Naik hingga 500%, masyarakat keluhkan lonjakan biaya kuliah

Dirjen Kemendikbud Ristek sebut pendidikan tinggi bersifat tersier jadi tidak wajib.
Tria Dianti
2024.05.17
Jakarta
Naik hingga 500%, masyarakat keluhkan lonjakan biaya kuliah Mahasiswa melakukan protes atas kenaikan harga bensin di Kantor Gubernur di Banda Aceh pada 6 September 2022.
Chaideer Mahyuddin/AFP

Lonjakan biaya kuliah yang sangat tinggi di beberapa universitas negeri di Indonesia telah memicu kecaman publik dan demonstrasi mahasiswa yang mendorong DPR untuk menyelidiki kenaikan uang pangkal hingga 500% tersebut.

Biaya kuliah didasarkan pada kemampuan ekonomi mahasiswa, namun masing-masing kampus dapat menentukan sendiri uang kuliah tunggal (UKT), kata Kementerian Pendidikan, Riset, dan Teknologi. Selain UKT, mahasiswa diwajibkan membayar uang pangkal pada saat diterima di perguruan tinggi.

Setidaknya ada 10 kampus – antara lain Universitas Indonesia, Universitas Gadjah Mada, Universitas Jenderal Sudirman dan Universitas Negeri Sebelas Maret (UNS) – yang sudah menaikkan biaya kuliah tahun ini untuk semua jalur, baik dari prestasi, seleksi umum, maupun jalur mandiri.

Menurut data yang didapat BenarNews, biaya pengembangan institusi, atau uang pangkal, di fakultas kedokteran UNS di Solo, misalnya, pada tahun lalu sebesar Rp25 juta, naik menjadi Rp200 juta tahun ini.

Sementara biaya UKT tertinggi di universitas tersebut untuk fakultas kedokteran pada 2023 sebesar Rp21,8 juta, naik menjadi Rp30 juta pada tahun ini.

UKT dibayarkan secara berkala di setiap awal semester, sementara uang pangkal umumnya hanya dibayarkan sekali saat pendaftaran atau selama periode daftar ulang.

Reaksi negatif atas kenaikan biaya kuliah datang dari berbagai kalangan.

“Miris, takut dan kecewa sama pemerintah karena melihat UKT itu di berbagai pemberitaan membuat cemas dan bertanya sendiri, saya bisa nggak ya menyekolahkan anak-anak nanti sampai perguruan tinggi. Apalagi anak saya lebih dari satu,” kata Iis Koyyima, 36, warga Jakarta, kepada BenarNews, Jumat (17/5).

Ibu dari tiga anak ini mengatakan pendidikan merupakan jalan memutus rantai kemiskinan, namun, kata dia, justru sepertinya di Indonesia tak berpihak ke warga negaranya yang berada di level ekonomi menengah ke bawah.

“Kuliah jadi hanya untuk yang kaya banget atau miskin banget …, bagaimana untuk yang kelas menengah?” kata Iis.

“Sedangkan untuk mendapat posisi sejahtera, ya harus lulusan perguruan tinggi. Kalau nanti tidak terjangkau bagaimana?” tambahnya.

Media sosial menjadi tempat warga mengeluhkan kenaikan biaya perguruan tinggi ini.

Ngeliat UKT naik ugal-ugalan gini, dan kalau dari Kemendikbud beneran tidak ada usaha untuk menyelesaikan ini, kayaknya beneran say goodbye buat Indonesia Emas 2045 deh ini. Udah jumlah penduduk yang mengenyam pendidikan tinggi cuma 10%, ini pula UKT-nya gak ngotak,” kata @primawansatrio dalam akun X.

“Heboh biaya UKT mahal. Wah kebayang jaman anak kita nanti harus bayar berapa? Gimana cara ngitungnya? Harus nabung berapa?” ujar Yuria Cleopatra di Facebook.

Anak-anak SD berjalan menuju sekolah mereka di Agam, Sumatra Barat, 5 Desember 2023. [Wica Harefa/AP]
Anak-anak SD berjalan menuju sekolah mereka di Agam, Sumatra Barat, 5 Desember 2023. [Wica Harefa/AP]

Kementerian: Pendidikan tinggi bersifat tersier, tidak wajib

Menanggapi keluhan itu, Sekretaris Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi di Kementerian Pendidikan, Riset, dan Teknologi, Tjitjik Srie Tjahjandarie, mengatakan pendidikan tinggi bersifat tersier sehingga lulusan sekolah lanjut tingkat atas tidak wajib masuk ke perguruan tinggi.

“Pendidikan tinggi ini adalah tertiary education. Jadi bukan wajib belajar. Artinya tidak seluruhnya lulusan SLTA, SMK itu wajib masuk perguruan tinggi,” ujar dia dalam diskusi yang ditayangkan online, Rabu (15/5)

Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI), Ubaid Matraji, mengatakan sikap Kementerian dapat melukai perasaan masyarakat dan menciutkan mimpi anak bangsa.

Menurut Ubaid, meletakkan pendidikan tinggi sebagai kebutuhan tersier adalah salah besar, karena pendidikan adalah menyangkut hajat hidup dan kebutuhan warga negara yang harus dipenuhi.

“JPPI menuntut agar pemerintah mengembalikan pendidikan kita, termasuk di pendidikan tinggi, sebagai public good dan menolak segala bentuk komersialisasi di perguruan tinggi,” kata dia dalam pernyataan yang diterima BenarNews.

Hal senada disampaikan pemerhati pendidikan dari Vox Point Indonesia, Indra Charismiadji.

“Pernyataan tersebut menunjukkan bahwa Kemendikbud Ristek seolah lepas tangan dari ketidakmampuannya mengelola sistem pendidikan yang mencerdaskan kehidupan bangsa,” katanya kepada BenarNews.

Indra mengatakan fakta bahwa pendapatan perkapita masyarakat Indonesia itu hanya Rp 75 juta rupiah per tahun, akan sangat kesulitan untuk membayar uang pangkal yang di atas Rp75 juta, belum lagi ditambah UKT yang di atas Rp20 juta per semester.

Menurut dia, problem utama biaya kuliah mahal antara lain mindset pembuat kebijakan mengelola pendidikan dengan mekanisme pasar alias neoliberalisme dan kapitalisme. 

“Akibatnya, kita semakin kekurangan warga negara yang terdidik, siapa yang kita harapkan muncul untuk membangun bangsa nanti,” kata dia.

Pada Januari, Presiden Joko “Jokowi” Widodo menyebut jumlah lulusan S2 dan S3 di Indonesia hanya 0,45% dari penduduk produktif berusia 15-64 tahun atau sekitar 842 ribu orang. Jumlah ini dinilai masih sangat kecil dibandingkan negara ASEAN lainnya seperti Malaysia dan Vietnam yang memiliki angka 2,43%.

Sementara itu, anak tidak sekolah masih ditemukan di tiap jenjang, SD (0,67%), SMP (6,93%), dan SMA/SMK (21,61%), menurut data BPS 2023. JPPI memperkirakan sebanyak 3 juta anak tidak sekolah atau putus sekolah.

Menurut Ubaid faktor utama penyebab anak putus sekolah adalah soal ekonomi, kemampuan untuk membayar biaya sekolah. Berdasarkan data BPS pada Maret 2023, hanya ada 10,15% penduduk Indonesia usia 15 tahun ke atas menamatkan pendidikan jenjang perguruan tinggi.

“Dalam rangka menuju bangsa yang cerdas dan berdaya saing global, tentu pendidikan hingga SMA/SMK saja tidak cukup, anak-anak Indonesia harus bisa mendapatkan layanan pendidikan tinggi di universitas,” kata dia.

Dalam rapat jajak pendapat dengan DPR Kamis (16/5), Presiden Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas Riau Muhammad Ravi menilai UKT yang ditetapkan sudah tidak masuk akal sehingga dikhawatirkan menyulitkan calon mahasiswa baru.

“UKT saat ini dibuka sampai golongan 12 atau lebih dari dua kali lipat saat ini, dan ini sudah tidak logis lagi, apalagi geografis Riau sangat jauh dari ibu kota …,” kata Ravi di depan anggota komisi X.

Ravi menyebut salah satu calon mahasiswa baru di kampusnya dikenakan UTK Rp8.700.000 sementara gaji orang tuanya yang hanya buruh hanya Rp2.000.000.

Setidaknya, kata dia, tingginya biaya kuliah ini membuat 50 calon mahasiswa baru di Universitas Riau memutuskan tidak melanjutkan menjadi mahasiswa tiap tahunnya karena tidak sesuai dengan ekonomi mereka.

Mahasiswa memegang spanduk bertuliskan "Tolak Omnibuslaw" saat melakukan protes terhadap Undang-Undang Cipta Kerja yang dinilai tidak berpihak pada buruh dan lingkungan, di Jakarta, 16 Oktober 2020. [Ajeng Dinar Ulfiana/Reuters]
Mahasiswa memegang spanduk bertuliskan "Tolak Omnibuslaw" saat melakukan protes terhadap Undang-Undang Cipta Kerja yang dinilai tidak berpihak pada buruh dan lingkungan, di Jakarta, 16 Oktober 2020. [Ajeng Dinar Ulfiana/Reuters]

DPR akan panggil mendikbud

Menanggapi protes dari mahasiswa, Anggota Komisi X DPR, Dede Yusuf Macan Effendi, mengatakan akan membentuk panitia kerja (panja) pembiayaan pendidikan guna memastikan biaya pendidikan yang terjangkau.

“Kita ingin tahu kenapa naik, kenapa harus naik signifikan dalam waktu yang tiba-tiba," katanya dalam rapat dengar pendapat dengan BEM yang ditayangkan online itu.

Nantinya, panja akan memanggil sejumlah pihak yang berkaitan dengan polemik tersebut termasuk Menteri Pendidikan Nadiem Makarim yang dijadwalkan dipanggil minggu depan. 

 

 

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.

Komentar

endang
2024-05-21 01:29

aneh sekali penjelasan kemendikbud, pendidikan tinggi itu tersier! heeey, kewajiban negara menjamin pendidikan rakyatnya termasuk pendidikan tinggi. negara lain bisa pada maju karena warganya udah rata2 berpendidikan, disupport oleh pemerintah. kapan mau maju kalo rakyatnya cukup slta. ya walopun ga gratis kayak di negara orang, minimal ga dikomersilin seperti swasta lah!