Pemerintah akan Moratorium Lahan Sawit dan Tambang
2016.04.14
Jakarta
Pemerintah sedang menyiapkan moratorium (penundaan izin pembukaan) untuk lahan kelapa sawit dan tambang sebagai salah satu upaya Indonesia memperbaiki dampak sektor tersebut terhadap lingkungan.
"Siapkan moratorium kelapa sawit, siapkan wilayah moratorium pertambangan," ujar Presiden Joko “Jokowi” Widodo pada acara Gerakan Nasional Penyelamatan Tumbuhan dan Satwa Liar Dalam Rangka Hari Hutan Internasional, di Pulau Karya, Kepulauan Seribu, Kamis, 14 April 2016.
Sebelumnya, pemerintah telah mengeluarkan aturan penundaan pemberian izin baru di lahan gambut mulai 13 Mei 2015, yang tertuang dalam Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 8/2015 tentang Penundaan Pemberian Izin Baru dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Primer dan Lahan Gambut.
Menurut Jokowi, lahan kelapa sawit yang telah ada saat ini sudah cukup dan dapat ditingkatkan lagi kapasitas produksinya dengan memaksimalkan potensi yang ada.
Menurut data Ditjen Perkebunan, tahun 2014 luas areal sawit di Indonesia mencapai 10,9 juta hektar dengan rincian milik swasta seluas 5,66 juta hektar (51,62 persen), milik rakyat 4,55 juta hektar (41,55 persen) dan milik negara seluas 0,75 juta hektar (6,83 persen).
"Lahan yang sekarang sudah ada asal bibitnya betul, bibitnya benar, sudah mungkin produksi bisa lebih dari dua kali. Ini kalau bisa dikerjakan itu bisa naik," ujar Jokowi.
Dia menambahkan hal yang sama berlaku untuk lahan tambang. Pemerintah berjanji tidak akan memberikan izin kepada perusahaan tambang untuk perluasan lahan.
"Jangan sampai terjadi lagi konsesi pertambangan menabrak hutan konservasi, sudah tidak ada seperti itu, tidak ada. Tata ruangnya untuk tambang sudah, kalau tidak ya tidak usah," ujar Presiden.
“Harapan dunia dan masa depan alam bergantung pada kelestarian alam Indonesia,” tegasnya.
Sambut baik
Direktur Eksekutif Sawit Watch, Jefri Gideon Saragih menyambut baik rencana pemerintah untuk moratorium lahan sawit dan berharap segera diimplementasikan.
“Khusus sawit, ini baik untuk meningkatkan produktivitas dari kebun yang ada dan melakukan audit legalitas dan lahan. Apalagi harga CPO juga belum bagus banget. Ini moment buat perbaikan citra dan kinerja industri sawit Indonesia,” ujarnya kepada BeritaBenar.
Menurut dia, moratorium ekspansi sawit juga bisa mengurangi konflik lahan antara masyarakat adat dan petani plasma dengan pihak perusahaan.
Data Sawit Watch menyebutkan bahwa setiap tahun rata-rata sekitar 400 ribu ha lahan kawasan hutan dikonversi menjadi lahan perkebunan sawit.
Pakar Lingkungan dari Institut Pertanian Bogor, Dodiek R. Nurrochmat mengatakan, moratorium lahan sawit dan tambang adalah terobosan besar yang sangat baik untuk melindungi kawasan hutan alam dan hutan konservasi.
“Ini berawal karena banyak yang keliru menerjemahkan kenaikan target produksi x lipat dengan menaikan pembukaan lahan 2x lipat, padahal karena kenaikan jumlah produktivitas tidak berpengaruh terhadap lahan tapi peningkatan produktivitas,” kata dia saat BeritaBenar meminta tanggapannya.
Sebelumnya Indonesia menargetkan produksi crude palm oil (CPO) menjadi 20 juta ton pada tahun 2020 atau dua kali lipat dari produksi saat ini yang hanya mencapai 10 juta ton.
Namun menurut Dodiek, dilihat dari aspek lingkungan sebenarnya pembukaan lahan sawit yang berasal dari lahan terdegradasi justru memiliki dampak positif karena bisa merubah kawasan rusak menjadi lebih baik.
“Kalo ada yang jaga lebih bagus. Open access kalo tidak ada yang mengelola, justru bisa terjadi penjarahan, perambahan, kerusakan hutan dengan cepat. Alam jika tidak dijaga tunggu saja kehancurannya,” ujar dia.
Dia memperkirakan peraturan ini tidak akan berdampak signifikan pada pengusaha besar. Tetapi pengusaha sawit rakyat berkomposisi lebih kecil dari korporasi sangat berpengaruh karena pertumbuhan penduduk yang sangat besar.
“Ketika mata pencaharian tersumbat, bisa memberikan dampak negatif bermacam-macam seperti illegal logging, pembukaan kebun illegal dan yang paling buruk adalah kebakaran hutan,” ujar dosen ekonomi dan kebijakan kehutanan tersebut.
Belum ada komunikasi
Menanggapi rencana moratorium itu, juru bicara Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI), Tofan Mahdi, mengatakan belum bisa memberikan komentar karena peraturan yang akan berbentuk Instruksi Presiden (Inpres) belum dikomunikasikan kepada para pemangku kepentingan.
“Kami sedang dan terus membangun komunikasi dengan Kementerian Pertanian, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, serta pihak Istana untuk mendengar penjelasan lebih detail dari pemerintah,” ujarnya.
Menurut data GAPKI, kelapa sawit adalah sektor strategis yang memberi sumbangan ekspor hingga USD 19 miliar (2015). Angka ini jauh lebih tinggi dari devisa dari ekspor migas (sekitar USD 12 miliar).
Indonesia adalah produsen minyak sawit mentah (CPO) terbesar di dunia dengan produksi mencapai 31,5 juta ton (2015). Sektor perkebunan sawit juga menyerap tenaga kerja dan melibatkan petani kelapa sawit sampai enam juta orang.
Namun pembukaan lahan untuk industri ini yang dilakukan dengan pembakaran hutan menyebabkan bencana tahunan kabut asap yang tidak hanya merugikan Indonesia namun juga berdampak di negara-negara tetangga.