Sampaikan Petisi Soal Yerusalem, MUI Ancam Serukan Boikot Amerika
2017.12.18
Jakarta
Majelis Ulama Indonesia (MUI) menyampaikan petisi berisikan penolakan atas sikap Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump yang mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel kepada Kedutaan Besar negara adidaya itu di Jakarta.
Petisi disampaikan, Senin, 18 Desember 2017, atau sehari setelah aksi massa membela Palestina digelar di kawasan Monumen Nasional Jakarta, yang diikuti sejumlah pejabat negara semisal Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin dan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan.
MUI menjadi inisiator aksi yang disebut kepolisian dihadiri sekitar 80 ribu orang itu —lebih kecil dari klaim penyelenggara yang menyebut aksi diikuti hingga 200 ribu orang.
“Petisi itu berisi pernyataan sikap kami terhadap keputusan Presiden Donald Trump,” kata Sekretaris Jenderal MUI, Anwar Abbas kepada BeritaBenar.
Beberapa poin yang termaktub dalam petisi MUI adalah mendesak pemerintah Amerika agar segera mencabut keputusan pengakuan Yerusalem sebagai ibu kota Israel lantaran telah melanggar Resolusi PBB mengenai solusi dua negara serta mencederai usaha perdamaian antara Israel dan Palestina seperti termaktub di Perjanjian Oslo 1993.
Andaikata bersikeras, MUI menyatakan akan berupaya mendesak Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menggelar sidang istimewa untuk menjatuhkan sanksi kepada AS, dengan opsi pembekuan AS sebagai anggota PBB atau memindahkan markas PBB ke negara lain.
Termasuk rencana mendesak Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) membentuk Panitia Khusus (Pansus) untuk meninjau kembali semua bentuk investasi perusahaan Amerika di Tanah Air.
Serta, “Mengimbau masyarakat Indonesia melakukan boikot terhadap seluruh produk perusahaan Amerika Serikat dan Israel.”
Petisi MUI, jelas Anwar, diterima Kuasa Usaha Kedutaan Besar AS untuk Indonesia Erin McKee, karena Duta Besar Joseph Donovan tengah “mudik” ke negaranya.
“Tapi mereka menjanjikan akan menyampaikan ke Kementerian Luar Negeri Amerika, diteruskan ke Presiden Trump” lanjut Anwar.
“Kami harap mereka bijak melihat penolakan dunia internasional karena ini sangat berbahaya. Bisa menyuburkan gerakan-gerakan kelompok tertentu yang emosional melihat masalah ini.”
Belum ada komentar dari Kedutaan Amerika Serikat terkait petisi ini.
Sulit Disanksi
Mengenai desakan sanksi untuk Amerika dari PBB, pengamat hubungan internasional Universitas Indonesia Suzie Sudarman pesimis bisa terwujud lantaran Amerika adalah salah satu negara pemilik hak veto.
“Sulit dibayangkan,” kata Suzie kepada BeritaBenar. “Di samping itu, tidak ada dukungan solid dari negara-negara OKI (Organisasi Kerja sama Islam).”
Pentingnya kesolidan dalam mendukung kemerdekaan Palestina juga disuarakan Presiden Joko “Jokowi” Widodo dalam pertemuan OKI di Turki, beberapa hari lalu.
“Isu Palestina harus merekatkan kita kembali. Kita bulatkan suara dan persatuan untuk membela Palestina,” kata Jokowi ketika itu.
“Negara OKI harus dapat menjadi motor penggerak dukungan negara yang belum mengakui kemerdekaan Palestina.”
Pernyataan Jokowi itu ditanggapi positif Suzie. Menurutnya, sikap itu adalah langkah paling efektif yang bisa dilakukan Indonesia, dengan memimpin diplomasi agar Palestina bisa mendapatkan kemerdekaan dan menjadi negara berdaulat.
Ketimbang bersikap reaktif dengan menyerukan boikot atau ancaman meninjau ulang bisnis perusahaan Amerika di Indonesia.
“Diplomasi kuat yang berlandaskan amanat pembukaan konstitusi, bukan soal agama. Mungkin orang Indonesia sedang euforia soal Pilkada Jakarta sehingga emosional dan diwarnai primordialisme. Padahal isunya adalah teritorial.”
Hal sama disampaikan pengamat hubungan internasional Universitas Gajah Mada, Nur Rahmat Yuliantoro, yang menyebut kecil kemungkinan Amerika bisa beroleh sanksi, menilik posisinya sebagai negara pemilik hak veto.
Ia pun meragukan keefektifan petisi itu dalam penyelesaian masalah Yerusalem, termasuk desakan boikot produk Amerika dan peninjauan ulang bisnis perusahaan Amerika.
“Tidak efektif, mengingat ada saling ketergantungan,” katanya.
Hal efektif yang bisa dilakukan, terang Nur, adalah merangkul warga negara AS yang tidak setuju sikap Presiden Trump.
“Kan ada juga yang beragama Islam. Dengan dirangkul, mereka bisa berunjuk rasa. Bisa menyuarakan lewat wakil-wakil mereka di Kongres dan Senat,” katanya.
Presiden Trump mengumumkan pengakuan terhadap Yerusalem sebagai ibu kota Israel pada Rabu, 6 Desember lalu.
Fokus Diplomasi
Atas kemungkinan desakan membentuk panitia khusus membahas nasib perusahaan AS seperti tertuang di dalam petisi MUI, Wakil Ketua DPR Taufik Kurniawan enggan berkomentar.
Lembaganya, terang Taufik, saat ini masih akan berfokus pada kemungkinan upaya diplomasi lewat parlemen dunia untuk menganulir keputusan Trump.
“Kami akan lobi-lobi,” katanya seperti dikutip dari laman CNN Indonesia.
Tak berbeda pernyataan Kementerian Luar Negeri yang mengatakan pemerintah Indonesia sampai saat ini terus berupaya mendorong kemerdekaan Palestina lewat jalur diplomasi.
“Menlu Retno (Marsudi) dan pemerintah punya komitmen kuat untuk terus dukung Palestina,” kata juru bicara kementerian, Arrmanatha Nasir.
Beragam upaya sejauh ini telah dilakukan kementerian untuk mendorong kemerdekaan Palestina. Selain lewat OKI, diplomasi juga pertemuan bilateral dengan beberapa negara.