Gembong Narkoba Masih Bisa Kendalikan Bisnis dari Penjara

Ismira Lutfia Tisnadibrata
2016.03.28
Jakarta
160328_ID_Narkoba_1000 Polisi Indonesia memperlihatkan empat tersangka dan daun ganja kering seberat 4,7 ton yang telah disita di Banda Aceh, 19 Maret 2015.
AFP

Sejumlah terpidana gembong narkotika dan obat-obat terlarang (narkoba) diduga kuat masih bisa mengendalikan bisnis ilegal meskipun mereka berada di balik jeruji penjara.

Hal itu ditandai dengan temuan Badan Narkotika Nasional (BNN) yang menangkap delapan tersangka serta menyita 1.377 gram sabu dan 9.985 ekstasi di tiga lembaga pemasyarakatan (Lapas) di Jawa Timur.

Seorang dari delapan tersangka merupakan sipir Lapas. Sementara tujuh lagi adalah narapidana dari tiga Lapas di Jawa Timur. Mereka ditangkap dalam kurun waktu 12 - 14 Maret lalu.

“Pengungkapan jaringan di Lapas ini, kita sampaikan agar masyarakat tahu dan paham karena masalah narkoba sampai saat ini masih marak,” ujar Kepala BNN Budi Waseso seperti dikutip kantor berita Antara.

Juru bicara Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, Akbar Hadi Prabowo, ketika dikonfirmasi BeritaBenar di Jakarta, Senin, 28 Maret 2016 mengakuinya.

“Kami tidak pungkiri praktek seperti itu ada, maka kami terus bekerjasama dengan instansi-instansi lain seperti BNN,” ujarnya.

Tapi, menurut dia, tak semua bisnis narkoba yang dikendalikan oleh para gembong dari penjara dilakukan melalui telepon genggam.

Akbar menyebutkan, pihaknya terus mengupayakan pemberantasan praktik bisnis narkoba di penjara dengan menggelar razia secara berkala.

“Hambatan lain adalah rumah tahanan dan Lapas tidak mempunyai kapasitas dan sarana seperti pengacak sinyal ponsel atau detektor metal untuk memeriksa setiap pengunjung yang datang mengunjungi terpidana narkoba,” jelasnya.

Bisnis narkoba yang dikendalikan melalui sel penjara pernah dilakukan Freddy Budiman. Terpidana mati itu terbukti mengendalikan bisnis narkoba dari penjara setelah bekerja sama dengan petugas Lapas.

Sebelumnya, Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Luhut Binsar Pandjaitan dalam rapat keamanan Jawa Timur di Surabaya belum lama ini menyatakan perputaran uang yang dihasilkan dari bisnis narkoba di Indonesia diperkirakan mencapai Rp 66,3 trilyun per tahun.

Menurut Luhut, tahun 2015, terjadi peningkatan 13 – 15 persen warga Indonesia yang terkena jeratan narkoba dibanding tahun sebelumnya, atau sekitar 5,9 juta penduduk Indonesia. Narkoba juga merenggut nyawa 30 hingga 50 orang setiap hari.

Dia juga menyebutkan bahwa 70 persen dari peredaran narkoba dikendalikan oleh gembong narkoba yang berada dalam penjara.

Rusuh, lima tewas

Sementara itu pada Jumat 25 Maret malam terjadi kerusuhan di Lapas Malabero, Bengkulu, ketika petugas BNN Bengkulu hendak menjemput gembong narkoba Edison Irawan yang dipenjara di sana.

Narapidana (napi) di Lapas itu tidak terima Edison dijemput petugas BNN dan melakukan protes yang berujung pada kerusuhan.

Mereka melakukan pembakaran yang berdampak pada tewasnya lima napi, seorang tahanan patah pinggang dan 250 napi lain dipindahkan ke Lapas Bentiring yang tidak jauh dari Malabero, kata Akbar.

Dia menambahkan polisi telah menetapkan 17 napi sebagai tersangka karena memicu kerusuhan dan mulai pembakaran tumpukan kasur di sel tahanan sehingga api segera menyebar yang menghanguskan tiga blok Lapas yang dibangun tahun 1925 itu.

Faktor lain yang menyebabkan kerusuhan itu, menurut Akbar, adalah populasi napi yang jauh melebihi daya tampung penjara dan jumlah tenaga penjaga keamanan yang tidak sebanding.

Saat ini, menurut dia, ada 183 ribu jumlah penghuni di 477 rumah tahanan dan Lapas di Indonesia, dimana satu sel yang maksimum kapasitasnya lima orang, tetapi ditempati sampai 50 orang.

“Secara umum, 35 persen di antaranya masuk penjara karena kasus narkoba. Di kota-kota besar, populasi rumah tahanan dan lembaga pemasyarakatan didominasi kasus narkoba sekitar 50-60 persen,” jelas Akbar.

Warga India divonis 14 tahun

Pengadilan Negeri Denpasar, Senin, menjatuhkan vonis 14 tahun penjara terhadap seorang warga India, Sayed Muhammed Said (30) karena terbukti hendak memasok 1,5 kilogram sabu ke Indonesia

Sayed ditangkap beberapa saat setelah mendarat di Bandara Internasional Ngurah Rai, Bali, usai menempuh penerbangan dari Bangkok, September 2015. Dia disebut menyembunyikan sabu di balik tasnya.

Menurut kantor berita AFP, dalam persidangan sebelumnya, Sayed mengaku paket itu milik seorang temannya dan dia tak tahu kalau isinya sabu.

Hukuman 14 tahun penjara lebih ringan dari tuntutan jaksa yang meminta majelis hakim untuk menvonis Sayed 20 tahun penjara.

Penasihat hukum Sayed, Daniar Trisasongko mengatakan bahwa kliennya masih mempertimbangkan untuk mengajukan banding.

“Vonis itu terlalu berat karena klien saya tak tahu barang yang dia bawa sabu. Kami akan pelajari lebih dulu sebelum memutuskan langkah berikutnya,” kata Daniar.

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.