Bagaimana Konflik Komunal Kristen-Muslim di Poso Melahirkan Militan MIT
2020.12.03
Poso
Bagian kedua dari tiga artikel
Kekerasan berkepanjangan yang dilakukan oleh kelompok militan bersenjata Mujahidin Indonesia Timur (MIT) di Poso, Sulawesi Tengah, berakar pada konflik berdarah antara komunitas Muslim-Kristen lebih dari dua dekade lalu, demikian pakar anti-terorisme dan tokoh masyarakat setempat.
Konflik itu dimulai pada malam Natal 1998 dimana seorang pemuda Kristen yang mabuk menusuk seorang warga Muslim. Perayaan Natal tahun itu jatuh bertepatan dengan bulan Ramadan. Periode yang seharusnya dipenuhi ketenangan dan kegembiraan beribadah itu berubah menjadi panas oleh amarah.
Penusukan tersebut memicu konfrontasi antargang yang berkembang dan pecah menjadi perang antar komunitas Kristen dan Muslim di Kabupaten Poso, demikian menurut kajian Pusat Studi Agama dan Demokrasi (PUSAD) Paramadina. Lebih dari 1.000 orang tewas antara tahun 1998 dan 2001 dalam konflik tersebut.
Poso saat ini adalah sarang persembunyian dan aktivitas MIT, kelompok pro-ISIS yang jumlahnya menurut aparat keamanan hanya belasan, namun masih menjadi ancaman yang mematikan.
Pada Desember 2001, perjanjian damai Deklarasi Malino ditandatangani, mengakhiri konflik komunal dua agama itu di atas kertas. Namun kebencian dan kemarahan yang didorong oleh keyakinan bahwa keadilan tidak ditegakkan, masih terus membara di sebagian masyarakat.
Kemarahan itu menjadi cikal bakal sekelompok militan untuk membentuk MIT, kelompok yang juga bertujuan untuk membentuk negara Islam di Indonesia, demikian Mohammad Adhe Bhakti, direktur eksekutif Pusat Kajian Radikalisme dan Deradikalisasi (PAKAR), kepada BenarNews.
“Ini adalah kelompok militan yang tidak hanya dimotivasi oleh keinginan untuk mendirikan negara Islam. Secara historis mereka dapat ditelusuri kembali ke konflik Poso. Itu sebabnya mereka melakukan kekerasan sejak awal,” kata Adhe.
“Kita perlu memahami (bahwa ini) akar dari gerakan radikal di Poso.”
Sebagian besar serangan di Poso dan sejumlah wilayah di Sulawesi Tengah dalam beberapa tahun terakhir, termasuk pembunuhan sadis atas empat petani jemaat sebuah gereja di Desa Lembantongoa, di Kabupaten Sigi yang berbatasan dengan Kabupaten Poso, dikaitkan dengan MIT.
Kelompok militan itu bertanggung jawab atas penculikan, pengeboman kantor polisi, dan pembunuhan aparat keamanan dan petani setempat, demikian menurut aparat.
Akar MIT
MIT lahir pada 2010 karena semangat untuk membentuk negara Islam, kata mantan anggota kelompok militan Jemaah Islamiyah (JI), Arifuddin Lako, yang divonis 8 tahun penjara dan 6 bulan atas pembunuhan seorang jaksa di Poso yang menangani kasus terorisme.
Cikal bakal lahirnya MIT di Poso adalah kelompok Jamaah Ansharut Tauhid (JAT), yang didirikan 2008 oleh pendiri JI, Abu Bakar Ba’asyir, setelah JI dinyatakan organisasi ilegal, ujar Arifuddin dalam wawancara di Poso.
Salah satu anggota JAT adalah Santoso, dikenal juga sebagai Abu Wardah, yang berasal dari Tentena, Sulawesi Tengah, yang saat itu dipercaya menjadi ketua sayap militer organisasi cabang Poso.
“Waktu diberi kepercayaan, Santoso diminta untuk menjadikan Poso sebagai pusat pelatihan jihad atau qoidah aminah negara Islam,” kata Arifuddin kepada BenarNews.
Perintah tersebut diberikan kepada Santoso karena pusat pelatihan jihad yang sebelumnya di Aceh dibubarkan polisi, jelasnya.
Pada 2010, Santoso berhasil merekrut pengikut dan mengumpulkan senjata api, amunisi dan bom rakitan.
Mereka, kata Arifuddin, kemudian memusatkan pelatihan militer di Gunung Mauro dan Gunung Biru di Poso Pesisir Utara.
Pada 2012, Santoso kemudian ditunjuk sebagai amir atau pemimpin kelompok yang diberi nama Mujahidin Indonesia Timur. Santoso menjadi militan pertama di Indonesia yang secara terbuka berbaiat kepada ISIS pada 2014.
MIT mendapat dukungan dari sejumlah kelompok yang memiliki ideologi sama, termasuk dari Mujahidin Indonesia Barat (MIB) di Bima, NTB.
Pada tahun-tahun selanjutanya dibawah kepemimpinan Santoso, MIT melakukan pembunuhan kejam terhadap banyak warga sipil, yang memicu pemerintah untuk menjalankan operasi perburuan militan MIT, dengan nama sandi Camar Maleo pada Januari 2015. Operasi ini dilanjutkan dengan Operasi Tinombala setahun kemudian.
Pada 18 Juli 2016, Satgas Operasi Tinombala berhasil menembak mati Santoso bersama seorang pengikutnya bernama Mukhtar.
Dua bulan kemudian, Muhammad Basri yang merupakan tangan kanan Santoso, ditangkap bersama istrinya dan satu anak buahnya tewas ditembak petugas keamanan.
Kelompok yang tadinya memiliki jumlah anggota yang berjumlah 40-an berkurang dan bahkan terpecah menjadi dua dan beberapa anggotanya ada yang memilih menyerahkan diri.
Tahun ini polisi mengatakan bahwa anggota MIT yang tersisa hanya tinggal 11 orang termasuk pemimpinnya, Ali Kalora. Namun demikian, seperti apa yang terjadi di Desa Lembantongoa pada 27 November lalu, dimana empat warga terbunuh dan sejumlah rumah dibakar, MIT masih tetap menjadi ancaman.
'Diabaikan dan tersakiti'
Mantan kombatan konflik Poso, Sukarno Ahmad Ino mengatakan orang yang masuk dalam MIT adalah mereka yang terabaikan pasca-konflik Poso, seperti Mukhtar dan Basri yang anggota keluarganya tewas dalam konflik sectarian di Poso pada 1998-2001 itu dan merasa tidak mendapat keadilan.
“Mukhtar dan Basri pun demikian, proses hukum pelaku pembunuh keluarga mereka saat konflik juga tidak diproses negara. Semua itu menjadi pemicu, sehingga mereka terabaikan dan sakit hati,” jelasnya.
Adhe, peneliti dari PAKAR, mengatakan MIT secara sejarah masih menjadi bagian konflik Poso dan masih adanya militansi disebabkan karena karena perjanjian damai Malino tidak mengakar.
“Di perjanjian Malino itu kan kira-kira ketika itu ditawarkan posisi zero, ‘tidak usah bahas lagi siapa yang bunuh paman kamu, siapa yang bunuh ibu kamu, siapa yang bunuh keluarga kamu. jadi sekarang kita zero condition,” ujar Adhe kepada BenarNews.
“Tapi ternyata itu tidak sampai ke mereka (akar rumput). Jadi sampai sekarang mereka itu masih dendam ketika melihat ‘pembunuh ibunya’ sudah pergi ke pasar lagi, menyatu dengan masyarakat,” ujarnya.
'Ini adalah kemajuan'
Sementara itu, meski dukungan masyarakat kepada kelompok MIT kini hampir tidak ada, laporan PUSAD menyimpulkan, rekonsiliasi di antara komunitas Islam dan Kristen belum sepenuhnya tercapai.
“Kedamaian di Poso masih rentan diganggu oleh sisa-sisa pengaruh ideologi garis keras,” kata PUSAD dalam laporannya yang berjudul Duapuluh Tahun Konflik Poso, Sulawesi Tengah: Reradikalisasi, Rekonsiliasi, dan Upaya-upaya Binadamai.
“Kedamaian mereka itu juga terus diganggu masih bertahannya dukungan kepada kelompok MIT oleh pihak-pihak di luar Poso, baik di tingkat nasional maupun internasional,” kata laporan PUSAD.
Namun demikian, sebagian besar umat Kristen dan Muslim sudah hidup berdampingan tanpa permusuhan, Renaldy Damanik, seorang tokoh Kristen yang merupakan salah satu penandatangan Deklarasi Malino, mengatakan kepada BenarNews.
"Umat Kristen dan Muslim sekarang bebas pergi ke mana pun karena tidak ada lagi konflik komunal," katanya.
“Orang-orang menolak diprovokasi untuk berkonflik. Pembunuhan baru-baru ini di Lembantongoa tidak memprovokasi umat Kristen untuk membalas,” ujarnya.
Ibrahim Ismail, seorang pemimpin Muslim di Poso, mengatakan tidak ada dukungan komunitas Islam terhadap MIT.
“Tidak ada tempat bagi anggota atau simpatisan MIT di Poso. Ideologi MIT jauh dari jihad yang sebenarnya," kata Ibrahim kepada BenarNews.
Menurutnya, “jihad sejati” adalah berusaha menjadi manusia yang lebih baik, bukan berperang.
Tokoh pemuda di Poso, Abdul Kadir Abdjul, mengatakan banyak anak muda di Poso sekarang membahas hal positif yang berbau teknologi dan melupakan konflik yang pernah terjadi di Poso, yang terjadi ketika mereka masih belia.
“Tentu suatu kemajuan, apa lagi anak-anak muda sekarang itu adalah korban konflik Poso juga,” katanya.
Ia meminta pemerintah untuk aktif memberikan pendampingan kepada pemuda di Poso, misalnya dengan serangkain kegiatan terkait teknologi.
“Seperti perlombaan e-sport yang baru-baru ini dibuka oleh pemerintah Poso. Itu sudah sangat tepat,” ujarnya.
Abdul menilai dengan kecilnya dukungan pemuda ke MIT, seharusnya aparat keamanan bisa dengan mudah memutus mata rantai radikalisasi.