Analis: TNI mungkin tolak wewenang KPK selidiki kasus korupsi di militer
2024.12.10
Jakarta
Analis memperingatkan bahwa Tentara Nasional Indonesia mungkin akan menolak putusan Mahkamah Konstitusi yang memberi wewenang kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk menyelidiki kasus korupsi di institusi militer.
Militer selama ini menikmati kewenangan khusus untuk menangani kasus kriminal yang melibatkan anggotanya.
Keputusan MK pada 29 November yang memberikan wewenang kepada KPK itu disambut positif oleh kalangan aktivis dan pengamat yang menilai pengadilan militer sebagai kurang transparan selama ini.
Namun demikian pengamat militer memperingatkan adanya kemungkinan perlawanan non-formal dari TNI.
“TNI mungkin akan menunda akses terhadap dokumen atau saksi dengan alasan keamanan nasional,” kata Khairul Fahmi, seorang analis militer dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), kepada BenarNews.
“Selain itu, peraturan internal di TNI mungkin tidak sejalan dengan prosedur KPK, yang bisa memperlambat proses penyelidikan.”
TNI telah lama mempertahankan sistem peradilan yang beroperasi terpisah dari pengadilan sipil, dengan proses-proses sering terlindung dari sorotan publik.
Hak istimewa ini telah menambah persepsi bahwa institusi TNI melindungi anggotanya dari tanggung jawab hukum, ujar Fahmi.
“Budaya hierarki yang kuat di militer sering kali menciptakan keberatan untuk melibatkan pihak luar dalam masalah internal, termasuk kasus korupsi, karena keterlibatan tersebut dianggap sebagai ancaman terhadap otonomi mereka,” tambahnya.
Putusan ini mengubah pasal 42 Undang-undang nomor 30 tahun 2002 tentang KPK, dengan menegaskan bahwa lembaga tersebut dapat menangani kasus yang melibatkan baik personel sipil maupun militer jika penyelidikan dimulai dalam yurisdiksinya.
Kasus yang dimulai oleh lembaga penegak hukum lain atau dalam sistem peradilan militer tetap berada di luar wewenang KPK.
Sedang pelajari
Juru Bicara TNI, Mayjen Haryanto, mengatakan pihaknya sedang mempelajari putusan tersebut.
“Kami akan memastikan pelaksanaan keputusan ini sesuai dengan prinsip keadilan dan transparansi, tanpa mengorbankan tugas utama kami dalam menjaga kedaulatan negara,” ujarnya.
Keputusan ini juga menyoroti masalah lebih luas terkait pengaruh tentara yang sudah mengakar dalam masyarakat Indonesia.
Secara historis, TNI terlindung dari banyak kritik publik karena perannya yang dominan dalam peta politik Indonesia, terutama selama 32 tahun pemerintahan Presiden Soeharto.
Resistensi terhadap perubahan ini juga dipengaruhi oleh budaya internal TNI, yang sangat menekankan loyalitas dan hierarki, kata para analis.
Prinsip-prinsip ini sering kali mengarah pada perlindungan terhadap pejabat yang terlibat dalam korupsi, menciptakan budaya impunitas yang sulit dihancurkan, ujar Jaleswari Pramodhawardani, kepala lembaga think tank kebijakan politik dan keamanan Lab45.
“Sektor pertahanan dan keamanan memiliki kerentanannya terhadap korupsi, tetapi mengatasi masalah ini sering melibatkan pertimbangan politik dan keamanan nasional yang kompleks,” kata Jaleswari kepada BenarNews.
Kurang transpran
Jaleswari juga menyoroti anggaran Kementerian Pertahanan yang sering dikritik karena kurang transparan, yang semakin memperumit upaya untuk memantau pengeluaran militer secara efektif.
Anggaran pertahanan untuk tahun 2025 diperkirakan mencapai Rp166 triliun rupiah, alokasi terbesar dari kementerian mana pun di bawah pemerintahan Presiden Prabowo Subianto, yang juga mantan menteri pertahanan.
Para pendukung reformasi tetap berharap bahwa putusan ini akan mendorong TNI untuk memperkuat integritas institusionalnya.
"Keputusan ini menguatkan wewenang KPK untuk menyelidiki kasus korupsi, memastikan bahwa mereka yang sebelumnya berada di luar jangkauan hukum, dapat diselidiki dengan adil," kata Alexander Marwata, wakil ketua KPK, seperti dilaporkan Antara.
Julius Ibrani, Direktur Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (PBHI), mengatakan putusan ini merupakan kesempatan untuk menangani kasus-kasus korupsi militer yang sudah lama terabaikan karena kerahasiaan pengadilan militer.
"Banyak kasus korupsi yang mengalami kesulitan karena alasan keamanan nasional dan sistem pengadilan militer yang eksklusif," ujar Julius.
Ia menunjuk pada kasus sebelumnya, termasuk penyelidikan terhadap Marsekal Henri Alfiandi, mantan kepala Badan Pencarian dan Pertolongan Nasional (Basarnas) yang dihentikan oleh KPK setelah polisi militer mengambil alih kasus tersebut.
Henri dituduh menerima suap senilai Rp8,65 miliar terkait proyek pengadaan di Basarnas antara tahun 2021 dan 2023. Ia telah diadili pada Maret, namun putusan belum diumumkan.
Diky Anandya, peneliti dari Indonesia Corruption Watch (ICW), mengatakan KPK perlu memetakan potensi titik panas korupsi di militer dan Kementerian Pertahanan.
“Penyelidikan yang melibatkan personel aktif harus berada dalam yurisdiksi KPK untuk memastikan keadilan,” ujarnya.
Nasir Jamil, anggota DPR, mengatakan bahwa putusan ini memperkuat komitmen Indonesia terhadap supremasi hukum.
“Selama suatu lembaga didanai oleh anggaran negara, lembaga penegak hukum, termasuk KPK, memiliki wewenang untuk menyelidiki dan mengejar kasus korupsi,” katanya kepada BenarNews.