Indonesia Sambut Aturan Pasar Karbon COP 26 Glasgow
2021.11.16
Jakarta
Indonesia menyambut baik kesepakatan aturan pembiayaan pasar karbon untuk mencapai target pengurangan emisi dalam konferensi perubahan iklim PBB di Glasgow akhir pekan lalu, walaupun sebagian aktivis lingkungan dan masyarakat adat menilai kebijakan tersebut hanya dalih perusahaan-perusahaan penghasil polusi untuk tetap melanjutkan aktivitasnya.
Dari sejumlah hasil Konferensi Tingkat Tinggi COP26 yang berakhir Sabtu lalu itu, salah satunya adalah kesepakatan standardisasi pasar perdagangan karbon serta pembiayaan mitigasi dan adaptasi perubahan global atau dikenal sebagai Artikel 6 yang sejatinya sudah diperkenalkan dalam Perjanjian Paris 2015.
“Dengan diadopsinya agenda ini, maka Paris Rulebook mendekati lengkap, sehingga implementasi komitmen semua negara di bawah Perjanjian Paris dapat dilakukan secara utuh dan efektif," kata Ketua Delegasi Indonesia, Laksmi Dhewanthi, dalam keterangan tertulis kepada BenarNews, Selasa (16/11).
Salah satu elemen penting dalam agenda ini adalah aturan main mengenai kerjasama antar negara maupun antara pelaku usaha dengan otorisasi nasional sebagai bagian upaya pemenuhan komitmen. Kerjasama ini dapat dilakukan melalui pendekatan pasar dengan adanya transfer unit, maupun pendekatan non-pasar tanpa adanya transfer unit.
"Pakta Iklim Glasgow mendesak pengurangan emisi yang lebih ambisius, dan menjanjikan lebih banyak uang untuk negara-negara berkembang untuk membantu mereka beradaptasi dengan dampak iklim, tutur Laksmi.
“Tapi banyak negara pihak yang menggarisbawahi bahwa janji itu tidak cukup jauh untuk membatasi kenaikan suhu hingga 1,5 derajat Celcius," ujarnya.
Kendati demikian, praktik perdagangan karbon tersebut ditentang para aktivis lingkungan hidup. Khalisah Khalid dari Greenpeace Indonesia mengatakan praktik itu sebagai dalih “greenwashing” yang digunakan perusahaan-perusahaan penghasil polusi untuk tetap melanjutkan aktivitasnya.
“Setiap perusahaan yang mengumumkan dana untuk melindungi hutan melalui skema carbon offset hanya melakukan ‘greenwashing’. Mereka tidak berkomitmen secara sungguh- sungguh untuk menurunkan emisi,” kata Khalisah.
Sementara Rukka Sombolinggi, Sekretaris Jenderal Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) mengatakan seharusnya negara dan korporasi menunjukkan komitmen yang lebih serius bagi perlindungan masyarakat adat sebagai garda terdepan pelindung keberlangsungan hutan.
“Di tengah ketidakandalan hukum Indonesia dalam mengakui dan melindungi masyarakat adat dan wilayah adat, mekanisme carbon offset potensial menjadi tunggangan baru para perampas wilayah adat,” kata Rukka.
‘Kurang ambisius’
Pakta Glasgow, disebut sebagai kesepakatan iklim pertama yang secara eksplisit berencana untuk mengurangi batu bara yang disebut sebagai bahan bakar fosil terburuk untuk gas rumah kaca.
Negara-negara terkait sepakat untuk menghentikan secara bertahap daripada menghapus batubara. Meskipun beberapa pihak mengekspresikan kekecewaannya, namun kesepakatan tersebut setidaknya merefleksikan kondisi nasional yang berbeda-beda.
"Butuh waktu, tidak bisa langsung besok disetop. Semua bertahap, tapi kan arah dan niat untuk ke sana sudah dan sudah dilakukan oleh Pemerintah Indonesia," kata Wakil Menteri Lingkungna Hidup, Aloe Dohong di Glasgow.
Sementara itu, pakar lingkungan memandang Pakta Iklim Glasgow tidak cukup progresif dalam mengurangi dan bahkan menghentikan penggunaan batu bara di dalam negeri sebagai penyumbang gas emisi penyebab pemanasan global.
“Kurang ambisius, karena IPCC (Intergovernmental Panel on Climate Change) sudah bilang untuk mencegah kenaikan suhu 1,5 derajat, maka komitmen NDC (dokumen komitmen nasional) yang dibuat seluruh negara sebetulnya hanya bisa mencapai sepertiga dari kebutuhannya. Jadi harusnya, komitmen yang dibuat harus ditambah tiga kali lipat,” kata Edvin Aldrian, pakar iklim dan meteorologi dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN).
Poin lain yang disepakati dalam Pakta Iklim Glasgow memuat komitmen 196 negara anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dalam pengurangan ketergantungan pada batu bara secara bertahap hingga 2040.
Laporan IPCC pada pertengahan Agustus lalu, menyatakan perubahan iklim jadi peringatan kode merah bagi manusia dalam kurun waktu 20 tahun ke depan.
Suhu global rata-rata saat ini naik 1,1 derajat celsius dari rata-rata suhu sebelum praindustri yang kebanyakan berasal dari lepasnya karbon dioksida (CO2) dari pembakaran bahan bakar fosil yang terakumulasi.
Laksmi yang juga Direktur Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), mengatakan kesepakatan itu muncul dari hasil negosiasi panjang antara negara-negara yang mendesak penghentian ketergantungan dengan mereka yang berpandangan penggunaan batu bara hanya bisa diturunkan secara bertahap.
“Meski ada kekecewaan, tetapi kesepakatan merefleksikan adanya kondisi nasional yang berbeda-beda,” kata Laksmi, tanpa menjabarkan secara detail posisi Indonesia terhadap komitmen penghapusan atau pengurangan ketergantungan batu bara tersebut.
Indonesia masuk ke dalam lima besar negara penghasil dan pengguna batu bara di dunia. Data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) juga menunjukkan Indonesia saat ini tengah mengalami surplus batu bara, merujuk dengan realisasi batu bara pada tahun 2020 yang mencapai 561 juta ton atau 102 persen dari target 550 juta ton.
Sementara, cadangan tercatat mencapai 38,84 miliar ton dengan rata-rata produksi 600 juta per tahunnya. Catatan Institute for Essential Services Reform (IESR) sebelumnya menemukan sebanyak 65 persen kebutuhan listrik Indonesia masih dipasok dari Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU).
Pendanaan
Indonesia telah meratifikasi Perjanjian Paris pada April 2016, yang memuat komitmen penurunan emisi gas rumah kaca sebesar 29 persen dengan usaha sendiri dan 41 persen dengan dukungan internasional pada 2030. Namun, hal terakhir masih menjadi kendala karena negara-negara maju maupun pelaku usaha belum memiliki kesepahaman dalam model pembiayaan tersebut.
Pada COP26 tahun ini, negara-negara maju bersama investor dan lembaga amal global mengumumkan kesepakatan untuk menyediakan pendanaan publik bagi negara-negara berkembang senilai total U.S.$19 miliar atau setara Rp271 triliun untuk menghentikan dan mengembalikan hutan yang hilang dan degradasi lahan selama periode 2021 sampai 2025.
Di sisi lain, sebulan sebelum pelaksanaan KTT, Indonesia turut menyepakati penerapan pajak karbon senilai Rp30 per metrik kilogram karbon dioksida ekuivalen (CO2e) atau $2,1 per metrik ton CO2e yang akan berlaku mulai 1 Januari 2022.
Presiden Joko “Jokowi” Widodo dalam pidatonya di Glasgow pada 2 November 2021, menggarisbawahi pentingnya kontribusi negara maju seraya mempertanyakan komitmen mereka dalam membantu upaya menjaga dan reboisasi hutan.
“Penyediaan pendanaan iklim dengan mitra negara maju merupakan game changer dalam aksi mitigasi dan adaptasi perubahan iklim di negara-negara berkembang. Indonesia akan dapat berkontribusi lebih cepat bagi nett zero emission dunia,” kata Jokowi.
Indonesia mengusung empat misi di COP26 yakni implementasi dokumen komitmen nasional (NDC) terkait komitmen perubahan iklim, penyelesaian Paris Rules Book, komitmen penurunan emisi jangka panjang 2050, dan penyampaian komitmen emisi nol karbon.