Mantan Tapol PKI di Kalimantan Pasrah dalam Ketidakpastian
2016.03.22
Balikpapan
Pendengaran Kasti (74) nyaris tak berfungsi. Satu-satunya cara berkomunikasi, harus berteriak ke dekat telinganya atau melalui bantuan tulisan. Itupun tidak sepenuhnya membantu, karena kedua matanya hampir rabun dimakan usia.
“Kedua telingaku ini sudah tuli,” tuturnya dalam bahasa Jawa medhok saat ditemui BeritaBenar di perkampungan eks tahanan politik (Tapol) Partai Komunis Indonesia (PKI), Desa Argosari Amburawang, Kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur, Kamis, 17 Maret 2016.
Kasti mengaku korban salah tangkap saat perburuan anti-PKI di Kalimantan, 46 tahun silam. Perempuan berdarah Jawa itu difitnah selingkuhan suaminya sebagai anggota Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani), organisasi perempuan binaan PKI.
“Buktinya, seminggu setelah saya ditahan Kodim Grogot, suami langsung menikah dengan perempuan itu. Saya mana tahu urusan tetek bengek Gerwani,” jelas Kasti, yang kini tinggal bersama seorang anak perempuannya di Argosari.
Tanpa proses pengadilan, TNI menahan Kasti yang sedang hamil lima bulan. Lokasi penahanan berpindah dari Kodim Grogot ke Kodam Mulawarman, penampungan Sumber Rejo dan terakhir di perkampungan Argosari.
Gara-gara main voli
Nasib paling sial dialami Untung Suyatno. Sejatinya, dia adalah seorang anggota TNI berpangkat Kopral Dua di Kodam Mulawarman sebelum ditangkap karena tuduhan terlibat PKI.
“Status saya hingga kini tak jelas. Kalau dipecat mestinya ada surat pemecatan atau surat pemberitahuan pensiun dari kedinasan. Faktanya itu semua tak ada,” ujarnya.
Saat usianya 76 tahun, Untung menyibukkan diri dengan bertani buah naga, sembari merawat istrinya – yang mengalami kebutaan 10 tahun lalu. Meski tanpa pengakuan negara, dia masih membanggakan dirinya seorang tentara.
Lelaki, yang memajang foto Presiden Soekarno di dinding rumahnya, menjadi korban pembersihan orang-orang yang dituduh PKI saat memasuki Kalimantan tahun 1970.
“Saya mendadak dituduh anggota Pemuda Rakyat (organisasi sayap PKI),” tuturnya.
Ia bercerita bahwa saat muda aktif bergaul dengan rekannya di kampung. Posturnya yang tinggi membuat Untung jadi andalan kampung saat ikut berbagai pertandingan bola voli.
“Apesnya, lapangan voli milik aktivis Pemuda Rakyat. Akhirnya saya terseret padahal sudah jadi prajurit TNI,” jelasnya.
“Saya dipanggil menghadap Kodam Mulawarman. Ternyata di sana sudah siap truk yang membawa saya ke barak tahanan di Sumber Rejo Balikpapan. Itu terjadi bulan Maret 1970,” lanjutnya.
Untung dan sekitar 2.500 tahanan lain yang dituduh antek PKI ditahan di situ. Bukan hanya warga sipil, ada juga perwira TNI, polisi, pegawai PT Pertamina dan beberapa pejabat setempat.
“Keluarga berantakan, istri minta cerai dengan membawa pergi tiga anak kami. Saya tak mampu menahannya karena saya juga tidak tahu sampai kapan masa penahanan berakhir,” imbuhnya.
Tapi Untung mengaku masih beruntung jiwanya selamat karena, tutur dia, banyak tahanan yang dieksekusi tentara.
Suasana perkampungan bekas Tapol PKI di Argosari Amburawang, Kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur, 17 Maret 2016. (Gunawan/BeritaBenar)
Pengampunan Gus Dur
Untung dan para tahanan lain kemudian “dibuang” ke Argosari, area 2000 hektar di tengah rimba belantara Bumi Borneo – dua jam perjalanan dari Kota Balikpapan. Mereka menjalani kehidupan terisolir.
“Saat itu semuanya masih sulit, tidak ada apa-apa. Hanya rumah panggung dari kayu. Di sini kami tidak boleh kemana-mana,” kenangnya.
Bila ingin keluar, mereka harus mendapat izin tentara. Kartu tanda penduduk (KTP) mereka bertanda khusus ‘ET’ yang artinya eks tahanan politik.
Semua derita mereka berakhir tahun 2000 ketika mantan Presiden Abdurrahman Wahid alias Gus Dur “mengampuni dosa-dosa” Tapol PKI.
“Kami sangat berterima kasih pada Gus Dur,” ujar Untung.
Menyandang status bebas – tidak lantas membuat Untung dan mantan Tapol lainnya meninggalkan Argosari.
Dia dan 167 kepala keluarga terlanjur menerima keadaan dan membangun keluarga baru di tempat terpencil. Untung kini telah memiliki delapan anak dari istri yang setia mendampinginya.
Tapi, Untung masih menyisakan asa agar mendapat kepastian soal status kedinasan tentara dari pemerintah. Dia berharap pemerintah membayarkan gajinya selama 45 tahun.
Ia tetap memperjuangkan haknya setiap kali pergantian kepemimpinan seperti masa Presiden Gus Dur, Megawati Soekarnoputri, Susilo Bambang Yudhoyono dan Joko “Jokowi” Widodo. Namun hasilnya selalu nihil.
TNI tetap awasi
Kepala Penerangan Kodam Mulawarman, Kolonel Inf. Andi Gunawan menegaskan pihaknya tetap mengawasi perkampungan eks Tapol di Argosari.
“Kami tidak boleh kecolongan, ini sudah masalah kewibawaan negara. Ideologi PKI tidak bisa hilang sampai mati,” ujarnya, saat dikonfirmasi BeritaBenar.
Tuntutan pemutihan, pengampunan dan pengadilan HAM, tambah Andi, hanya dalih pengikut PKI agar bisa kembali bercokol di Indonesia.
“Buat mereka seperti angin segar tuntutan pemutihan, amnesti dan masalah HAM,” tegasnya.
Andi menambahkan TNI mengantongi berkas hasil penelitian pengikut PKI di satuan wilayah yang diistilahkan dengan Sampul D.
“Berkas ini berisi para pengikut PKI di seluruh Indonesia beserta anak keturunannya hingga kini,” pungkasnya.
Pemuda Rakyat
Berbeda dengan Kasti dan Untung menolak dituduh PKI, M. Kapli – berterus terang pernah jadi anggota Pemuda Rakyat. Lelaki 77 tahun ini mengaku masa mudanya dihabiskan bergaul dengan aktivis dan kader PKI.
“Cuma ikut tetangga di Batu Kajang, Kalimantan Selatan. Kegiatan hanya kerja bakti dan perbaikan jalan desa,” kenangnya.
Dia ditangkap polisi tahun 1965, lalu diserahkan kepada militer. Sejak itu, nasib Kapli berada di tangan militer. Selama 16 tahun waktunya dihabiskan dalam pengapnya sel tahanan Kodim Grogot, Kodam Mulawarman, Sumber Rejo hingga berakhir di Argosari.
Maman Sudana, Tapol lain, berharap negara mengembalikan hak-hak keluarga eks PKI. Pasalnya keturunan eks Tapol hingga kini masih diperlakukan diskriminatif kalau ingin menjadi anggota TNI, Polri dan PNS.
“Anak-anak kami sulit jadi anggota TNI, Polri dan PNS. Ada proses screening sehingga keturunan kami terganjal setiap kali mendaftar,” paparnya.
Pria renta, yang membuka warung makanan di Argosari, mengaku sudah melupakan perlakuan Pemerintah Orde Baru yang menahannya tanpa proses hukum dan alasan yang jelas selama bertahun-tahun.
“Saya hanya bergaul dengan Pemuda Rakyat, tapi dianggap antek PKI. Sejak umur 20 tahun ditahan tentara selama 10 tahun, kemudian direlokasi ke Argosari,” ujarnya.
Kasti, Untung, Kapli dan Maman mengaku bakal menghabiskan sisa hidup mereka di situ. Mereka pasrah dalam kondisi serba kekurangan menjalani kehidupan yang jauh dari pergaulan dunia luar.