Analis: Pengusiran kapal China dari Laut Natuna Utara cerminkan ketegasan Indonesia
2024.10.29
Jakarta
Pengusiran kapal penjaga pantai China oleh aparat keamanan laut Indonesia di perairan Laut Natuna Utara dalam sepekan terakhir merupakan salah satu upaya pemerıntahan baru untuk mempertegas kedaulatan negara di kawasan perairan strategis, kata para analis.
Pada Jumat pekan lalu, Badan Keamanan Laut (Bakamla) kembali mengusir kapal China Coast Guard (CCG) 5402 yang masuk ke Laut Natuna Utara, dengan mengerahkan Kapal Negara (KN) Pulau Dana 323 untuk membayangi kapal China tersebut.
Sementara Beijing mengatakan bahwa kapal tersebut berada di bawah yurisdiksi China, Bakamla mengklaim bahwa CCG 5402 telah memasuki landas kontinen Indonesia tanpa izin, di mana insiden ini merupakan kali ketiga dalam sepekan, setelah sebelumnya kapal tersebut memasuki perairan Indonesia pada Senin dan Rabu lalu.
Sejumlah pengamat melihat masuknya kapal-kapal China tersebut sebagai upaya dari negara Tirai Bambu untuk menguji reaksi pemerintahan baru Indonesia di bawah pimpinan Prabowo Subianto.
"China tampaknya ingin tahu sejauh mana ketegasan pemerintahan baru Indonesia dalam menjaga kedaulatan,” ujar Arie Afriansyah, pakar hukum internasional dari Universitas Indonesia.
Lebih jauh, menurut Arie, aksi Bakamla kali ini merupakan sinyal kuat tidak hanya untuk masyarakat Indonesia tetapi juga untuk komunitas internasional, bahwa Laut Natuna Utara berada dalam pengawasan penuh pemerintah Indonesia.
“Sikap tegas Bakamla saya rasa sudah mendapat dukungan dari pusat, termasuk Prabowo,” tambahnya.
Muhammad Waffaa Kharisma, peneliti hubungan internasional di Center for Strategic and International Studies (CSIS) Jakarta, mengamati bahwa meningkatnya ketegangan ini mencerminkan fase transisi kebijakan maritim Indonesia.
“Bakamla tampak berusaha membangkitkan rasa nasionalisme dan memperingatkan pemerintah bahwa isu Natuna adalah kepentingan strategis yang perlu diviralkan,” ujarnya kepada BenarNews, Selasa (29/10).
Khairul Fahmi, analis pertahanan dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), mengatakan bahwa langkah tegas Bakamla mencerminkan tingginya kesadaran publik dan pemerintahan terhadap kedaulatan maritim Indonesia, terutama di Laut Natuna Utara yang berbatasan dengan klaim China di Laut China Selatan.
“Pemerintahan Prabowo terlihat lebih berani dan tegas dalam menanggapi isu kedaulatan maritim,” kata Fahmi kepada BenarNews.
Beda pendekatan Prabowo dan Jokowi
Waffaa menyebut bahwa kebijakan pemerintah dalam merespons klaim China di Laut Natuna Utara berbeda tergantung pada gaya kepemimpinan masing-masing pemimpin.
Menurutnya, Prabowo Subianto cenderung bersikap lebih keras dibandingkan pendahulunya, Joko “Jokowi” Widodo, yang terkenal dengan pendekatan diplomasi halusnya.
“Prabowo lebih tegas dalam memproyeksikan aset negara untuk menegakkan hak kedaulatan, sementara diplomasi masih dipertahankan demi menjaga hubungan baik dengan negara tetangga,” ungkap Waffaa.
Dalam catatannya, pada masa pemerintahan Jokowi, ketegasan Indonesia dalam menjaga Natuna tampak menonjol di awal masa jabatan pertama pada 2016 dan kembali pada 2020, saat ketegangan meningkat akibat masuknya kapal nelayan China ke Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia. Pada 2020, langsung dari Natuna, Jokowi menyatakan hak Indonesia atas Natuna dan menyampaikan bahwa Indonesia siap mempertahankan wilayahnya dari klaim yang tidak sah.
"Namun setelah itu, Jokowi cenderung memilih pendekatan diplomasi tertutup dengan China,” tambah Waffaa.
Ganggu survei seismik
Pada insiden terbaru, Bakamla mengonfirmasi komitmennya untuk menjaga keamanan perairan Indonesia.
Kapal Penjaga Pantai China 5402 “mengganggu kegiatan Survei dan Pemrosesan Data Seismik 3D Arwana yang sedang dilakukan oleh PT. Pertamina Natuna Timur menggunakan kapal MV Geo Coral,” kata Bakamla dalam pernyataan akhir pekan tentang insiden pada 21 Oktober itu.
"Pengusiran kapal Penjaga Pantai China oleh Bakamla dari landas kontinen Laut Natuna Utara merupakan demonstrasi nyata komitmen kami untuk menjaga wilayah maritim kami," kata Bakamla.
Dua kapal patroli TNI AL dan sebuah pesawat patroli udara Bakamla "melakukan pengintaian dan berhasil mengusir kapal CCG 5402 keluar dari yurisdiksi Indonesia di Laut Natuna Utara," demikian pernyataan Bakamla.
Namun, Lin Jian, juru bicara Kementerian Luar Negeri China, mengatakan operasi CCG 5402 sah dan berada dalam yurisdiksi China.
“China siap meningkatkan komunikasi dan konsultasi dengan Indonesia melalui jalur diplomatik dan menangani masalah maritim antara kedua negara dengan baik,” kata Lin Jian dalam konferensi pers pada 24 Oktober.
Menurut Yuhanes Antara, pejabat Bakamla yang mengawal insiden ini, sikap tegas Indonesia diperkuat dengan adanya pengakuan internasional terhadap Landas Kontinen Indonesia di Laut Natuna Utara berdasarkan UNCLOS 1982, yang memberikan hak eksplorasi dan eksploitasi penuh kepada Indonesia.
Juru bicara kepresidenan Indonesia, Hasan Nasbi, dan Kementerian Luar Negeri menolak berkomentar tentang tiga pelanggaran oleh kapal China tersebut. Yang pertama terjadi sehari setelah Prabowo bertemu dengan Wakil Presiden Tiongkok, Han Zheng, pada 20 Oktober.
Han berada di Jakarta untuk menghadiri pelantikan Prabowo.
Namun, pada pertengahan minggu lalu, Menteri Pertahanan Indonesia yang baru, Sjafrie Sjamsoeddin, melakukan pertemuan dalam suasana bersahabat dengan Duta Besar China, Wang Lutong, yang melakukan kunjungan kehormatan kepadanya.
“Pertemuan berlangsung hangat, dan keduanya sepakat untuk meningkatkan hubungan bilateral antara Indonesia dan China, termasuk melakukan latihan militer bersama,” tulis Kementerian Pertahanan melalui X.
Hubungan diplomatik dan potensi ketegangan
Khairul Fahmi menambahkan bahwa langkah pengusiran kapal China itu harus tetap mempertimbangkan keseimbangan hubungan diplomatik.
“Tindakan tegas ini mencerminkan komitmen pemerintah untuk menjaga kedaulatan sekaligus membuka peluang untuk memperkuat dialog dengan China,” kata Fahmi.
Prabowo, dengan latar belakang militernya, melihat situasi ini sebagai peluang untuk menunjukkan ketegasan tanpa mengabaikan hubungan baik dengan negara-negara tetangga, kata Fahmi.
Apabila dikelola secara bijaksana, insiden ini justru bisa menjadi titik awal untuk membangun kemitraan yang lebih kokoh dan saling menguntungkan, tambah dia.
Indonesia sendiri tetap menyatakan bahwa tidak ada konflik langsung dengan China terkait Laut China Selatan.
Namun, pemerintah Indonesia berulang kali melayangkan protes atas masuknya kapal nelayan dan kapal penjaga pantai China yang memasuki wilayah dekat Kepulauan Natuna yang merupakan bagian dari Provinsi Kepulauan Riau.
Sejumlah negara lain, termasuk Brunei, Malaysia, Filipina, Vietnam, dan Taiwan, turut mengklaim sebagian Laut China Selatan.
Sementara China mengklaim hampir 90 persen laut tersebut melalui konsep sembilan garis putus-putus yang dinyatakan tidak sah oleh Pengadilan Arbitrase PBB pada 2016.
Meski begitu, China tetap bersikeras pada klaimnya, yang terus memicu ketegangan di wilayah tersebut.