Upaya Menangkal Radikalisme di Kampus
2016.04.15
Malang
Maraknya paham radikalisme di kalangan mahasiswa, mendorong perguruan tinggi di Malang, Jawa Timur, untuk melakukan berbagai cara penangkalan, seperti dengan membuka program pascasarjana tentang perdamaian dan menjalin kerjasama dengan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT).
Univesitas Islam Raden Rahmat (Unira) Malang, semester ini membuka program pascasarjana jurusan Pendidikan Agama Islam dengan fokus pendidikan perdamaian.
Wakil Rektor Unira bidang akademik, Hasan Abadi menyatakan bahwa program pascasarjana itu juga menggali kearifan lokal untuk meredam konflik, terorisme dan intoleransi.
Para mahasiswanya sebagian besar guru pendidikan agama Islam.
“Para guru akan menjadi juru damai dan membangun sikap toleran sejak dini,” katanya kepada BeritaBenar, Kamis, 14 April 2016.
Menurut Hasan, pengajaran juga dilakukan di luar kelas, dengan melihat langsung potret kehidupan toleransi di sejumlah wilayah di Malang seperti di perkampungan Glanggang, Pakisaji, antara umat Islam dan Hindu yang hidup rukun sejak lama.
“Mahasiswa juga akan mengikuti program live in yang diselenggarakan oleh Pesantren Sihrotul Fuqoha dengan Gereja Kristen Jawi Wetan (GKJW),” katanya.
Sedangkan Universitas Brawijaya Malang menandatangani nota kesepahaman dengan BNPT untuk memberikan pemahaman kepada mahasiswa akan bahaya terorisme dan radikalisme.
Rektor Universitas Brawijaya, Mochammad Bisri, menegaskan langkah nyata untuk menangkal suburnya paham radikal di kampus dengan memberikan beban belajar bagi mahasiswa.
"Diupayakan mereka tak memiliki waktu untuk mengenal paham radikal," ujarnya.
Marak radikalisme mahasiswa
Sebelumnya, kajian Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) mengungkapkan gerakan militan dan pengaruh radikalisme marak berkembang di kalangan kelompok mahasiswa.
"Untuk itu perlu deradikalisasi secara halus, lewat bahasa-bahasa agama yang relevan dan sosialisasi pandangan tentang adanya nilai-nilai afinitas antara Islam dan Pancasila,” kata peneliti LIPI, Anas Saidi di Jakarta, 18 Februari lalu.
“Ini untuk mengembalikan corak keagamaan yang jadi ciri khas Islam di Indonesia yaitu moderat, inklusif dan toleran," tambahnya.
Menurutnya, proses Islamisasi dalam kelompok mahasiswa atau anak muda cenderung tertutup dan tidak terbuka pada pandangan Islam lain, apalagi bagi kalangan mereka yang berbeda keyakinan.
Hasil penelitian tahun 2011 yang dilakukan pada lima universitas ternama di Indonesia yaitu UGM, UI, IPB, Unair dan Undip, menunjukkan ada peningkatan pemahaman radikalisme keagamaan di kalangan mahasiswa setempat.
Kenalkan Islam toleran
Pakar pendidikan multikultural, Mokhamad Iksan, menilai pendidikan Islam harus dikemas lebih menarik dan interaktif.
Guru, katanya, bisa menjadi aktor dalam mengubah perilaku dan menanamkan nilai toleransi yang ada dalam Islam kepada anak didiknya untuk mencegah pengaruh radikalisme.
“Tapi tantangan juga ada di dunia maya yang banyak menyajikan informasi paham radikalisme dan fundamentalisme,” ujarnya kepada BeritaBenar.
Iksan menambahkan perlu kecerdasan literasi terhadap informasi yang bertebaran di internet, dan media sosial karena sering mempengaruhi kaum muda.
“Sejumlah organisasi masyarakat dan lembaga menangkal paham radikalisme sendiri-sendiri sehingga tidak efektif,” katanya.
Iksan mengusulkan Kementerian Agama dapat mengambil peran sebagai mediator untuk mensinergikan lembaga dan organisasi masyarakat tersebut.
Kuasai organisasi mahasiswa
Seorang aktivis mahasiswa yang juga anggota Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas Tribuwana Tungga Dewi, Efendi, mengaku sering diajak berdiskusi oleh kelompok fundamentalis.
“Mereka menilai khilafah sebagai jawaban atas problematika yang ada selama ini,” katanya.
Usai diskusi, tambahnya, mereka mengajak untuk bergabung dan sering mempengaruhi para peserta diskusi secara terus-menerus.
Wakil Rektor bidang akademik Universitas Negeri Malang, Hariyono, menilai mahasiswa baru sering dijejali beragam informasi tentang paham radikalisme.
“Mahasiswa yang pemahaman agamanya rendah mudah dipengaruhi. Mahasiswa eksakta mudah dipengaruhi, sementara jurusan sosial sulit,” kata guru besar sejarah itu.
Menurutnya, mahasiswa yang mudah dipengaruhi karena sedang mencari identitas dan jati diri.
Setelah masuk ke dalam komunitas itu mereka seolah memiliki teman yang mendengar dan memahami pola pikirnya, katanya.
Kadang-kadang, tambah Hariyono, sejumlah dosen turut memberi pengaruh karena menilai ideologi Pancasila telah usang dan tak cocok lagi.
“Gerakan mereka semakin intensif setelah reformasi. Mereka menganggap paling benar dan mempengaruhi sejumlah organisasi kemahasiswaan,” katanya.