World Human Care Tolak Tudingan AS Terkait Pendanaan Terorisme di Suriah
2022.02.04
Jakarta

Lembaga kemanusiaan di Indonesia, World Human Care (WHC), pada Jumat (4/2) menolak tuduhan pemerintah Amerika Serikat bahwa kegiatan pengumpulan donasi mereka dipakai untuk menyokong aktivitas terorisme di Suriah.
Sekretaris Jenderal WHC Luki Abdul Hayyi menegaskan lembaga kemanusiaan yang berdiri sejak sembilan tahun yang lalu itu tidak memiliki keterkaitan dengan terorisme, dan hanya mengirim relawan ke Suriah untuk memberikan bantuan kepada anak yatim korban perang.
“Pertama, kami kaget dengan laporan yang berbasis pada data lama itu, karena WHC tidak terafiliasi dengan MMI,” kata Luki melalui sambungan telepon dengan BenarNews.
“Kedua, kami tidak pernah mendanai teroris. Memang kami mengirim relawan ke Suriah, tapi untuk misi kemanusiaan, bukan untuk berjihad atau berlatih militer,” katanya melanjutkan.
Pemerintah AS pada Kamis, menjatuhkan sanksi pembekuan transaksi keuangan yang dilakukan oleh warga Amerika, atau terjadi di dalam Amerika, dengan pengurus hingga termasuk yang melibatkan aset-aset WHC, karena dugaannya dana itu disalahgunakan untuk membiayai militan di Suriah.
Departemen Keuangan AS mengatakan WHC bagian dari Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), organisasi yang masuk dalam daftar kelompok teroris global oleh AS pada tahun 2017 dan yang didirikan oleh ulama dan mantan narapidana terorisme Abu Bakar Ba’asyir.
Pejabat keuangan AS menggambarkan WHC sebagai sayap dari MMI dan pada 2016 lembaga itu pernah mengirimkan uang ke Suriah untuk keperluan pembelian senjata dan mendukung kegiatan para pejuang di sana.
Luki mengatakan WHC didirikan oleh petinggi Majelis Mujahidin, organisasi pengganti Majelis Mujahidin Indonesia setelah Ba’asyir keluar karena perbedaan pendapat.
Ia menambahkan, Majelis Mujahidin justru tidak bersepakat dengan pemikiran kelompok radikal seperti Jemaah Islamiyah (JI), Jamaah Ansharut Daulah (JAD), dan Negara Islam (ISIS).
“Jadi, saat kongres ada selisih pendapat, lalu Beliau (Ba’asyir) memutuskan keluar. MMI langsung berubah nama jadi Majelis Mujahidin saja. Lepas semua prinsip, organisasi juga berubah, tidak sama lagi dengan misinya Abu Bakar Ba’asyir,” kata Luki.
“Majelis Mujahidin anti-ISIS. Relawan kami yang berangkat ke Suriah untuk menolong anak-anak yatim, kaum duafa korban perang.”
BenarNews telah menghubungi Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) untuk mendapatkan respons institusi itu perihal WHC maupun MMI tetapi tak kunjung mendapatkan respons.
Meski telah masuk dalam daftar kelompok teroris AS, namun hingga saat ini, pemerintah Indonesia belum menetapkan MMI sebagai organisasi terlarang seperti JI dan JAD.
“Menurut saya Pemerintah AS salah penilaian. Apakah ada yang sengaja menjatuhkan Majelis Mujahidin atau mereka salah informasi? Kami sudah meminta pimpinan untuk memperbaiki kesalahpahaman ini. WHC kan tertuduh mendanai MMI, menurut kami ini (tuduhan) yang paling keras,” kata Luki.
Peneliti senior Pusat Kajian Radikalisme dan Deradikalisasi (PAKAR), Muh Taufiqurrohman, mengatakan MMI pada awalnya memiliki tujuan yang sama dengan kelompok radikal lain tetapi kemudian melunak menjadi organisasi Islamis yang berfokus pada kemanusiaan.
“Memang ada aktivis MMI yang juga jadi pengurus WHC. Menurut saya WHC seperti sayap kemanusiaannya MMI,” kata Taufiqurrohman melalui sambungan telepon.
Catatannya menunjukkan relawan-relawan WHC yang berangkat ke Suriah diduga juga bekerja sama dengan jaringan al-Qaeda dan Tahrir al-Sham, kelompok Islam Sunni yang juga terlibat dalam perang saudara di Suriah.
Kendati demikian, Taufiqurrohman mengatakan sanksi keuangan ini tidak akan membawa dampak yang signifikan pada gerakan WHC maupun MMI di dalam negeri selama pemerintah Indonesia belum menyatakan lembaga kemanusiaan ini dan organisasi yang terafiliasi terbukti melakukan tindak pidana terorisme.
“Pemerintah AS perlu mendekati pemerintah Indonesia untuk membuktikan MMI sebagai kelompok teroris juga. Masalahnya kan pemerintah tidak bisa asal menetapkan, harus cari dasar hukum dan bukti-bukti keterlibatan MMI dalam kegiatan teroris di dalam dan luar negeri,” katanya.
Berpengaruh ke donatur
Luki dari WHC mengatakan, tuduhan ini merugikan misi kemanusiaan organisasi karena merusak kepercayaan dari para donatur. Bahkan, saat Pemerintah AS memasukkan MMI ke dalam daftar kelompok teroris pada 2017, operasional WHC ikut terganggu karena ada yang mengaitkan mereka dengan gerakan radikal.
“Ini merugikan sekali. Otomatis para donatur bisa menilai kalau WHC berbahaya. Padahal, kalau dari yang kami baca, (tuduhan) arahannya ke (pendanaan) WNI. Padahal, yang kami bantu adalah anak-anak dan duafa Suriah,” katanya.
Luki juga menolak lembaganya tidak berlaku transparan dalam pengumpulan dana. Ia mengatakan donasi yang masuk seluruhnya melalui rekening atas nama yayasan, bukan perorangan.
Dalam Departemen Keuangan AS, disebutkan juga bahwa WHC pernah meminta donaturnya untuk mengirimkan sumbangan untuk proyek kemanusiaan di Suriah melalui rekening bank seorang pejabat MMI.
“Semua uang yang masuk dan keluar ada catatannya. Kami transparan dan tidak membenarkan para relawan untuk bersikap sebaliknya,” kata Luki.
Menurut Luki, WHC pernah mengirimkan lima relawan berangkat ke Suriah, tetapi kini hanya tersisa satu. Luki mengatakan empat lainnya sudah tidak memiliki visi misi yang sama dengan WHC sehingga memilih jalan yang berbeda.
Lembaga ini juga pernah memiliki kantor cabang di Hong Kong tetapi telah ditutup karena perselisihan internal. Kini, WHC yang berpusat di Padang, Sumatra Barat, hanya beroperasi di beberapa kota di Indonesia dan turut memiliki program kemanusiaan di dalam negeri.
Sejak 2021, jumlah donasi yang masuk ke WHC per bulannya hanya berkisar Rp19 juta, turun drastis sejak awal-awal pembentukan yang pernah mencapai Rp100 juta. WHC mengatakan sebagian uang itu dialirkan untuk program orang tua asuh anak-anak yatim korban perang di Suriah.
Dari sekitar 1.000 anak asuh, kini WHC hanya memiliki kurang dari 100 anak yang terdaftar dalam program itu. Seluruh anak-anak yang diasuh adalah warga negara Suriah.
Sejak sanksi finansial diumumkan, akses pemasangan iklan pengumpulan donasi di Facebook milik World Human Care ikut terblokir oleh platform media sosial itu.
Sementara itu, pejabat senior AS mengatakan ancaman teroris saat ini lebih beragam secara ideologis dan tersebar secara geografis dibandingkan 20 tahun lalu.
“Kelompok-kelompok seperti ISIS dan al-Qaeda telah berkembang di seluruh Afrika dan Asia Tenggara. Jaringan dan afiliasi global ini masih bercita-cita untuk menyerang Amerika Serikat,” ujarnya kepada wartawan.
“Bertahun-tahun operasi kontraterorisme berkelanjutan, tekanan telah memaksa mereka untuk mengubah model operasi mereka dan membatasi kemampuan mereka, tetapi ancamannya tetap serius,” ujarnya.