Pengamat: Usul Pidanakan LGBT Bisa Picu Kekerasan di Masyarakat
2016.08.05
Jakarta
Diperbaharui 9 Agustus 2016, 22:00 WIB.
Permohonan perubahan pasal KUHP di Mahkamah Konstitusi (MK) untuk mempidanakan pelaku homoseksual dikhawatirkan akan memicu terjadinya kekerasan pada kaum LGBT oleh kaum intoleran, demikian disampaikan sejumlah aktivis.
"Pasal-pasal yang diubah menjadi kriminalisasi akan memicu aksi (intoleransi) itu," kata aktivis lesbian, gay, biseksual dan transgender (LGBT) Dede Oetomo kepada BeritaBenar, Jumat, 5 Agustus 2016.
Sejak 7 Juni hingga 1 Agustus 2016 telah dilakukan lima kali persidangan untuk membahas pasal- pasal tentang kekerasan seksual yaitu pasal 284, 285, dan 292 yang diajukan sejumlah kalangan yang tergabung dalam kelompok Aliansi Cinta Keluarga Indonesia (AILA). Dari ketiga pasal tersebut yang menjadi permasalahan adalah usul untuk mengubah pasal 292 yang bisa memicu pada pemidanaan kaum homoseksual.
Pasal 292 saat ini berbunyi, “Orang dewasa yang melakukan perbuatan cabul dengan orang lain sesama kelamin, yang diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya belum dewasa, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun.”
AILA menginginkan perubahan pada pasal tersebut menjadi perbuatan cabul sesama jenis haruslah dilarang tidak hanya pada anak-anak namun juga kepada mereka yang sudah dewasa.
Jika permohonan perubahan ini dikabulkan, para pelaku LGBT bisa dikenakan pasal tersebut dan dipenjara maksimal 5 tahun.
"Aparat juga seperti mendapat ‘restu’ untuk melakukan kekerasan dan diskriminasi jika uji materi itu nanti dikabulkan," ujar Dede yang juga pendiri GAYa Nusantara, organisasi pertama yang mendedikasikan perlindungan hak-hak kaum gay di Indonesia.
Aktivis hak-hal sipil, Lies Marcoes, juga menyatakan bahwa sikap intoleran terhadap LGBT berpotensi akan merajalela jika uji materi tersebut dikabulkan MK.
Walaupun saat ini tidak ada hukum yang melarang keberadaan LGBT di Indonesia, kecuali di Provinsi Aceh yang memberlakukan hukum Syariah, kaum minoritas yang sudah menjadi bagian dari masyarakat Indonesia ini mendapat tentangan keras beberapa tahun terakhir ini dari kaum konservatif.
Apalagi kata Lies, masyarakat Indonesia cenderung reaktif ketika menafsirkan ketentuan-ketentuan pemerintah. Dia merujuk pada fenomena maraknya pembubaran acara-acara diskusi terkait peristiwa 1965 yang ditafsirkan masyarakat seolah komunisme bangkit lagi.
Atau ketika terbit surat edaran Menteri Kesehatan mengenai prosedur dalam melakukan sunat perempuan, malah direspons masyarakat sebagai anjuran untuk sunat perempuan. "Padahal, surat tersebut memaksudkan jika ada yang melakukan (sunat perempuan), lakukan dengan sehat," kata Lies.
"Jadi, jangan sampai nanti banyak orang seenaknya main hakim sendiri terhadap kaum LGBT jika Makhamah Konstitusi mengabulkan uji materi," tambahnya.
Demi kepastian hukum
Tapi Ketua AILA selaku pemohon, Rita Hendrawati Soebagio, menepis pendapat jika dia dan kelompok yang mendaftarkan uji materi tersebut bermaksud mengkriminalkan kaum LGBT.
Ia menolak anggapan yang mengatakan bahwa aksi intoleransi di tengah masyarakat akan meningkat jika MK mengabulkan uji materi pasal-pasal tersebut.
"Justru sebaliknya, ini agar masyarakat tak main hakim sendiri," kata Rita kepada BeritaBenar.
Menurutnya, maraknya main hakim sendiri justru muncul akibat ketidakpastian hukum soal homoseksual. "Jika ada perangkatnya, masyarakat semestinya sadar," ujarnya.
Pernyataan Rita itu didukung pengajar pemikiran Islam dari Universitas Ibnu Khaldun Bogor dan Pesantren Tinggi (Ma’had ‘Aly) Husnayain Jakarta, Adrian Husaini, yang juga sempat menjadi saksi ahli dalam persidangan uji materi di MM.
"Aparat pun selama ini kebingungan di lapangan karena tak punya pijakan hukum," kata Adrian, yang juga Ketua Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia, kepada BeritaBenar.
"Yang harus dipahami adalah ada standar moral di negara ini,” tambahnya.
Pertimbangan sains dan HAM
Selain Adrian, ahli lain yang dihadirkan para pemohon adalah dokter spesialis kulit dan kelamin Dewi Inong Irana dan pakar hukum dari Universitas Indonesia Neng Djubaedah.
Dalam pemaparannya, Inong menceritakan pengalamannya berinteraksi dengan para penderita penyakit kelamin yang dijelaskannya sebagai homoseksual dan transgender.
Sedangkan Neng menafsirkan pasal-pasal yang diuji dan mengaitkannya dengan ajaran agama.
Persidangan selanjutnya akan digelar 23 Agustus mendatang dengan agenda masih mendengarkan keterangan ahli para pemohon.
Dengan jalan persidangan yang masih terbentang panjang, Dede Oetomo berharap para hakim konstitusi bisa mempertimbangkan masak-masak sebelum keputusan.
"Ini adalah ujian bagi MK," kata Dede, "apakah mereka bisa benar-benar bijaksana membuat keputusan yang berdasarkan pada sains dan hak asasi manusia. Bukan pada moralitas sektarian segolongan orang."
Pernyataan ini diperkuat oleh Wakil Ketua Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) Masruchah. Apalagi dalam persidangan, pemohon beberapa kali mengaitkan permasalahan ini dengan kesehatan dan kejiwaan.
"Perlu ada pihak dan ahli dari perspektif berbeda," ujarnya.
Saat ditanya dampak yang bisa muncul jika nantinya MK mengabulkan permohonan uji materi, Masruchah memberikan pendapat berbeda.
Menurutnya, hakim mahkamah lebih baik mendorong pasal-pasal yang dimohonkan itu agar selaras dengan Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) yang kini tengah digodok di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
"Karena, apa iya pasal-pasal 284, 285, dan 292 itu melanggar hak konstitusional warga negara," tegasnya.
Dalam versi yang diperbaharui ini, jumlah pasal yang diusulkan untuk diuji materi oleh AILA telah dikoreksi menjadi tiga pasal (284, 285, dan 292) setelah sebelumnya ditulis empat pasal.