhati lingkungan akan mengeluarkan Sulfur dioksida dan oksida Nitrogen, yang masing-masing lima kali dan tiga kali lebih tinggi daripada yang Cina izinkan di dalam negerinya.
Di sisi lain, B3W menekankan apa yang disebutnya “peningkatan keuangan multilateral,” ujar G7 dalam pernyataan yang dikeluarkan di Cornwall pada 13 Juni.
Bank pembangunan multilateral dan Lembaga keuangan internasional lainnya “telah berevolusi untuk mewujudkan standar tertinggi untuk perencanaan proyek, pelaksanaan, perlindungan sosial dan lingkungan, dan kemampuan analitis,” demikian tertulis dalam pernyataan tersebut.
“Kami menekankan pentingnya standar pinjaman dan pengadaan yang transparan, terbuka, efisien secara ekonomi, adil dan kompetitif, yang juga sejalan dengan keberlanjutan hutang, dan kepatuhan terhadap aturan dan standar internasional untuk negara-negara kreditur utama,” kata pernyataan bersama tersebut.
Pernyataan G7 itu juga menyebutkan bahwa inisiatif B3W rencananya akan dipandu oleh standar terbaru yang dipromosikan oleh Blue Dot Network.
Blue Dot Network, yang diumumkan oleh Amerika Serikat, Jepang, dan Australia pada November 2019, menilai dan mensertifikasi proyek infrastruktur untuk lingkungan yang berkelanjutan, transparansi keuangan, dan dampak ekonomi.
‘Thailand bersikap sama dengan upaya G7’
Thailand secara khusus menyambut fokus B3W untuk investasi yang transparan dan berkelanjutan melalui mekanisme internasional yang jelas dan mapan, ujar Thanee, juru bicara kementerian luar negeri.
“Thailand bersikap sama dengan G7 dalam mengembangkan infrastruktur berkualitas tinggi dengan pendekatan baru yang mengadvokasi tanggung jawab terhadap lingkungan dan masyarakat; fiskal yang keberlanjutan; partisipasi investor internasional dan lembaga keuangan; dan kompatibilitas dengan standar global dengan mengadopsi norma-norma internasional,” kata Thanee.
“Inisiatif B3W … mendukung prioritas kami.”
Menurut lembar fakta Gedung Putih tentang B3W, sektor-sektor prioritas untuk investasi B3W adalah iklim, kesehatan dan keamanan kesehatan, teknologi digital, serta kesetaraan dan kesetaraan gender.
Tetapi transparansi dalam investasi, dan pendanaan untuk proyek-proyek kesetaraan gender dan kesehatan dapat dilihat oleh beberapa negara sebagai “proyek favorit” yang datang “dengan ikatan,” ujar Oh, seorang rekanan senior di Singapore Institute of International Affairs.
“Hal-hal ini hanya penting dalam pandangan negara-negara demokrasi liberal yang maju” dan tidak dianggap penting di beberapa negara lain, kata Oh kepada BenarNews.
“G7 juga mengandalkan transparansi yang tidak lazim di sebagian besar negara berkembang,” kata Oh kepada BenarNews.
Oh dan Fithra meragukan bila negara-negara G7, betapapun majunya mereka sebagai negara-negara industri, memiliki kemampuan finansial untuk mengambil investasi OBOR besar-besaran dari Cina.
“Negara-negara G7 tidak punya uang untuk dihabiskan saat ini. Kondisi bertahun-tahun sebagai negara sejahtera telah diperburuk oleh pandemi yang membebani pundi-pundi mereka,” ujar Oh.
Negara-negara Eropa anggota G7 akan kesulitan meyakinkan warganya bahwa investasi infrastruktur diperlukan di seluruh dunia di saat mereka sedang memulihkan diri dari pandemi dan dampak Brexit, kata Fithra.
“Kalau mereka harus ikut dalam inisiatif ini, dari mana uangnya? Akan ada penentangan dari rakyatnya sendiri. Jadi ini seperti macan kertas,” katanya.
Chan Hoi Cheong, analis risiko politik dan keamanan senior di Safeture AB cabang Malaysia, mengatakan B3W mungkin datang terlambat dalam permainan geopolitik.
“Akan banyak yang harus dilakukan jika B3W bertujuan untuk merebut hati dan pikiran negara-negara Asia,” kata Chan kepada BenarNews.
Nontarat Phaicharoen di Bangkok dan Kunnawut Boonreak di Chiang Mai, Thailand, Kamran Reza Chowdhury di Dhaka, Ahmad Syamsudin di Jakarta, Hadi Azmi di Kuala Lumpur dan Ken Chang di Kota Kinabalu, Malaysia, dan Marielle Lucenio di Manila berkontribusi dalam laporan ini.