Pemerintah dan NU Minta Taliban Izinkan Anak Gadis Kembali Sekolah
2022.03.25
Jakarta

Pemerintah dan Nahdlatul Ulama (NU) pada Jumat (25/3) menyesalkan keputusan Taliban yang membatalkan pembukaan sekolah menengah bagi siswa perempuan di Afghanistan dan meminta agar anak gadis bisa kembali ke kelas.
Taliban yang kembali berkuasa di Afghanistan pada Agustus 2021 setelah penarikan pasukan AS telah berencana mengizinkan perempuan untuk bersekolah di tingkat pendidikan menengah pada Rabu (23/3), tapi belakangan berubah sikap dengan dalih masih mempertimbangkan rupa seragam yang harus dikenakan.
Juru Bicara Kementerian Luar Negeri Teuku Faizasyah mengatakan, Taliban sebaiknya meninjau ulang kebijakan tersebut.
"Indonesia prihatin dengan keputusan itu,” kata Faizasyah kepada BenarNews. “Semoga Taliban dapat mempertimbangan kembali karena pendudukan untuk semua pihak, termasuk perempuan dan anak perempuan."
"Hal itu (pendidikan) juga sangat penting bagi masa depan Afghanistan."
Di Twitter, Menteri Luar Neger Retno Marsudi menyatakan keprihatinan atas keputusan Taliban.
“Pendidikan untuk semua, termasuk perempuan dan anak gadis, merupakan hal yang sangat penting bagi masa depan Afghanistan,” cuit Retno
Ketua NU Yahya Cholil Staquf mendesak Taliban untuk dapat memenuhi hak perempuan di negara tersebut, terutama dalam bidang pendidikan.
Ia mencontohkan NU, yang merupakan organisasi masyarakat Islam terbesar di Indonesia, kian berkembang karena memberikan hak sama yang bagi perempuan, baik dalam mengakses pendidikan maupun keterlibatan dalam organisasi.
“Kita ingin menyerukan kepada Afghanistan: lihatlah keuntungan dan berkah besar yang telah dilakukan NU dengan memberikan hak pendidikan setara untuk perempuan."
"Hari ini, kita mampu melakukan lebih banyak hal karena kita punya perempuan yang unggul," kata Yahya, dilansir dari situs NU Online.
Sejumlah perempuan yang kini berada di kepengurusan NU, antara lain, putri mendiang Presiden Indonesia Abdurrahman Wahid yakni Alissa Wahid serta Khofifah Indar Parawansa --juga menjabat Gubernur Jawa Timur.
“Tolong beri putrimu pendidikan terbaik yang bisa kamu berikan, karena merekalah yang akan menentukan gambaran generasimu selanjutnya,” kata Yahya.
Seperti diberitakan kantor berita Reuters, kesedihan tampak di wajah para siswa perempuan tatkala Taliban mengurungkan niat membuka sekolah.
Seorang siswa yang tidak disebutkan namanya demi alasan keamanan yang berasal dari ibu kota negara, Kabul, dilaporkan menangis saat diperintahkan kepala sekolahnya untuk kembali pulang.
"Kami semua kecewa dan benar-benar putus asa ketika kepala sekolah memberitahu kami (sekolah tidak dibuka)," kata siswa tersebut seperti dikutip Reuters.
Dalam sejumlah kesempatan, dunia internasional menjadikan pendidikan bagi anak perempuan sebagai syarat utama pengakuan pemerintahan Taliban di Afghanistan.
Taliban kembali berkuasa pada Agustus tahun lalu setelah 20 tahun digulingkan oleh koalisi militer internasional pimpinan Amerika pasca serangan teror pesawat atas Twin Tower di New York dan Washington pada 11 September 2001.
Selama lima tahun pemerintahan Taliban pada akhir 1990-an, kelompok itu menerapkan kebijakan yang menekan hak-hak perempuan, seperti memutus akses pendidikan bagi perempuan dan anak perempuan.
Desakan perdamaian dan membuka diri bagi Taliban bukan kali ini saja dilakukan oleh pemerintah dan kelompok Islam Indonesia.
Wakil Presiden Jusuf Kalla, misalnya, beberapa kali bertemu dengan sejumlah kelompok di Afghanistan --termasuk Taliban—dalam rangka membantu mewujudkan perdamaian di negara tersebut.
Pada Agustus tahun lalu, Kalla mengatakan dia sempat bertemu petinggi Taliban sebanyak empat kali, dua kali di antaranya berlangsung di Jakarta, termasuk Abdul Ghani Barada, yang saat ini menjabat wakil pertama perdana menteri Afghanistan.
Dalam pertemuan itu, Kalla mengisahkan tentang perkembangan Islam di Indonesia. Mereka pun diklaim Kalla mengapresiasi perkembangan Islam di tanah air.
"Mereka kagum kita menjalankan Islam dengan baik. Tidak perlu konservatif," ujar Kalla seraya menambahkan bahwa ia percaya pemerintahan Taliban kali ini bakal lebih terbuka.
Pengurus NU pun beberapa kali menemui Taliban untuk mendesak kelompok tersebut membuka diri.
Dalam pertemuan kelima pada 2019 di markas PBNU di Jakarta, Mullah Baradar yang waktu itu pemimpin bidang politik Taliban turut hadir.
Salah satu ketua PBNU, Abdul Manan Ghani, mengatakan waktu itu bahwa Afghanistan sebagai negara yang masyarakatnya tidak semajemuk Indonesia dan berada dalam satu lokasi yang tak tersebar di ribuan kepulauan seperti Indonesia seharusnya bisa berdamai dan bersatu.
“Indonesia adalah negara kepulauan yang majemuk, tapi bisa damai dan tetap demokratis. Kami sampaikan bahwa cinta tanah air adalah sebagian dari iman,” ujar Abdul kepada BenarNews waktu itu.
Pengamat Timur Tengah Faisal Assegaf menambahkan, meski terkesan sepele namun perihal seragam yang dijadikan dalih oleh Taliban untuk menunda pembukaan sekolah bagi perempuan sejatinya tergolong krusial bagi masyarakat lokal.
Ditambah lagi keberadaan Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) di sejumlah daerah yang berpikiran bahwa perempuan seharusnya tidak boleh bersekolah dan berusaha mendelegitimasi kekuasaan Taliban.
"ISIS enggak sreg liat perempuan bersekolah sehingga pertimbangan itu yang dijaga oleh Taliban untuk menunda pembukaan sekolah," kata Faisal kepada BenarNews.
Sejak Taliban kembali berkuasa, tambah Faisal, ISIS merupakan ancaman terbesar di Afghanistan, terutama di provinsi Kunar, Nangarhar, dan Kandahar.
Namun Faisal percaya kebijakan perempuan bersekolah bakal berlaku di Afghanistan dalam waktu dekat lantaran petinggi Taliban saat ini dinilainya sudah tergolong moderat
"Kalau di Kabul, mungkin tidak masalah besar (perempuan sekolah). Hanya kendala di perkampungan karena masih banyak masyarakat yang berpikiran kolot bahwa perempuan harus bercadar atau tidak boleh bersekolah," pungkasnya.