Masjid Lautze, Simbol Toleransi di Jantung Jakarta
2016.01.04
Jakarta
Jarum jam menunjukkan angka 15.22 WIB. Azan Ashar baru saja dikumandangkan. Satu persatu jamaah memasuki masjid dan mengambil tempat masing-masing. Seorang lelaki paruh baya keturunan Tionghoa memilih duduk bersila di pojok kanan, pada shaf depan. Terlihat khusyuk, ia menunduk dalam diam, bertafakur.
Seorang pria tiba-tiba menghampirinya. Sedikit membungkuk, dia menjulurkan tangan. Sang lelaki Tionghoa menengadah, menjawab uluran tangan pria itu, lantas tersenyum.
Begitulah sepenggal suasana di Masjid Lautze, Pasar Baru, Jakarta Pusat, Kamis sore 24 Desember 2015 lalu. Tanpa memedulikan latar belakang etnis dan profesi, warga berbaur menjadi satu untuk menunaikan kewajiban shalat Ashar.
"Saya senang kesadaran akan perbedaan mulai ada," ujar jurubicara Masjid Lautze, Yusman Iriansyah kepada BeritaBenar, mengomentari kebersamaan yang terlihat di masjid itu setelah shalat dilaksanakan.
Di Pasar Baru – wilayah padat penduduk di jantung ibukota Jakarta – kesadaran akan perbedaan memang sempat jatuh ke titik terendah. Saat kerusuhan antaretnis pecah tahun 1998, wilayah ini penuh cerita mengerikan.
Pasalnya, banyak etnis Tionghoa tinggal di sini. Saat kerusuhan untuk menggulingkan Presiden Soeharto dari tampuk kekuasaan, warga etnis Tionghoa menjadi sasaran utama amuk massa. Banyak perempuan dikabarkan jadi korban kekerasan seksual dan kehilangan nyawa. Sebagian lain yang terancam keamanannya, memilih pergi meninggalkan Indonesia.
Tak mengherankan, Yusman bersyukur dengan apa yang tampak di Masjid Lautze, dalam beberapa tahun terakhir. Cita-citanya untuk menumbuhkan toleransi mulai tercapai. Banyak pihak menilai Masjid Lautze bagaikan simbol toleransi di ibukota.
Tanamkan toleransi
Setelah kerusuhan 1998 pecah, masalah pembauran antara keturunan Tionghoa dan warga lokal memang menjadi fokus utama Yusman bersama Yayasan Haji Karim Oey – organisasi yang mengelola Masjid Lautze.
Beragam upaya ditempuh. Salah satunya adalah membuka kesempatan diskusi kalau ada warga non-Muslim yang ingin sekadar mencari tahu atau mempelajari Islam.
"Kami terbuka saja jika ada yang mau (berdiskusi) datang ke sini," tuturnya.
Melalui diskusi itu, Yusman mengharapkan semakin banyak orang mengenal Islam sebagai agama yang mengajarkan kedamaian dan kebajikan.
"Memberitahu mereka bahwa jangan lihat Islam dari pemeluknya, tapi lihatlah dari ajarannya," kata Yusman.
Tak jarang, sejumlah dari mereka kemudian beralih memeluk Islam setelah beberapa kali ikut diskusi. Ada juga yang menghilang dan tak pernah kembali. Tapi Yusman tak berkecil hati.
"Karena tujuan utama kami adalah memberi sumbangsih dalam pembauran. Bahwa Tionghoa dan non-Tionghoa, khususnya Islam, pernah menjaga jarak adalah fakta," jelasnya. “Tetapi, sekarang hubungan sesama makin terjalin dengan baik.”
Awalnya sebuah kantor
Lim On Sioe (berbatik coklat) duduk bersila usai menunaikan shalat Ashar di Masjid Lautze, Pasar Baru, Jakarta Pusat, Kamis, 24 Desember 2015. (BeritaBenar)
Merujuk pada latar belakang pendirian Masjid Lautze, apa yang dicapai Yusman dan pengurus masjid adalah sebuah prestasi yang luar biasa. Pada awal berdiri, masjid itu hanyalah kantor Yayasan Haji Karim Oey. Makanya, sekilas masjid ini terlihat seperti dua unit rumah toko yang digabung menjadi satu.
Seiring waktu, para pekerja toko di sekitar tempat itu menumpang shalat di kantor yayasan, sehingga akhirnya pengelola yayasan meminta bantuan kepada mantan Presiden B.J Habibie untuk menjadi donator pembangunan masjid. Habibie bersedia membantu. Lalu, dia meresmikan masjid ini pada 1991.
Nama Masjid Lautze dipilih lantaran kantor itu terletak di Jalan Lautze, Pasar Baru, Jakarta Pusat. Namun, lanjut Yusman, ada pertimbangan lain. Menurut sejarah, Lautze adalah seorang tokoh pemikir Tionghoa yang beragama Islam.
"Dalam bahasa Mandarin, Lautze berarti guru," Yusman menambahkan.
Tak cuma soal nama, penampilan Masjid Lautze pun bercirikan Tionghoa. Tidak ada kubah di puncaknya, seperti masjid kebanyakan. Di terasnya, tergantung beberapa lampion khas Cina yang berwarna merah. Dinding dikelir kuning, dengan daun pintu berwarna merah menyala. Interior juga berbeda. Kaligrafi yang tergantung di dinding masjid disertai huruf Cina.
Perihal pemilihan dekorasi itu, tutur Yusman, dilakukan agar warga non-Muslim, khususnya etnis Tionghoa, tak merasa risih jika ingin bertanya soal Islam. Warna merah kuning memang identik dengan kelenteng kaum Tionghoa.
"Ini hanya agar mereka merasa nyaman jika ingin datang. Jika datang ke masjid lain, barangkali mereka ragu-ragu. Tapi, masjid ini kami bikin agar mereka merasa akrab," lanjut Yusman.
Hal itu diakui Lim On Sioe, seorang warga etnis Tionghoa yang akhirnya memutuskan memeluk Islam. Menurut Lim, ia mempelajari Islam yang penuh kedamaian di Masjid Lautze.
"Kalau ada yang salah (di Islam) selama ini, itu salah orangnya, bukan ajarannya (Islam)," tutur lelaki berusia 50 tahun itu.
"Menjadi seorang muslim, harus menjadi lebih baik. Kalau masuk Islam justru menjadi lebih buruk, untuk apa?"