Kerahkan Hampir 1400 Personel untuk Buru 4 Buronan MIT, Pemerintah Disebut Pemborosan Sumber Daya
2021.11.18
Palu
Aparat menyebut hampir 1.400 polisi dan tentara dikerahkan untuk menangkap empat anggota kelompok militan Mujahidin Indonesia Timur (MIT) di Poso, Sulawesi Tengah, jumlah yang disebut sebagai pemborosan sumber daya oleh sebagian pakar anti-terorisme.
“1.376 personel itu sudah di Poso. Mereka secara bertahap sejak Oktober tiba dan akan bertugas sampai Desember 2021,” kata Komisaris Besar Polisi Didik Supranoto, juru bicara Kepolisian Daerah Sulawesi Tengah, Kamis (18/11).
Sebelumnya, Operasi Madago Raya yang ditujukan untuk menangkap kelompok militan bersenjata terafiliasi kelompok ekstrim ISIS itu melibatkan 300-an lebih personel gabungan dari Polri dan TNI.
Didik menjelaskan operasi perpanjangan Madago Raya ini ditargetkan berakhir pada Desember, namun jika semua buron belum tertangkap akan dilanjutkan tahun depan.
Pengamat terorisme dari Universitas Malikussaleh di Lhokseumawe, Al Chaidar, mengatakan pelibatan hampir 1400 personel aparat keamanan hanya untuk mengejar empat orang merupakan suatu pemborosan sumber daya manusia.
“Seharusnya, cukup dengan 200 atau 300 personel saja. Namun operasinya harus fokus,” ujar Chaidar kepada BenarNews.
MIT pada tahun 2014 – 2016 dibawah pimpinannya, Santoso alias Abu Wardah, sempat beranggotakan hingga lebih dari 40 orang, termasuk militan dari Uighur di China. Setelah Santoso tewas pada Juli 2016 di tangan satgas Tinombala - kode operasi yang dipakai sebelum Madago Raya, anggota MIT terus berkurang, karena tewas dalam bentrok dengan aparat, ditangkap atau menyerahkan diri.
Setelah tewasnya Ali Kalora yang menggantikan kepemimpinan Santoso dan seorang anak buah MIT dalam Operasi Madago Raya September lalu, kepolisian meyakini anggota MIT hanya tinggal empat orang. Mereka adalah Ahmad Gazali, Askar, Nae alias Galuh, dan Suhardin yang diyakini bersembunyi di hutan-hutan di pegunungan Kabupaten Poso, Parigi Moutong, dan Sigi.
Sebagian pengamat kala itu mengatakan bahwa tidak adanya figur pemimpin pada empat militan MIT yang tersisa menyebabkan aparat akan mudah menangkap mereka. Namun dua bulan lebih berlalu, aparat belum bisa menangkap mereka.
Menurut Chaidar, pasukan keamanan sulit menumpas MIT karena gerakan mereka teritorial dan organik.
“MIT itu butuh kemampuan tempur untuk menanganinya, karena mereka itu kuat dengan banyaknya dukungan dan menguasai medan tempur,” ujarnya.
Chaidar menilai TNI harusnya dilibatkan penuh untuk menangani MIT karena mereka memiliki kemampuan tempur.
“Jangan libatkan TNI hanya sebagai pasukan pendukung saja. Karena kalau masih ditangani Polri yang tidak punya jiwa tempur, sampai kiamat MIT tidak akan selesai,” ujarnya.
Kombes Didik menjelaskan bahwa fokus kerja Operasi Madago Raya tidak hanya mengejar sisa kelompok tersebut, namun melakukan pendekatan dengan seluruh warga yang ada di wilayah operasi agar tidak terpengaruh paham radikalisme.
“Operasi ini menginginkan, empat DPO (daftar pencarian orang) ditangkap hidup atau pun mati, lalu tidak ada lagi paham radikal yang disebar di tengah masyarakat,” ujar Kombes Didik.
Untuk itu, lanjutnya, satgas dibagi menjadi enam tim meliputi bidang intelijen, preemtif, tindakan, penegakan hukum, hubungan masyarakat, dan bantuan.
Harus buktikan janji
Pengamat terorisme dari Institute Agama Islam Negeri Palu, Lukman S. Thahir meminta penanggung jawab operasi Madago Raya Irjen Rudy Sufahriadi menetapi target untuk menangkap sisa MIT sebelum akhir tahun.
“Jangan sampai hanya celoteh saja. Komitmen dan target itu harus betul-betul dibuktikan sehingga masyarakat bisa tenang,” tegasnya.
“Warga di wilayah operasi itu hanya butuh kepastian bahwa MIT itu bisa segera diselesaikan. Makanya dengan jumlah personel seperti sekarang ini, jangan sampai gagal lagi,” tandas Lukman.
Namun demikian, tidak semuanya mengecam keputusan penambahan personel satgas operasi. Peneliti terorisme Universitas Indonesia, Ridlwan Habib, menilai pelibatan banyak personel juga dimaksudkan untuk pemulihan masyarakat di seputaran wilayah operasi.
“Target utama memang empat (buronan), tapi personel lain yang dilibatkan di sana pasti ada fungsi lain, misalnya memberikan edukasi bahaya radikalisme kepada masyarakat,” ujar Ridlwan kepada BenarNews.
Program yang bisa dilakukan antara lain mendampingi masyarakat yang bermukim di seputaran wilayah operasi, membantu pembangunan sarana prasarana seperti pos keamanan dan tempat-tempat ibadah.
“Saya kira tidak ada masalah pelibatan ribuan personel yang penting jelas tugas dan fungsinya,” kata Ridlwan.
MIT adalah salah satu dari dua kelompok militan di Indonesia yang telah berbaiat kepada organisasi ekstrim Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS). Kelompok lainnya adalah Jemaah Ansharut Daulah (JAD), yang berada dibalik sejumlah aksi terorisme di Indonesia sejak 2016.
Dari sidang peradilan atas sejumlah anggotanya yang telah dibekuk, MIT terbukti berada di belakang sejumlah pembunuhan di Poso dan sekitarnya sejak tahun 2012, termasuk dengan cara pemenggalan kepala korban baik itu warga sipil atau aparat keamanan.
Kelompok itu disebut berada dibalik pembunuhan empat petani di Desa Kalemago, Kecamatan Lore Timur, Poso pada 11 Mei lalu. Para korban ditemukan tewas dengan kondisi tubuh penuh luka bekas sabetan senjata tajam, dan salah satunya dipenggal kepalanya.