Puluhan eks-napiter bentangkan bendera Merah Putih raksasa sambut HUT-RI ke-79
2024.08.16
Poso, Sulawesi Tengah
Puluhan mantan narapidana teroris pada Jumat (16/8) menggelar upacara menyambut Hari Kemerdekaan Indonesia di Poso, Sulawesi Tengah, dengan membentangkan bendera Merah Putih raksasa berukuran 15x20 meter.
Salah satu dari mereka, Ibnu Khaldun, dengan mata berkaca-kaca. Tampak turut membentangkan bendera raksasa tersebut di kaki gunung yang menjulang tinggi di Desa Pantagolembah, Kecamatan Poso Pesisir Selatan, Kabupaten Poso.
"Subhanallah, teman-teman tadi antusias. Acaranya sukses. Kami sangat bangga dilibatkan pada pembentangan bendera Merah Putih ini,” ujar Ibnu Khaldun, mantan napi teroris yang ditangkap polisi antiteror di Indramayu, Jawa Barat, 10 tahun lalu.
Menurut Ibnu, pembentangan bendera menjadi kegiatan yang berkesan untuk dirinya dan seluruh rekannya sesama eks napiter.
“Karena jujur, mayoritas dari teman-teman kami yang hadir, baru ini mengikuti kegiatan sebesar ini,” kata Ibnu.
Meskipun pembentangan dipusatkan di sebuah kebun pisang yang sederhana, mereka mengikuti dengan antusias kegiatan pembentangan bendera tersebut.
“Semoga kegiatan seperti ini akan terus berlangsung,” ujarnya.
Komandan Operasi Madago Raya – satuan tugas antiteror – Kombes. Pol. Boy Samola menjelaskan kegiatan tersebut merupakan bagian dari rangkaian untuk kembali ke pangkuan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
"Ini bukan sekadar seremonial," tegas Boy. "Ini adalah ekspresi nyata kepedulian Polda Sulteng terhadap eks-napiter, dan bagaimana mereka mengekspresikan kecintaan terhadap bangsa dan negara,” sambungnya.
Boy menambahkan bahwa pembentangan bendera tersebut merupakan bagian dari pembinaan dan kerja sama Polda Sulteng dengan para mantan pelaku kejahatan terorisme.
"Mereka tetap diperhatikan, dan paling penting bahwa pembentangan bendera Merah Putih bukti bahwa Poso daerah yang aman dan kondusif," kata Boy.
Sehari sebelumnya, rombongan ini telah melakukan tapak tilas, menyusuri jalur-jalur yang dahulu menjadi medan operasi kelompok militant bersenjata Mujahidin Indonesia Timur pimpinan mendiang Santoso alias Abu Wardah.
Kaki-kaki yang dulu berlari menghindari kejaran aparat, kini melangkah beriringan dengan mereka. Hutan dan pegunungan Poso yang dulunya menjadi saksi pertumpahan darah, kini menyaksikan lahirnya harapan baru, kata Ibnu.
Eks-napiter lainnya, Rafli Tamanjeka, merenung sejenak sebelum mengakui kegiatan ini sangat diharapkannya sejak dulu.
"Kegiatan ini digelar di wilayah yang dulu menjadi basis aktivitas kami sebagai sipil bersenjata,” kata Rafli, yang pernah dihukum karena membunuh satpam Bank BCA pada 2011.
“Sekarang, kami berdiri di sini, di bawah bendera yang sama yang dulu kami tentang. Ini adalah bukti nyata kesatuan serta persatuan kami dengan negara,” paparnya.
Polisi antiteror pada 2022 menyatakan telah berhasil menumpas Mujahidin Indonesia Timur kelompok pro-ISIS, yang telah melancarkan teror selama lebih dari satu dekade di wilayah Poso dan sekitarnya.
Namun, Poso tetap rentan terhadap kebangkitan radikalisasi karena jaringan ekstremis masih ada, demikian laporan Institute for Policy Analysis of Conflict (IPAC) tahun lalu.
Meski tren aksi terorisme di Indonesia beberapa tahun lalu menurun, namun sejumlah pengamat masih menganggap terorisme adalah bahaya laten jika tidak diantisipasi dengan cermat, termasuk pembubaran organisasi Jamaah Islamiyah (JI) pada Juli.
Menurut Bilveer Singh, profesor Hubungan Internasional di Universitas Nasional Singapura, deklarasi pembubaran JI tampak seperti perkembangan positif di permukaan, tetapi jika ditelusuri lebih lanjut, terungkap realitas yang lebih kompleks dan berpotensi mengkhawatirkan.
"Kelompok radikal tidak pernah menghilang di Indonesia sejak 1945," kata Singh kepada BenarNews, seraya menambahkan bahwa JI sendiri memiliki sejarah berevolusi setiap 15-20 tahun.