Maut Mengintai di Pertambangan Emas Ilegal
2021.03.04
Palu
Risna menceritakan bagaimana dia pontang-panting menyelamatkan diri saat tiba-tiba tanah dan bebatuan merangsek ke lubang sedalam 15 meter di mana dia dan warga lainnya menambang emas di Kabupaten Parigi Moutong, Sulawesi Tengah, pekan lalu.
“Semua pendulang lari, ada selamat sampai ke atas tapi ada juga yang tertimbun,” kata Risna, perempuan 36 tahun yang suaminya juga seorang pendulang emas, kepada BenarNews.
Enam orang tewas, 15 luka-luka dan puluhan lainnya selamat dalam longsor di lokasi penambangan emas tanpa izin di Desa Buranga, Kecamatan Ampibabo, Kabupaten Parigi Moutong, pada 24 Feb lalu, kata pejabat setempat.
Kejadian di Buranga menjadi pengingat betapa bahayanya pekerjaan penambangan skala kecil tanpa izin yang memakan puluhan korban jiwa setiap tahunnya di seluruh pelosok Indonesia.
Krisis ekonomi yang diakibatkan oleh pandemi COVID-19 semakin mendorong warga untuk mencari penghidupan sebagai penambang emas tak berizin karena tidak adanya pekerjaan lain, kata pengamat.
Koordinator Pelaksana Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Sulawesi Tengah, Moh. Taufik, mengatakan ada empat lokasi pertambang emas ilegal lainnya yang terkesan dibiarkan oleh aparat penegak hukum.
Keempat lokasi tersebut adalah Poboya di Kota Palu, Kayuboko di Kabupaten Parigi Moutong, Dongi-Dongi di Kabupaten Sigi, dan yang baru beraktivitas ada di Kabupaten Banggai.
“Dulu di lokasi pertambangan emas ilegal Poboya setiap tahun ada dua sampai tiga orang mati di lokasi pertambangan. Tapi itu hanya berlangsung hingga dua sampai tiga tahun, setelah itu tidak ada lagi korban jiwa,” ujarnya.
Taufik mengatakan pemerintah memang tidak pernah merilis data tentang angka kematian di lokasi tambang emas ilegal dan terkesan menutupi agar tidak mengundang perhatian publik.
“Akhirnya ada kejadian di Buranga baru semua pihak kaget. Karena jumlah orang yang meninggal dunia banyak,” tegasnya.
“Kami desak serius Kapolri melakukan penindakan, karena ini jelas tindak pidana yang diatur dalam Undang-Undang Pertambangan nomor 3 tahun 2020 tentang pertambangan mineral,” tegas Taufik.
Jatam meminta pemerintah mengembangkan potensi agrikultur di daerah-daerah yang punya tambang ilegal agar tidak ada alih profesi petani menjadi penambang.
Jaringan tersebut juga mengimbau pemerintah melakukan analisis dampak lingkungan terlebih jika ingin melegalkan suatu lokasi pertambangan.
“Karena pastinya juga akan berdampak buruk bagi lingkungan. Karena biasanya, adanya pertambangan lebih besar merusak lingkungan dan merugikan negara dari pada keuntungannya,” papar Taufik.
Tahun lalu, pemerintah menutup 26 lokasi tambang emas ilegal di Kawasan Nasional Gunung Halimun Salak yang masuk wilayah Kabupaten Lebak, Banten, setelah terjadi banjir bandang yang menenggelamkan daerah persawahan dan perumahan di sana.
Bahaya kesehatan
Selain berpotensi menimbulkan longsor, ada bahaya lain yang mengintai para penambang dan warga di lokasi tambang emas ilegal, yaitu limbah dari penggunaan merkuri dan sianida sebagai bahan baku untuk mengolah emas.
Merkuri digunakan untuk memisahkan emas dari lapisan tanah yang melekat, meskipun penggunaan bahan kimia itu ilegal.
Aktivis Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), Eknas Sawung, mengatakan tambang emas ilegal itu tidak terlepas dari penggunaan bahan kimia yang berbahaya seperti merkuri.
“Nah, masalahnya merkuri itu kan beracun yang bisa menyebabkan penyakit, misalnya minimata,” ungkapnya, merujuk pada penyakit syaraf yang gejalanya meliputi rasa kebal di tangan dan kaki dan melemahnya otot.
Eknas mengatakan kalau ada daerah yang jumlah bayinya banyak yang cacat saat lahir, biasanya ada tambang emas ilegal yang menggunakan merkuri di sekitar pemukimannya.
“Kadang mereka (orang di tambang) menyembunyikan anak-anak cacat itu karena takut ketahuan,” ujarnya.
Taufik dari Jatam menambahkan, sampai saat ini tidak ada tambang dan impor sianida dan merkuri yang legal di Indonesia.
“Namun fakta yang ada saat ini, sianida dan merkuri dijual bebas. Berarti ada pemasok, penjual, dan pembeli. Nah, itu semua harus ditindak oleh penegak hukum,” ujarnya.
Kepala Dinas Kesehatan Sulteng I Komang Adi Sujendra mengatakan orang yang terpapar merkuri dan sianida bisa mengalami bermacam gangguan kesehatan, termasuk kerusakan pada ginjal, hati, paru-paru, dan sistem pencernaan.
“Memang tidak langsung merusak, tapi dalam jangka panjang, akan menjadi ancaman kematian, dan ancaman ini jangan dianggap remeh,” ungkap Adi.
Marak saat krisis ekonomi
Kegiatan penambangan liar di Indonesia meningkat ketika terjadi krisis ekonomi, kata Perencana Utama di Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), Hasan Nugroho, dalam tulisan di The Indonesian Journal of Development Planning yang dimuat Juni 2020.
Wabah COVID-19 yang menimbulkan ketidakpastian ekonomi di sektor pertambangan akibat penurunan permintaan ekspor dan gangguan rantai pasokan memiliki potensi serupa terhadap peningkatan kegiatan ilegal ini, kata Hanan.
“Dalam masa wabah COVID-19, di sejumlah tempat inspeksi oleh aparat terhadap kegiatan Pertambangan Tanpa Izin (PETI) tetap dilakukan. Tapi, di beberapa tempat lain, seperti di Sulawesi Tengah, saat COVID-19 merebak, pertambangan emas ilegal semakin marak,” tulis Hasan.
Hasan mengatakan sekitar 2 juta rakyat menggantungkan kehidupan mereka dari kegiatan penambangan tanpa izin di ribuan lokasi di seluruh Indonesia, sebagian besarnya bekerja menambang emas, diikuti mineral konstruksi dan industri.
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) pada 2018 mengatakan potensi kerugian negara akibat pertambangan emas ilegal mencapai Rp38 triliun per tahun dan non-emas sekitar Rp315 miliar per tahun. Besaran nilai tersebut belum memperhitungkan biaya rehabilitasi terhadap kerusakan lingkungan yang ditimbulkan akibat PETI.
“Pertambangan liar dapat memberikan penghasilan yang lebih baik dibandingkan kegiatan sehari-hari yang mereka lakukan, khususnya ketika sedang terjadi wabah demam emas atau lonjakan harga komoditas pertambangan,” tulis Hasan.
Hasan menambahkan, pemerintah perlu mempertimbangkan kembali kebijakan pertambangan rakyat dengan memberikan keleluasaan dalam status perizinan.
Langkah formalisasi kegiatan itu, lanjutnya, harus mengutamakan asas manfaat dan dampak ekonomi serta sosial di masyarakat tingkat bawah, di samping pertimbangan pendapatan untuk negara dan dampak lingkungannya.
“Memformalkan kegiatan PETI akan menjadi pintu masuk bagi transparansi kegiatan pertambangan rakyat skala kecil, termasuk pajak/royalti yang nantinya akan dibayarkan ke pemerintah, serta perlindungan hukum bagi pelaku kegiatan,” tukasnya.
Aryanto Nugroho, koordinator Publish What You Pay (PWYP) Indonesia, sebuah koalisi sipil untuk transparansi pengelolaan sumber daya ekstraktif, menilai solusi untuk menghilangkan kegiatan penambangan ilegal bukan sekadar dengan memformalkan izin, tetapi juga pengawasan serta kebijakan dari pemerintah dalam memberikan alternatif kegiatan ekonomi bagi masyarakat sekitar wilayah pertambangan.
Aryanto menyebutkan, pada periode 2014-2018, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bersama Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mencabut sekitar 3.000 izin usaha pertambangan yang bermasalah.
Namun pasca-penertiban, sistem pengawasan untuk lahan-lahan bekas yang dicabut izinnya cenderung lemah sehingga membuka peluang bagi masyarakat untuk menggali kembali.
“Ini kan seperti ada gula ada semut. Masyarakat lihat ada lahan, ya dipakai. Tapi di mana pengawasannya?” kata Aryanto kepada BenarNews.
Dari segi ekonomi, pemerintah juga tidak pernah membuat alternatif kegiatan lain yang bisa dilakukan masyarakat sekitar pertimbangan, sehingga kegiatan ilegal tersebut terus hidup dan memungkinkan bertambah saat situasi sulit seperti pandemi COVID-19, ujarnya.
“Kami melihat, ekonomi untuk wilayah sekitar pertambangan itu tidak ada alternatifnya. Kalau hanya sekadar melegalkan, itu solusi yang instan. Seharusnya pemerintah menyiapkan diversifikasi ekonomi lainnya,” kata Aryanto.
Taufik dari Jatam mengatakan tidak semua pertambangan rakyat murni dijalankan kelompok masyarakat kelas bawah.
Pada praktik di lapangan, Jatam kerap menemukan pemodal-pemodal besar menggunakan modus pertambangan rakyat untuk mendulang hasil tanpa perizinan yang sah.
“Tambang ilegal itu banyak dimiliki pemodal, modusnya saja pakai tambang rakyat. Karena di beberapa lokasi yang kita temukan, banyak alat-alat berat yang sebenarnya dilarang digunakan untuk pertambangan rakyat,” kata Taufik.
Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara mengatur tentang persyaratan teknis untuk izin pertambangan rakyat yakni penggunaan pompa mekanik, mesin dengan jumlah tenaga maksimal 25 tenaga kuda, dan tidak boleh menggunakan alat berat serta bahan peledak.
“Sementara kami kerap menemukan adanya eskavator di lokasi-lokasi yang sering diklaim sebagai pertambangan rakyat. Kayaknya tidak mungkin rakyat bisa sewa eskavator,” katanya.
Taufik menyebut salah satu persoalan terbesar dalam maraknya pertambangan ilegal adalah penegakan hukum yang sangat lemah.
“Kejadian longsor di pertambangan itu bukan pertama kali, sudah sering. Kami sudah sering laporkan, tapi penegak hukum baik aparat maupun KLHK tidak pernah menindaklanjuti dengan serius,” tambah Taufik.
Juru Bicara Kementerian ESDM Agung Pribadi tidak memberi respons ketika dihubungi BenarNews.
‘Akan tertibkan’
Gubernur Sulawesi Tengah terpilih Rusdi Mastura mengaku akan memprioritaskan pemberantasan pertambangan tanpa izin saat mulai menjabat.
“Insya Allah setelah kami dilantik, penertiban pertambangan ilegal akan menjadi prioritas,” tegas Rusdi kapada BenarNews.
“Semua bentuk pertambangan perlu izin biar tidak ada pelanggaran di sana. Oleh karena itu, kami akan mengumpul semua datanya kemudian melakukan penindakan,” jelasnya.
Gubernur Sulteng Longki Djanggola mengaku sudah banyak menerima laporan dari masyarakat terkait maraknya aktivitas pertambangan illegal, termasuk di Desa Buranga.
“Dan semua laporan yang masuk telah kami teruskan kepada pihak berwajib. Bukan hanya aktivitas di Buranga, tapi aktivitas ilegal di tempat lainnya juga,” kata Longki kapada jurnalis.
Ia menjelaskan, bahwa Pemprov Sulteng, sudah mengirim surat ke pihak Polda bulan Februari tentang permohonan penertiban dan tindakan hukum di Desa Buranga.
“Jadi laporan kita sebelumya sudah masuk ke Polda,” ujar Longki, “tidak mungkin masyarakat menggali lubang seperti itu kalau tidak ada alat berat yang didanai oleh oknum pemodal,” tegasnya.
Penambangan tanpa ijin dapat dipidana dengan hukuman penjara paling lama lima tahun atau denda paling banyak Rp100 miliar.
Kapolda Sulteng Irjen. Pol. Abdul Rakhman Baso menyatakan akan menindak tegas pengusaha bila ada terlibat dalam aktivitas penambang emas ilegal di Desa Buranga dan sejumlah wilayah lainnya di Sulteng.
“Khusus Buranga saat ini masih dilakukan penyelidikan,” katanya kepada jurnalis.
Risna, yang selamat dari longsor di Buranga, mengatakan penghasilannya dari mendulang emas rata-rata 2 juta rupiah per bulan.
“Saya tahu di sini bahaya dan lokasinya tidak berizin, tapi mau bagaimana? Cuman di sini kami bisa bekerja dengan penghasilan yang baik. Dulu waktu saya menjual ikan di pasar, tidak bisa mendapat untung seperti ini,” ujarnya
Ia mengaku akan tetap bekerja sebagai pendulang emas walaupun maut selalu mengintai.
“Jadi biar dibilang bahaya karena bisa longsor, saya tidak perduli. Saya rasa semua teman-teman di sini juga beranggapan yang sama,” ungkapnya.
Ronna Nirmala di Jakarta berkontribusi pada artikel ini.