MUI : Vaksin COVID-19 dari Sinovac Halal

Pandemi capai rekor kasus harian baru dengan lebih dari 10 ribu penularan baru dalam sehari.
Tia Asmara
2021.01.08
Jakarta
MUI : Vaksin COVID-19 dari Sinovac Halal Tenaga kesehatan melakukan pengecekan terhadap vaksin Sinovac di fasilitas penyimpanan di Banda Aceh, sebelum ditransportasikan ke daerah-daerah lainnya, 5 Januari 2021.
AFP

Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat mengumumkan, Jumat (8/1), bahwa vaksin COVID-19 yang diproduksi perusahaan farmasi asal Cina, Sinovac, telah dinyatakan halal, namun vaksinasi tetap masih menunggu izin penggunaan darurat dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM).

“Terkait aspek kehalalan, setelah dilakukan diskusi panjang dan mendapatkan penjelasan dari auditor, rapat Komisi Fatwa menyepakati bahwa vaksin COVID-19 yang diproduksi Sinovac, yang sertifikasinya diajukan oleh Bio Farma, hukumnya suci dan halal," ujar Ketua MUI Bidang Fatwa, Asrorun Niam Sholeh, di Jakarta.

Namun, ujar dia, fatwa halal ini akan terbitkan setelah izin penggunaan darurat atau emergency use authorization (EUA) untuk vaksinasi keluar dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM).

“Meskipun sudah halal dan suci, namun fatwa MUI belum utuh diumumkan karena masih menunggu keputusan BPOM terkait keamanan (safety), kualitas (quality), dan kemanjuran (efficacy),” ujar dia.

Ia mengatakan, keputusan halal ditetapkan setelah mendapatkan laporan hasil audit dari tim MUI yang terdiri dari Komisi Fatwa MUI Pusat dan Lembaga Pengkajian Pangan Obat-obatan dan Kosmetika (LPPOM) MUI.

Tim tersebut sejak bulan Oktober 2020 telah mengunjungi pabrik Sinovac dan mengaudit kehalalan vaksin di sana.

EUA segera keluar

Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Penny Lukito memastikan EUA akan dikeluarkan segera dalam waktu dekat sebelum waktu penyuntikan vaksin perdana dilakukan, yang dijadwalkan Rabu pekan depan.

“Kepastian tanggal 13 Januari untuk melakukan vaksinasi perdana bukan berarti bisa mengikat BPOM untuk berikan EUA,” ujar dia.

Dalam paparan, ia mengatakan uji klinis vaksin CoronaVac buatan Sinovac di Brazil memberikan efikasi vaksin sebesar 78 persen dan di Turki 91,25 persen.

Menurutnya, uji klinis CoronaVac yang dilaksanakan di Bandung memiliki desain yang sama dengan uji klinik yang dilakukan di Brazil dan Turki, yaitu dengan menggunakan subjek pada rentang usia penerima vaksin 18 sampai 59 tahun.

“Kedua data dari Turki dan Brazil tersebut akan digunakan oleh BPOM, kami sharing data untuk bisa digunakan dalam nanti penerbitan EUA bersama tapi setelah hasil uji klinis selesai di Bandung, kami masih menunggu preliminary 3 bulan uji klinis di Bandung,”ujar dia.

“Untuk penggunaan pada usia lansia masih menunggu data hasil uji klinik fase 3 yang masih berlangsung di Brazil,”ujar dia.

Ia menjelaskan, meskipun data lengkap laporan awal dari hasil uji klinis di Bandung telah diterima per Jumat, namun pihaknya akan membahas hasil data tersebut dengan Komisi Nasional Penilaian Obat.

“Apabila dikaitkan dengan mutu, keamanan dan khasiat, datanya memberikan keyakinan kalau vaksinasi perdana bisa diperkirakan dilakukan pada 13 Januari,” ujar dia.  

“Artinya kami bisa mengeluarkan EUA sebelum tanggal 13 Januari tersebut. EUA bisa kami berikan dalam beberapa hari ke depan ” ujar dia.

Perbedaan efikasi antar uji klinik vaksin yang berbeda-beda di setiap negara dipengaruhi antara lain oleh faktor perbedaan jumlah subjek, pemilihan populasi subjek, karakteristik subjek, dan kondisi Lingkungan, kata Penny. 

“Memang kita lebih sedikit relawan dibandingkan di Brazil. Profil relawan juga beda karena mereka fokus dari tenaga medis dan pandemi intensif sekali, atau lebih beresiko,”ujar dia

Dampaknya, ujar dia, tentu adanya perbedaan efficacy yang dikaitkan dengan kecepatan terdapat kasus terhadap subjek yang terlibat dalam uji klinis di Bandung.

Namun yang terpenting walaupun ada perbedaan nilai efikasi, regulasi persyaratan dari WHO adalah lebih besar dari 50 persen terpenuhi.

“Itu tidak menghalangi validitas dari data yang didapatkan untuk menentukan efficacy rate, kami ikuti prosedur dan metodologi yang scientific sesuai arahan dari WHO, kalau ada perbedaan juga karena jumlah relawan dan faktor resiko,” ujar dia.  

Berdasarkan data Satgas penanganan COVID-19, Indonesia mencatatkan rekor kasus harian selama tiga hari berturut-turut. Per Jumat, terdapat 10.617 kasus baru dalam 24 jam terakhir atau naik dari hari sebelumnya yang juga mencatat rekor sebanyak 9.321.

Jumlah tersebut membuat akumulasi jumlah orang yang terpapar COVID-19 mencapai 808.340.  Jumlah penambahan kasus kematian sebanyak 233 kasus per 24 jam terakhir, sehingga akumulasi total angka korban jiwa di Indonesia mencapai 23.753.

Penuh hati-hati

Menurut pakar epidemiologi dari Universitas Indonesia, Pandu Riono, BPOM sudah cukup baik dalam menunjukkan aspek kehati-hatian dalam menerbitkan EUA.

“Tidak ada yang terburu-buru, semua on schedule. BPOM menunggu kelengkapan data. Data sudah dikirim oleh Brazil dan Turki. Bandung juga sudah mengirim tadi pagi. Namun mereka sedang membicarakan data yang baru diterima.”

“Walaupun mereka sudah tahu hasilnya namun diperiksa lagi. Ini sangat bagus. Menunjukkan prinsip kehati-hati,” ujar dia kepada Benarnews.

Ia memprediksi, kesiapan yang dilakukan pemerintah dan BPOM sudah sejalan atau sekitar 80 persen.

“EUA akan bisa diterbitkan mungkin paling lambat Senin atau Selasa. Ini sudah on track dan sangat baik ,” ujar dia.

Hal senada disampaikan oleh pakar epidemiologi dari Griffith University, Dicky Budiman, yang mengatakan bahwa aspek halal yang keluar lebih dulu sudah cukup baik karena satu isu yang ditunggu sudah selesai.

“Vaksin Moderna, AstraZeneca dan Pfizer juga mengumumkan kalau aman dari produk babi atau halal, jadi tidak mengagetkan lagi hasilnya kalau Sinovac juga halal,” ujar dia.

Namun, ujar dia, saat ini yang terpenting adalah mengetahui kadar efficacy nya dari uji klinis di Bandung.

“Akan sangat tepat dan bijak menunggu hasil uji klinis yang di Bandung agar kepercayaan masyarakat terhadap vaksin tidak hilang,” ujar dia.

Menurutnya, jika pemerintah menggunakan data hanya dari Brazil dan Turki saja, maka hasilnya akan kurang tepat.

“Namun data dari Brazil dan Turki sifatnya hanya melengkapi data uji klinis di Bandung. Jangan terburu-buru. Kalau terburu-buru hasilnya tidak akan baik, akan membawa kerugian,” ujarnya.

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.