Pemerintah Pulangkan 166 Nelayan Vietnam yang Ditahan di Indonesia
2021.11.16
Jakarta
Pemerintah Indonesia kembali memulangkan 166 nelayan Vietnam yang kedapatan menangkap ikan secara ilegal di perairan Indonesia, demikian keterangan Kementerian Kelautan dan Perikanan, Selasa (16/11).
Awak kapal itu dideportasi melalui Bandar Udara Hang Nadim di Batam, Kepulauan Riau pada Senin menuju Vietnam karena tidak ditetapkan sebagai tersangka pencurian ikan di laut oleh otoritas Indonesia, kata pejabat kementerian.
"Proses pemulangan nelayan non-justicia (tidak berstatus tersangka) akan terus dilakukan secara bertahap," kata Direktur Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (PSDKP) Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Laksamana Muda Adin Nurawaluddin dalam keterangan tertulis.
Para nelayan yang dipulangkan tersebut sebelumnya telah ditahan sementara untuk menjalani pemeriksaan di beberapa kantor perwakilan KKP dan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkum HAM) di sejumlah daerah.
Pemulangan ini menjadi yang kedua dilakukan pemerintah dalam tiga bulan terakhir. Pada akhir September lalu, sebanyak 200 orang awak kapal asal Vietnam juga dipulangkan melalui Bandar Udara Hang Nadim dengan pesawat carter yang dikirim oleh pemerintah di Hanoi.
Sekitar 500 nelayan Vietnam sebelumnya ditahan di banyak tempat di Indonesia, sebagian sudah terdampar lebih dari satu tahun. Mereka terhambat dipulangkan karena Vietnam menutup diri di tengah pandemic COVID-19, kata pejabat Indonesia.
Indonesia biasanya mengadili nakhoda kapal yang ditangkap dengan tuduhan mencuri ikan. Nelayan dan awak kapal biasa bisa langsung pulang setelah diberikan dokumen perjalanan oleh Kedutaan Besar Vietnam, namun banyak dari mereka yang terdampar di Indonesia selama bertahun-tahun karena tidak punya uang untuk membeli tiket pesawat.
Direktur Penanganan Pelanggaran KKP Teuku Elvitrasyah mengatakan sampai saat ini kementerian masih menahan 132 awak kapal ikan lain yang juga berasal dari Vietnam di Batam, Pontianak dan Natuna, namun dia tak bisa memperkirakan kapan mereka bakal direpatriasi.
"Kami akan berkoordinasi dengan Kementerian Luar Negeri dan Kemenkum HAM untuk mendorong Kedutaan Vietnam agar awak kapal yang tersisa dapat segera dipulangkan," kata Elvitrasyah.
Sepanjang Januari-Oktober 2021, jumlah kapal ikan asing yang ditangkap aparat Indonesia mencapai 48 unit, dengan rincian 17 kapal berbendera Malaysia, enam kapal Filipina, dan 25 kapal berbendera Vietnam.
Adapun pada 2020, kapal ikan asing yang ditangkap mencapai 91 unit.
Menurut peraturan, illegal fishing dikategorikan sebagai penangkapan ikan tanpa izin, menggunakan izin palsu, menggunakan alat tangkap yang dilarang, dan penangkapan jenis ikan yang tidak sesuai izin yang diberikan.
KKP tidak memerinci jumlah untuk masing-masing jenis pelanggaran tersebut.
Penyebab multifaktor
Direktur Eksekutif Pusat Kajian Maritim untuk Kemanusiaan, Abdul Halim, kepada BenarNews mengatakan, sulitnya menangkal praktik penangkapan ikan ilegal di perairan Indonesia dipicu banyak faktor.
Khusus untuk kapal ikan asal Vietnam, penyebab utama adalah perundingan batas Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE) kedua negara yang masih belum tuntas hingga sekarang.
Pemerintah Jakarta dan Hanoi sejauh ini telah bernegosiasi sebanyak 13 kali, tapi disebut Halim belum juga mencapai kesepakatan.
Pada sela-sela Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ASEAN 2019 di Bangkok, Thailand, Presiden Joko "Jokowi" Widodo bahkan berunding langsung dengan Perdana Menteri Vietnam untuk mempercepat penuntasan sengketa.
"Kendala utama, Vietnam saat ini defisit sumber daya perikanan sehingga mendorong kapal ikan mereka untuk masuk ke ZEE Indonesia," kata Halim.
Menurut catatan Pusat Kajian Maritim untuk Kemanusiaan, setidaknya terdapat sekitar 2.000 kapal Vietnam yang menangkap ikan di perairan Indonesia.
Salah seorang nelayan Natuna, Wandarman, mengaku aksi membandel kapal ikan Vietnam masih terjadi sampai saat ini. Tatkala melaut sekitar sepekan lalu, dia mengaku masih mendapati kapal negara tersebut di perairan Laut Natuna Utara.
"Selama seminggu di laut, saya berpapasan dengan lima kapal Vietnam berukuran 30-50 GT (gross ton). Mereka masih berani masuk ke perairan kita sampai sekarang,” ujar Wandarman saat dihubungi.
Perihal lain yang memicu illegal fishing di perairan Indonesia, tambah Halim, adalah lemahnya pengawasan otoritas keamanan Indonesia di perairan akibat tumpang tindih kewenangan di lapangan.
Selain Badan Keamanan Laut (Bakamla), pengawasan dan patroli perairan juga dilakuan TNI Angkatan Laut, Korps Kepolisian Perairan dan Udara (Polairud), serta Kementerian Kelautan dan Perikanan.
Halim mendesak sinergi semua lembaga tersebut agar pengawasan di lapangan dapat berjalan maksimal.
Lemahnya pengawasan di perairan juga sempat diakui para nelayan Natuna kepada BenarNews pada Desember 2019. Mereka, misalnya, mengaku kerap kebingungan untuk melapor saat mendapati kapal ikan asing memasuki perairan Laut Natuna Utara.
Masalah selanjutnya adalah pemanfaatan sumber daya laut yang tidak dilakukan maksimal. Padahal merujuk kebijakan Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) 711, tujuh provinsi yang termasuk ke dalam beleid tersebut diwajibkan untuk memaksimalkan pengelolaan sumber daya perikanan di perairan masing-masing.
Tujuh provinsi termasuk ke dalam WPP 711 yakni Kepulauan Riau, Riau, Jambi, Sumatra Selatan, Bangka Belitung, Kalimantan Barat, dan Kalimantan Tengah.
"Provinsi belum melihat pentingnya memanfaatkan sumber daya laut secara baik sehingga akhirnya perairan kita lebih banyak diisi kapal-kapal ikan asing," lanjut Halim.
Ia mendesak pemerintah untuk mempercepat negosiasi dengan Vietnam terkait batas negara, menyinergikan pengawasan antarinstitusi pengawas perairan, dan mendesak provinsi untuk memaksimalkan WPP 711.
"Rangkaian upaya itu bakal dapat mengurangi praktik illegal fishing di perairan Indonesia," pungkas Halim.