100 buruh migran asal NTT meninggal sepanjang 2023, mayoritas di Malaysia
2023.08.30
Jakarta
Sekitar 100 buruh migran asal Nusa Tenggara Timur meninggal tahun ini, mayoritas bekerja di Malaysia, dan sebagian besar dari mereka meninggal karena sakit dan intensitas kerja yang tinggi, kata pejabat pemerintah Indonesia, Rabu (30/8).
Hampir 600 pekerja migran telah meninggalkan wilayah mereka yang miskin di provinsi NTT ke luar negeri secara ilegal tahun ini, kata Benny Rhamdani, kepala Badan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI).
BP2MI mengungkapkan seratus orang pekerja migran asal NTT tersebut meninggal dalam rentang 1 Januari 2023 hingga 30 Agustus 2023. Sebanyak 97 di antaranya bekerja di Malaysia, sedangkan tiga lainnya masing-masing di Laos, Gabon, dan Papua Nugini, kata lembaga pemerintah tersebut. Dari jumlah itu, 79 pekerja pria dan 21 pekerja perempuan.
Pihak berwenang mengatakan bahwa para korban adalah pekerja ilegal. Hal ini dikecam oleh aktivis hak buruh migran sebagai upaya pemerintah untuk lepas dari tanggung jawab, dengan mengingatkan bahwa Undang-Undang Perlindungan Pekerja Migran adalah untuk mereka baik yang berdokumen maupun tidak.
“Mereka semuanya pekerja ilegal,” ujar Benny kepada BenarNews. Benny mengatakan para pekerja migran yang meninggal utamanya terjadi lantaran mengidap penyakit bawaan seperti ginjal, paru-paru, jantung, tuberkulosis, dan lain-lain.
Banyak dari mereka tidak tahu memiliki riwayat penyakit tersebut karena berangkat ke luar negeri secara ilegal tanpa melalui proses medical check-up, tambah Benny.
“Kalau yang resmi harus medical check-up, contoh kalau mengidap TBC (tuberkulosis) tidak boleh berangkat,” ujar Benny.
Selain itu, kata Benny, para pekerja migran meninggal karena intensitas kerja yang sangat tinggi di Malaysia. Meski kondisi mereka sebelumnya sehat, namun beratnya beban pekerjaan membuat para pekerja migran Indonesia berguguran.
“Eksploitasi kerja dengan waktu yang melebihi batas kerja. Mereka kerja rodi kalau (pekerja) ilegal karena sama dengan perbudakan modern,” kata Benny.
Benny menjelaskan kenapa banyak pekerja migran Indonesia meninggal selama di Malaysia karena mayoritas bekerja pada sektor perkebunan. Rata-rata setiap pekerja harus mengurus dua hektar lahan perkebunan sawit.
“Habis itu fisiknya membersihkan ladang, rumput, mengangkut saat panen sawitnya berpuluh kilogram,” kata Benny.
Perdagangan orang
Benny menduga sebagian besar dari 100 pekerja yang meninggal tersebut adalah korban perdagangan orang.
"Diduga sebagian adalah korban TPPO (Tindak Pidana Perdagangan Orang)," kata Benny, menambahkan bahwa total dalam tiga tahun terakhir ada sekitar 2.300 pekerja migran Indonesia yang meninggal. Namun dia tidak merinci datanya lebih jauh.
“Makanya semua harus bangun dan melek, dan kita harus berani melawan sindikat perdagangan orang,” ujar Benny.
Kepala BP2MI untuk NTT, Siwa, menjelaskan ada 5.098 pekerja migran asal provinsi tersebut yang bekerja di 20 negara dalam rentang 2017 hingga 2023. Namun dari jumlah itu, sebanyak 4.039 atau hampir 80 persen bekerja di Malaysia.
Untuk mencegah hal ini kembali terjadi, Siwa mengimbau agar pekerja migran Indonesia yang dalam kondisi sakit untuk dapat pulang ke Tanah Air lewat bantuan Kedutaan Besar Indonesia di Malaysia.
“Kalau yang sudah sakit lebih baik pulang, jangan terus bertahan. Mereka bisa lapor diri, nanti dapat dibantu perwakilan Indonesia di Malaysia,” jelasnya kepada BenarNews.
Selain itu, Siwa mengatakan pihaknya juga aktif melakukan edukasi soal prosedur pemberangkatan tenaga kerja migran ke luar negeri yang aman. Siwa menekankan kepada para calon pekerja migran di NTT untuk berangkat melalui jalur resmi agar selama di Malaysia mereka dapat terpantau oleh pemerintah dan mendapatkan jaminan kesehatan.
Direktur Perlindungan Warga Negara Indonesia Kementerian Luar Negeri Judha Nugraha mengatakan tidak mengetahui pasti berapa jumlah total pekerja migran asal NTT di Malaysia.
“Karena non prosedural, banyak pekerja migran Indonesia yang tidak melakukan lapor diri di Perwakilan Republik Indonesia,” ujar Judha kepada BenarNews.
Namun dia menggaris bawahi tidak semua pekerja non prosedural merupakan perdagangan orang. “Untuk dapat dikategorikan sebagai kasus TPPO, unsur TPPO sebagaimana diatur Undang-undang nomor 21 tahun 2007 harus terpenuhi,” jelas dia.
Duta Besar Indonesia untuk Malaysia, Hermono, juga mengatakan hal senada.
“Bisa menyimpulkan korban TPPO dasarnya apa? Yang menentukan mereka korban TPPO siapa? Dugaan pun harus ada indikasinya,” jelas Hermono kepada BenarNews.
Ketentuan Pasal 1 angka 1 UU 21/2007 mendefinisikan perdagangan orang atau perdagangan manusia adalah tindakan pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat, sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain tersebut.
Sementara itu, Satuan Tugas TPPO menerima sebanyak 794 laporan pada periode 5 Juni-27 Agustus 2023. Dari laporan itu, ada 962 tersangka yang diamankan dan sebanyak 2.549 korban berhasil diselamatkan.
Modus yang dilakukan para pelaku terkait perdagangan orang di antaranya menjadi pekerja migran atau asisten rumah tangga sebanyak 520 kasus. Lalu, menjadi anak buah kapal sebanyak sembilan kasus, menjadi pekerja seks komersial sebanyak 245 kasus, dan eksploitasi anak sebanyak 66 kasus, ungkap satgas TPPO.
“Lempar tanggung jawab”
Direktur Migrant Care, Wahyu Susilo, mengkritik pernyataan dari Ketua BP2MI yang mengatakan bahwa mereka yang meninggal semuanya adalah pekerja migran NTT yang ilegal atau non-prosedural.
“Itu merupakan dalih lempar tanggung jawab dari BP2MI karena sebenarnya amanat Undang-Undang Nomor 18 tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran itu melindungi pekerja migran siapa pun, baik yang berdokumen maupun yang tidak,” jelas Wahyu kepada BenarNews.
Berdasarkan kajian Migran Care, kata Wahyu, banyaknya pekerja migran tidak berdokumen juga tidak lepas dari birokratisasi penempatan pekerja migran Indonesia yang berbiaya tinggi.
“Saya kira mereka tidak bisa lempar tanggung jawab bahwa semua yang meninggal itu non-prosedural menyalahkan korban,” ucap Wahyu.