NU Ingatkan Bahaya Politik Uang dan SARA

Politik uang dan isu SARA pada Pilpres 2019 dikhawatirkan akan lebih gencar dibandingkan pada 2014.
Nisita Kirana Pratiwi
2018.01.03
Jakarta
180103_ID_NU_1000.jpg Ketua Umum PBNU, Said Aqil Siroj (tiga dari kiri) didampingi Sekjen PBNU, Helmy Faishal Zaini (tiga dari kanan), dan para pengurus PBNU saat menyampaikan pernyataan kepada wartawan di Jakarta, 3 Januari 2018.
Nisita Kirana Pratiwi/BeritaBenar

Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Said Aqil Siroj mengatakan demokrasi merupakan pilihan terbaik sebagai sistem penyelenggaraan kehidupan berbangsa yang majemuk seperti Indonesia.

Namun, PBNU mencatat demokrasi telah menghasilkan dua ekses yang merusak, yaitu munculnya politik uang dan sentimen suku, agama, ras dan antargolongan (SARA).

“Keduanya adalah kejahatan yang terbukti bukan hanya menodai demokrasi, tetapi mengancam Pancasila dan NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia),” katanya dalam acara “Muhasabah Kebangsaan: Resolusi 2018 dan Refleksi 2017”, di Jakarta, Rabu, 3 Januari 2018.

Menurutnya, jika politik uang merusak legitimasi, maka isu SARA merusak kesatuan sosial melalui sentimen primordial.

Dia mencotohkan Pemilihan Gubernur DKI Jakarta 2017 yang masih menyisakan noktah hitam bahwa perebutan kekuasaan politik bisa menghalalkan segala cara yang merusak demokrasi dan keutuhan NKRI.

"Pengalaman ini harus menjadi bahan refleksi untuk mawas diri. Demokrasi harus difilter dari ekses-ekses negatif melalui literasi sosial dan penegakan hukum,” ujarnya.

Penegakan Hukum

Said Aqil menambahkan masyarakat perlu dilibatkan dalam penyelenggaraan demokrasi yang sehat, tanpa politik uang dan sentimen primordial.

“Hal ini penting lantaran tahun 2018 dan 2019, Indonesia masuk tahun politik. Di Pilkada serentak 2018, ada 171 daerah menggelar Pilkada. Sementara, pada 2019 akan dihelat hajatan akbar yaitu Pemilihan Presiden dan Pemilihan Legislatif serentak,” katanya.

Bercermin pada kasus Jakarta, lanjutnya, kontestasi politik berpotensi mengganggu kohesi sosial dengan menggunakan sentiment SARA melalui penyebaran hoax, dan ujaran kebencian – terutama melalui media sosial.

"PBNU perlu mengimbau warganet lebih arif dalam menggunakan teknologi internet sebagai sarana penyebaran pesan-pesan nikmat, bukan fasilitas menjalankan kejahatan dan merancang permusuhan,” imbuhnya.

Di tempat terpisah, Kapolri Jenderal Tito Karnavian mengatakan ada sisi negatif dalam pelaksanaan Pilkada langsung, selain anggaran yang tinggi juga politik dilakukan pemilik kekuasaan.

Karena itu, polisi akan mengantisipasi politik uang dalam Pilkada 2018 dan Tito meminta masyarakat jangan berorientasi memilih kepala daerah yang membayar, tapi memilih karena programnya.

“Karena itu perlu ada langkah pencegahan agar masyarakat tidak mudah tergiur uang dari calon kepala daerah,” katanya seperti dikutip dari laman jawapos.com.

Dalam Pilkada Serentak 2017, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) menemukan ratusan dugaan politik uang di 101 daerah yang menggelar Pilkada, seperti dilansir kompas.com.

"Di semua daerah ada 600 temuan. Ada uang dan barang sembako," kata Muhammad, Ketua Bawaslu saat itu, pada Februari 2017.

Politik Identitas

Titi Anggraini, Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), menyatakan jika demokrasi dihubungkan dengan politisasi SARA, maka itu sebenarnya pekerjaan rumah global.

“Amerika sebagai negara demokrasi modern yang sudah sangat matang nyatanya juga menghadapi persoalan yang sama,” katanya kepada BeritaBenar, beberapa hari lalu.

Untuk mengatasi segregasi akibat politik SARA diperlukan antisipasi dan penyelesaian komprehensif karena pendekatan regulasi dan penegakan hukum saja tak cukup.

“Pendidikan politik terukur dan berkesinambungan mestinya jadi penawar fenomena ini,” katanya.

Sedangkan, Direktur Eksekutif The Political Literacy Institute dan Analis Komunikasi Politik Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta, Gun Gun Heryanto, mengatakan salah satu sisi yang harus diantisipasi adalah eksploitasi politik identitas.

“Hal ini sebagai cara untuk penetrasi ke basis pemilih terutama lapis terbesar adalah pemilih sosiologis yang banyak didekati, dan biasanya yang masih digunakan adalah isu SARA dan politik uang,” katanya saat dihubungi.

Ia mengakui sejak 2014, politik uang dan isu SARA semakin dahsyat, dan dikhawatirkan lebih memuncak pada Pemilihan Presiden 2019.

Kenapa? Karena pada 2018 saat Pilkada serentak ada daerah yang sangat padat yaitu Jawa Barat dengan 32,8 juta pemilih, Jawa Tangah dengan 27 juta pemilih dan Jawa Timur dengan 30 juta pemilih.

“Itu sudah representasi 48 persen suara Indonesia dengan 48 persen pemilih di tiga provinsi itu,” ujarnya.

Gun Gun menekankan lima pihak yang terlibat lebih berperan menjaga agar tidak terjadi pergesekan di tengah masyarakat.

Pertama, kandidat baik perorangan maupun yang diusung partai politik harus memiliki tanggung jawab politik. Maksudnya jangan hanya ingin maju tapi juga menjaga agar tidak terjadi konflik.

Kedua, penyelenggara Pemilihan Umum (Pemilu), Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Bawaslu harus imparsial dengan menegakkan aturan.

Ketiga, penegakan hukum oleh kepolisian harus benar-benar dilakukan sehingga punya efek jera terhadap pelaku politik uang dan penyebar isu SARA.

Keempat, peran tokoh masyarakat dan ulama.

“Tokoh masyarakat dan ulama alangkah baiknya jika mengeluarkan pernyataan yang memberikan kedamaian dan menjaga kondusivitas pelaksanaan Pilkada, bukan malah menambah masalah,” kata Gun Gun.

Terakhir adalah media massa harus memiliki tanggung jawab sosial dan tidak menjadi bagian penyebaran informasi yang tak bisa dipertanggungjawaban.

Titi menambahkan Indonesia secara perlahan mulai menunjukkan perbaikan tata kelola pemilu dan demokrasi yang bersifat prosedural, namun banyak harus dibenahi.

“Khususnya terkait upaya memastikan pejabat publik produk dari pemilu benar-benar berkontribusi bagi penguatan representasi politik, tata kelola pemerintahan yang baik, menguatnya pelayanan publik, dan perilaku antikorupsi,” pungkasnya.

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.