Mister dan Miss Gaya Dewata, Melawan Stigma Terhadap LGBT
2016.11.23
Denpasar
Lantai paling atas Hotel Santika di Kuta, Bali, berubah layaknya cat walk, Minggu malam, 20 November 2016. Dua puluh gay dan waria berlenggak-lenggok di atas panggung serupa model.
Sekitar 200 penonton, yang memenuhi ruangan setengah terbuka, menyambut para model dadakan tersebut dengan tepuk tangan dan teriakan histeris. Tak hanya sibuk merekam dan memotret, mereka juga bersuit dan meneriakkan nama dan nomor peserta yang didukung.
Malam itu, sepuluh gay dan sepuluh waria mengikuti final pemilihan Mister dan Miss Gaya Dewata. Gay akan menjadi calon mister, sementara waria adalah calon miss.
Satu pemenang masing-masing kategori menjadi duta Gaya Dewata, organisasi non-pemerintah yang mendukung komunitas lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT) di Bali.
Sebelum malam final, sebanyak 24 gay dan 26 waria dari berbagai kota di Indonesia telah mengikuti babak penyisihan. Mereka tak hanya dari Bali tapi juga kota-kota lain, seperti Mataram, Malang, Surabaya, Gorontalo, dan Aceh.
Direktur Yayasan Gaya Dewata, Christian Supriyadinata, menyatakan secara umum yang dinilai dalam pemilihan Mister dan Miss Gaya Dewata adalah penampilan dan pengetahuan, terutama tentang HIV dan AIDS.
Christian menambahkan komunitas Gay, Waria, dan Laki-laki yang berhubungan seks dengan laki-laki (GWL) bisa dilibatkan dalam program kampanye penanggulangan HIV dan AIDS.
“Mereka bisa menjadi role model perubahan perilaku dalam menekan laju epidemi HIV dan AIDS,” katanya.
Epidemi HIV dan AIDS
Sejarah HIV dan AIDS memang tidak bisa dilepaskan dari LGBT di Bali. Pada 1986, kasus human immunodeficiancy virus (HIV), penyebab acquired immune deficiancy syndrome (AIDS) ditemukan pertama kali di Bali pada seorang gay asal Belanda.
Sejak itu, kasus HIV dan AIDS menjadi momok bagi kesehatan publik di Bali. Setelah 30 tahun berlalu, HIV dan AIDS di Bali mencapai 14.880 kasus hingga September 2016.
Dari seluruh HIV dan AIDS di Bali, kasus di kalangan homoseksual adalah terbesar kedua, yaitu 10,4 persen atau sebanyak 1.550 kasus. Adapun kasus tertinggi ada di kalangan heteroseksual mencapai 11.588 kasus (77,9 persen).
“Meski persentasenya terlihat kecil, kasus HIV dan AIDS di kalangan male sex with male (MSM) tetap harus mendapat perhatian,” kata Ayu Cempaka, staf Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Kabupaten Badung.
Menurutnya, LGBT sangat berisiko tertular HIV karena perilaku seks mereka, seperti melalui anal yang sangat mudah luka, sehingga virus bisa masuk.
“Kelompok ini sangat sulit terbuka jika sudah positif HIV. Mereka akan merasa sakit kalau benar-benar sudah parah atau pada fase 3-4 dari HIV menjadi AIDS,” kata Ayu.
Peserta kategori Mister mengelilingi panggung. (Anton Muhajir/BeritaBenar)
Melawan stigma
Tapi, tak hanya ingin terlibat dalam kampanye penanggulangan HIV dan AIDS yang menjadi motivasi peserta, mereka juga hendak melawan stigma terhadap LGBT di Indonesia.
Dino (nama samaran), peserta dari Aceh, mengaku ikut ajang pemilihan Mister dan Miss Gaya Dewata karena ingin memiliki teman lebih banyak. Apalagi kondisi gay di tanah kelahirannya lebih tertutup dibandingkan Jakarta atau Bali.
“Padahal di mana pun juga, komunitas gay pasti ada, termasuk di Aceh,” ujarnya.
Dino mengaku belum berani membuka statusnya sebagai gay termasuk kepada keluarganya sendiri.
“Bagi saya mustahil membuka orientasi seksual kepada keluarga. Lagian juga untuk apa,” tuturnya.
Setelah setahun tinggal di Jakarta, Dino kini bekerja di salah satu hotel di Seminyak, sejak tiga tahun lalu. Menurutnya, komunitas gay di Bali lebih terbuka dibandingkan di daerah lain.
“Kegiatan ini salah satu cara komunitas kami melawan stigma masyarakat terhadap LGBT,” katanya.
Beberapa bar di Bali, terutama di daerah Seminyak, memang terkenal sebagai lokasi berkumpulnya komunitas GWL. Selain hanya sebagai tempat berkumpul, namun ada juga bar khusus untuk penari waria (drag queen).
Christian membenarkan di banyak tempat, komunitas LGBT masih mengalami stigma dan diskriminasi. Selain norma umum yang belum sepenuhnya bisa menerima, kata dia, juga perilaku sebagian LGBT.
“Kalau kita bersikap normal, biasa, dan tidak bertingkat berlebihan, masyarakat juga bisa menerima dengan baik,” ujarnya.
Pernyataan Christian agak berbeda bila melihat maraknya kekerasan pada kelompok LGBT.
Human Rights Watch (HRW) melaporkan kaum LGBT di Indonesia banyak menjadi sasaran diskriminasi masyarakat, bahkan pejabat pemerintah. Februari lalu Menteri Pertahanan Indonesia mengatakan kemunculan LGBT sebagai bagian dari proxy war dan bulan lalu Kementerian Pemuda dan Olahraga sempat mencantumkan dilarangnya LGBT dalam syarat keikutsertaan Pemilihan Duta Kreatif 2016.
Tekanan terhadap LGBT khususnya datang dari kelompok garis keras. Contohnya intimidasi terhadap pondok pesantren khusus waria di Yogyakarta beberapa bulan lalu.
Ajak hidup lebih sehat
Setelah menyisihkan tiga finalis di babak akhir, Rio Paramadina dan Stefanie Mountegah dinobatkan sebagai Mister dan Miss Gaya Dewata 2016.
“Saya yakin, dengan kemampuan yang saya miliki, saya bersama-sama komunitas LGBT bisa mengajak generasi muda untuk hidup lebih sehat agar terhindar dari HIV dan AIDS,” kata Stefanie yang disambut tepuk tangan penonton.