76 narapidana terorisme ucapkan ikrar setia kepada pemerintah Indonesia
2023.06.01
Bogor
Sebanyak 76 narapidana terorisme di Bogor mengikrarkan kesetiaan kepada negara dan Pancasila pada Kamis (1/6) dengan menggenggam dan mencium bendera merah putih. Seremoni itu diselenggarakan bertepatan dengan hari lahir Pancasila.
Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) mengklaim ikrar di Lembaga Pemasyarakatan Gunung Sindur itu sebagai bukti keberhasilan program deradikalisasi.
Namun, seorang pengamat terorisme menilai ikrar itu palsu dan dimanfaatkan oleh narapidana demi mendapat keleluasaan sementara.
“Ikrar setia kepada NKRI sebenarnya adalah tampilan luar yang palsu untuk menyembunyikan program deradikalisasi yang sesungguhnya sudah gagal,” kata Al Chaidar kepada BenarNews.
Al Chaidar mengatakan, banyak pejabat lembaga keamanan yang memanfaatkan seremoni ikrar setia sebagai pencitraan.
Dia juga menambahkan bahwa militansi ideologis para narapidana tidak bisa diubah hanya dengan ikrar setia. Dia menyarankan agar ikrar setia dilakukan setelah mereka keluar dari penjara.
“Kalau mereka setelah keluar dari penjara kemudian membuat ikrar setia kepada NKRI dan Pancasila, itu baru pernyataan yang sebenar-benarnya,” ucap Al Chaidar.
Menurut data yang dirilis tahun 2020 oleh Institute for Policy Analysis of Conflict (IPAC), sebuah lembaga kajian, sejak Mei 2002 hingga Mei 2020 tercatat ada 94 orang mantan narapidana terorisme yang menjadi residivis dari total 825 narapidana terorisme yang dibebaskan dalam kurun waktu tersebut.
Direktur Pencegahan Badan Nasional Pencegahan Terorisme (BNPT) Irfan Idris mengatakan ikrar kesetiaan ini dilakukan guna menumbuhkan kesadaran narapidana terorisme supaya tidak mengulangi kejahatan dan menerapkan paham radikalisme.
Irfan menilai kritik sebagai bentuk kurangnya apresiasi atas pencapaian program deradikalisasi.
“Pakar terorisme senang jika ada isu yang tendensius menyatakan deradikalisasi gagal,” kata Irfan kepada BenarNews.
Menurut laporan IPAC tahun 2021 lalu, dukungan para ektremis Indonesia terhadap kelompok Negara Islam (ISIS) menurun drastis.
IPAC melaporkan anggota Jamaah Ansharut Daulah (JAD) — yang pernah menjadi kelompok pro-ISIS terbesar di Indonesia — sebagian besar sudah tidak aktif saat ini berkat penangkapan dan pembelotan pimpinannya, serta kesadaran para anggota bahwa dukungan terhadap ISIS lebih banyak menimbulkan kerugian daripada keuntungan.
Pandemi COVID-19 juga menjadi salah satu faktor yang melemahkan pendanaan untuk kelompok ekstremis.
Menurut laporan IPAC, Indonesia telah berhasil membatasi ruang gerak kelompok teroris, setelah melakukan revisi undang-undang terorisme pada tahun 2018. Akibat pengesahan aturan itu, aparat kepolisian semakin mudah menangkap dan melumpuhkan kelompok teroris.
Rakyan Adibrata, pakar terorisme dari International Association for Counterterrorism and Security Professionals mengatakan bahwa kunci program deradikalisasi adalah ketika para narapidana sudah keluar dari lembaga pemasyarakatan.
“Kendalanya, program deradikalisasi di luar lembaga pemasyarakatan ini memiliki keterbatasan anggaran sehingga tidak bisa bertahan dalam waktu lama,” kata Rakyan kepada BenarNews.
Kendala kedua, tambah Rakyan, program deradikalisasi di luar lembaga pemasyarakatan ini bersifat tidak wajib, sehingga mantan narapidana terorisme boleh saja menolak mengikuti program tersebut.
BNPT mencatat dari ribuan eks narapidana terorisme yang mengikuti kegiatan deradikalisasi di luar lembaga pemasyarakatan, ratusan di antaranya menjadi residivis kasus terorisme.
Menurut Irfan, BNPT telah melaksanakan kegiatan deradikalisasi terhadap 1.192 bekas narapidana terorisme. Dari total mantan narapidana terorisme yang terindikasi sejumlah 1.036, sebanyak 116 menjadi residivis kasus terorisme.
Irfan mengatakan BNPT telah melaksanakan 355 kegiatan deradikalisasi terhadap 475 narapidana yang tersebar di 62 lembaga pemasyarakatan dan satu lembaga pemasyarakatan khusus teroris kelas IIB Sentul, Jawa Barat.
Yanuardi Syukur, peneliti Center for Strategic Policy Studies - Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia mengatakan, ikrar kesetiaan adalah bagian dari keberhasilan deradikalisasi di Indonesia.
“Harus kita apresiasi kerja-kerja tim deradikalisasi untuk mengajak mereka agar kembali kepada NKRI. Walaupun harus disadari bahwa kesadaran manusia tidaklah berjalan di tempat, dalam arti orang bisa saja berubah,” kata Yanuardi kepada BenarNews.
Maka itu, kata Yanuardi, perlu ada pendekatan yang berkelanjutan seperti penguatan ideologi bahwa agama diturunkan ke bumi untuk kedamaian, dan sistem bernegara Indonesia bukan sistem kafir, untuk mengantisipasi kemungkinan kembalinya orientasi para narapidana terorisme ke pemikiran radikal.
Dengan begitu, tambah dia, maka keterlibatan seseorang dalam berbagai pembangunan Indonesia adalah bagian dari cinta tanah air, atau lingkungan, dan merupakan bagian dari ajaran agama.
“Saya melihat ikrar tersebut sebagai capaian positif — sekaligus tantangan untuk mempertahankan capaian tersebut,” kata Yanuardi.
“Usul saya, ada baiknya mereka diminta untuk menuliskan pengalaman masa lalu kemudian masa depan seperti apa yang mereka inginkan bagi kemaslahatan diri, keluarga, lingkungan, dan bangsa Indonesia.”
Mengetahui gagasan para narapidana akan berguna untuk melihat sejauh mana telah terjadi perubahan orientasi ke arah yang tidak radikal, kata Yanuardi.
Pizaro Gozali Idrus di Jakarta berkontribusi pada laporan ini.