Jaringan Teroris Gunakan Metode Baru Galang Dana
2016.08.09
Nusa Dua
Seiring pergantian generasi, jaringan teroris pun menggunakan metode-metode baru dalam penggalangan dana untuk kegiatan terorisme. Namun, cara-cara lama seperti perampokan dan peretasan (hacking) masih tetap mereka lakukan.
Demikian dikatakan Wakil Ketua Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) Agus Santoso di sela-sela pertemuan terkait masalah pendanaan terorisme atau Counter Terrorism Financing (CTF) Summit di Nusa Dua, Bali, Selasa, 9 Agustus 2016.
Menurut Agus, dalam kurun 2011-2014, modus yang banyak digunakan teroris untuk memperoleh dana adalah dengan merampok. Lalu, mereka memakai cara meretas.
“Itu menunjukkan perubahan kualitas sumber daya manusia pelaku terorisme. Dari semula hanya lulusan SD menjadi lulusan D3 atau S1 yang lebih melek internet,” katanya kepada BeritaBenar.
Sejak 2014 hingga kini, Agus melanjutkan, metode digunakan adalah bisnis secara legal meskipun dengan modal awal dari uang ilegal.
“Metode baru yang digunakan sebagai sumber pendanaan terorisme adalah bisnis legal termasuk bisnis garmen, MLM (multi-level marketing), obat herbal, bahkan konstruksi,” kata Agus.
Ia menambahkan uang tersebut digunakan antara lain untuk latihan, membeli senjata, dan eksekusi teror.
Perwakilan 26 negara
CTF Summit 2016 yang berlangsung pada 8-11 Agustus 2016 digelar untuk mengantisipasi cara-cara baru dalam pendanaan terorisme.
Pelaksana kegiatan itu adalah PPATK dan Australia Transaction Report and Analysis Centre (AUSTRAC). CTF Summit diadakan berdekatan dengan Counter Terrorism International Meeting yang juga digelar di Nusa Dua, Rabu, 10 Agustus 2016.
CTF Summit 2016 dihadiri perwakilan 26 negara termasuk Indonesia, Australia, Amerika Serikat, Filipina, Malaysia, dan Singapura. Selain itu, juga ikut 16 organisasi internasional seperti Asia Pacific Group on Money Laundering (APGML), Badan PBB untuk Narkoba dan Kejahatan (UNODC), dan lain-lain.
Sebelumnya, mereka sudah mengadakan pertemuan pertama di Sydney, Australia, pada 16-18 November 2015. Dalam pertemuan tersebut, mereka mengeluarkan Sydney Komunike berisi komitmen kerja sama menangani pendanaan bagi terorisme.
Menurut Agus, pendanaan terrorisme adalah kejahatan transnasional sehingga penanganannya harus melibatkan banyak negara.
Sebagai contoh, sumber dana berasal dari simpatisan di Singapura dan Australia; pengiriman uang dilakukan melalui transfer bank atau kurir, terutama pekerja lintas negara (buruh migran); pasokan senjata dari Filipina; latihan di Malaysia, Filipina, dan Indonesia; lalu pada tahap akhir serangan di Indonesia.
Contoh lain, kelompok pendukung Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) dari Indonesia berangkat ke Suriah melalui Malaysia dan Thailand. “Karena itulah perlu kolaborasi antar-negara untuk menjawab isu terorisme,” kata Agus.
Empat topik
Ada empat topik utama yang dibahas dalam CTF Summit yang berlangsung tertutup. Pertama, kerangka acuan bersama dan prioritas penanganan pendanaan terorisme. Hal ini terkait perubahan geopolitik kawasan, termasuk Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA).
Menurut Agus, MEA mempengaruhi pemberantasan terorisme karena kemudahan pergerakan manusia, barang, dan uang di antara negara-negara anggota MEA.
Topik kedua, rencana pendidikan penanganan terorisme terutama bagi penguatan perempuan. Selama ini perempuan menjadi alat untuk membuat rekening, mengirim uang, maupun merekrut simpatisan.
“Jika ibunya radikal, maka anak-anaknya akan menjadi radikal juga,” katanya.
Topik lain yang dibahas adalah inovasi teknologi untuk mencegah terorisme. Hal ini karena pelaku terorisme tak hanya melakukan praktik seperti hacking dan carding (penipuan transaksi keuangan) untuk mengumpulkan dana tapi juga perekrutan anggota melalui internet.
“Para teroris juga membobol data-data pribadi dan informasi di media sosial untuk keperluan mereka,” ujar Agus.
Para peserta juga membahas Regional Risk Assessment (RRA) untuk melihat potensi-potensi kelemahan baru dalam menghadapi terorisme. Dia menyebutkan salah satu penyebab mudahnya pergerakan teroris di perbatasan karena mudahnya suap pada petugas di perbatasan.
“Karena itu akan ada pelatihan untuk melawan suap,” katanya.
Keseriusan Indonesia
CTF Summit tak hanya dihadiri utusan lembaga negara, tetapi juga kalangan swasta, terutama perbankan, dan akademisi, karena kejahatan pembiayaan untuk terorisme juga menggunakan lembaga perbankan. Dari perusahaan keuangan hadir antara lain Western Union dan Paypal.
Rohan Gunaratna, pakar terorisme dari International Centre for Political Violence and Terrorism Research, Nanyang Technology University (NTU) Singapura yang juga hadir menyatakan, pelaksanaan CTF Summit di Bali secara back-to-back oleh PPATK dan AUSTRAC menunjukkan keseriusan Indonesia membangun kerja sama global dalam menghadapi terorisme.
“Indonesia sudah bagus dalam menangani terorisme, termasuk mencegah pendanaan karena itu urat nadi terorisme,” kata Rohan.
Rohan menambahkan, Indonesia sudah memimpin jalan (leading the way) di Asia Pasifik dalam pemberantasan terorisme. Ini dibuktikan selain kuatnya kerja sama dengan Australia dan negara-negara Asia Pasifik, juga karena terbukanya jaringan teroris internasional di Indonesia.
Rohan memberi contoh, dua serangan terakhir di Jakarta pada Januari 2016 dan Solo, Juli 2016 menunjukkan ada aliran dana dari ISIS untuk membiayai aksi teror tersebut.
“Uang adalah urat nadi terorisme. Karena itu harus dilacak dan dihentikan,” ujarnya.