Setelah Thailand, Pimpinan Filipina Juga Tidak Hadir, Komitmen ASEAN Dipertanyakan
2021.04.22
Manila, Jakarta and Bangkok
Kementerian Luar Negeri Filipina pada Kamis (22/4) mengumumkan bahwa Presiden Rodrigo Duterte tidak akan hadir dalam pertemuan ASEAN pada akhir pekan ini, menambah panjang daftar pemimpin yang absen dalam KTT khusus membahas krisis di Myanmar tersebut.
Analis mengatakan ketidakhadiran beberapa pemimpin ASEAN dalam KTT yang diadakan di Sekretariat Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara itu di Jakarta pada 24 April mendatang merupakan pukulan bagi kawasan dalam upaya untuk mengakhiri konflik di Myanmar akibat kudeta militer awal Februari lalu.
Kehadiran Duterte pada pertemuan pemimpin ASEAN akan digantikan oleh Menteri Luar Negeri Teodoro L. Locsin, kata Kementerian Luar Negeri Filipina.
“Presiden telah memutuskan untuk tetap berada di dalam negeri karena alasan domestik yang mendesak sehubungan dengan lonjakan kasus COVID-19,” tulis keterangan Kemlu Filipina, seraya meyakinkan bahwa Filipina sangat mendukung diselenggarakannya pertemuan itu meski tanpa kehadiran seluruh pemimpinnya.
Duterte menjadi Kepala Negara kedua yang mengumumkan absen dalam pertemuan tersebut setelah Perdana Menteri Thailand Prayuth Chan-o-cha. Sama seperti Filipina, Prayuth turut mengatakan situasi COVID-19 di negaranya tidak memungkinkan bagi dirinya untuk melakukan perjalanan ke luar negeri.
“Saya sepenuhnya menyadari bahwa situasi di Myanmar menantang bagi perdamaian dan stabilitas di kawasan. Namun, di tengah pandemi COVID-19 di Thailand, saya menyesal tidak bisa menghadiri langsung KTT di Jakarta,” kata Prayuth menghubungi Presiden Joko “Jokowi” Widodo melalui sambungan telepon, Kamis.
Thailand bakal mengirimkan Wakil Perdana Menteri dan Menteri Luar Negeri Don Pramudwinai.
Filipina dan Thailand sama-sama menyampaikan komitmen kedua negara terhadap upaya kolektif ASEAN mengatasi ancaman dan tantangan stabilitas di kawasan.
“Saya berharap pertemuan ini dapat membawa kesuksesan dan meningkatkan situasi di Myanmar menjadi lebih baik. Thailand siap untuk menerapkan resolusi yang dibuat dalam pertemuan,” tambah Prayuth.
Sementara Filipina memastikan Menlu Locsin akan menyampaikan dukungan terhadap inisiatif Brunei Darussalam dan Sekretaris Jenderal ASEAN untuk melakukan niat baik mereka, sesuai dengan Piagam ASEAN, mengunjungi Myanmar dan menjadi perwakilan utama ASEAN dalam merespons krisis di Myanmar.
Ujian bagi relevansi ASEAN
Jose Ramos Horta, mantan Presiden Timor Leste, mengatakan ASEAN menghadapi dilema yang luar biasa dalam menghadapi tantangan sebagai organisasi regional yang memiliki kredibilitas di mata komunitas internasional.
“Ini adalah ujian terhadap relevansi ASEAN sebagai organisasi regional. Ini tentang apakah mereka akan menegakkan prinsip-prinsip dalam Piagam ASEAN dan secara terbuka mengatakan tidak pada kudeta militer, untuk terus terang mengatakan menolak kekerasan terhadap warga sipil yang tidak bersalah,” kata penerima Nobel Perdamaian tahun 1996 ini dalam sebuah webinar, Kamis.
“Ini adalah situasi menantang yang bisa mengangkat ASEAN di kalangan komunitas internasional atau malah menjatuhkan,” tambahnya.
Dinna Prapto Raharja, pakar hubungan internasional untuk Synergy Policies di Jakarta, mengatakan absennya kepala negara dalam pertemuan penting ini bakal memberikan kesan kepada publik bahwa ASEAN tidak konsisten dan bahkan melanggar prinsip people-centered, people oriented-nya.
“Bahwa di saat-saat warga negara di kawasannya mengalami kekerasan dan intimidasi berkepanjangan bahkan sudah mengarah ke perang saudara pun masih memilih untuk tidak peduli,” kata Dinna kepada BenarNews.
“Hal ini menurut saya sangat memalukan. Ini menjadi preseden yang buruk untuk kelanjutan ASEAN sebagai organisasi yang diharapkan bisa aktif menjaga perdamaian berbasis demokrasi dan HAM di kawasan,” tambahnya lagi.
Thailand dan Filipina, pun negara lain yang nantinya tidak akan mengirim kepala negaranya ke dalam pertemuan, sambung Dinna, hanya membuktikan bahwa mereka selama ini menutup telinga terhadap beragam masalah yang berkembang di Myanmar.
Hal sama juga berlaku bagi negara-negara yang mendukung usulan dibentuknya Utusan Khusus ASEAN atau mekanisme-mekanisme baru yang justru memperpanjang prosedur dan memberatkan langkah untuk menyelamatkan masyarakat sipil Myanmar.
“ASEAN sudah punya Komisi HAM, sudah punya ASEAN Foreign Ministers Forum dan punya Sekjen. Semuanya bisa dipakai untuk bergerak. Kalau bikin Special Envoy, penentuan orangnya saja akan politis dan memakan waktu, mandatnya pun belum tentu sesuai harapan,” kata Dinna.
Pertemuan khusus para pemimpin regional ini akan membahas hal-hal yang mendesak di kawasan, termasuk upaya pemulihan, situasi di Myanmar, upaya pembangunan komunitas ASEAN, hubungan eksternal, serta persoalan kawasan dan internasional, kata Kemlu Filipina.
Kepala Negara Malaysia, Kamboja, Indonesia dan Brunei Darussalam dikonfirmasikan hadir dalam pertemuan tersebut, sementara Singapura, Vietnam dan Laos hingga saat ini belum mengumumkan siapa pejabat yang akan berangkat ke Jakarta.
Adapun pimpinan junta militer Myanmar, Min Aung Hlaing, dipastikan juga akan bergabung dalam dialog luar negeri pertamanya pasca-kudeta 1 Februari 2021.
Di tengah pesimisme atas komitmen ASEAN, Dinna berharap sembilan pemimpin dan perwakilan negara ASEAN dapat meminta klarifikasi terhadap junta tentang mengapa militer melakukan kudeta pada proses politik dan bahkan menggunakan kekerasan secara luas kepada masyarakat sipil, remaja, hingga anak-anak.
“Harapan tertingginya adalah ada kesepakatan untuk mengambil keputusan secara ASEAN minus one demi mencegah pemburukan suasana akibat penggunaan kekerasan, entah berupa kesepakatan untuk memediasi konflik, untuk masuk ke Myanmar memantau situasi, atau yang lainnya,” ujarnya.
Azmi Hassan, seorang analis politik di Malaysia, mengatakan ketidakhadiran pemimpin ASEAN dapat mengirimkan sinyal bahwa pertemuan di Jakarta tidak sepenting seperti yang diharapkan.
“Jika hanya pemimpin eselon 2 atau eselon 3 yang hadir dalam pertemuan tersebut, itu akan memberi sinyal kepada junta bahwa ASEAN tidak berbicara sebagai satu suara,” kata Azmi kepada BenarNews, “sangat penting bagi ASEAN untuk menunjukkan bahwa mereka berbicara sebagai satu suara terkait setiap keputusan yang diambil atas Myanmar.”
Lebih dari 700 orang - kebanyakan pengunjuk rasa anti-kudeta - dibunuh oleh militer dan pasukan keamanan Burma sejak kudeta 1 Februari, menurut statistik terbaru dari Assistance Association for Political Prisoners, sebuah kelompok hak asasi manusia Myanmar yang berbasis di Thailand.
Terancam jadi negara gagal
Sementara itu, perwakilan pemerintah sipil Myanmar dan koalisi masyarakat sipil Asia Tenggara mengatakan ASEAN memiliki peran untuk membuat Burma menjadi negara yang sepenuhnya “gagal” jika tidak berhasil mendesak dan mendorong pertanggungjawaban junta militer atas kebrutalan mereka.
Aktivis Progressive Voice, Khin Ohmar, menyebut ASEAN masih memiliki kesempatan untuk memperbaiki citranya sebagai perhimpunan dengan tidak mengakui serta membatalkan kehadiran Min Aung Hlaing dalam pertemuan esok dan beralih untuk berpihak kepada pemerintahan yang sah, yakni National Unity Government (NUG).
“ASEAN tidak pernah menangani Myanmar dengan cara yang benar, bahkan sejak Myanmar bergabung sebagai anggota. ASEAN selalu bungkam atas semua krisis kemanusiaan yang terjadi, termasuk genosida terhadap etnis Rohingya pada 2017,” kata Khin dalam acara Southeast Asia Peoples’ Summit on Myanmar yang digelar virtual, Kamis.
“Bahwa demi kepentingan terbaik ASEAN, kali ini mereka harus menangani Myanmar dengan cara yang benar. Karena jika tidak, Burma sudah sangat mendekati menjadi negara gagal. Apakah ASEAN menginginkan itu?” tambahnya.
Menteri Perempuan, Anak-anak dan Pemuda NUG, Naw Susanna Hla Hla Soe, mengingatkan pemimpin negara ASEAN bahwa mereka akan bertemu dengan pihak militer sama yang membunuh dan membakar rumah orang-orang.
“Mengapa para pemimpin ASEAN dan beberapa pihak luar meyakini bahwa orang-orang ini dapat membuktikan janji mereka untuk mengembalikan stabilitas di Myanmar. Kami akan menantang klaim ini dan masyarakat Myanmar akan membuktikan bahwa ini salah,” kata Susanna.
Susanna, yang rumahnya digeledah oleh militer pada awal Maret 2021 dan membuatnya melarikan diri dan bersembunyi berminggu-minggu dalam ketakutan bersama orang-orang dari etnis minoritas di Provinsi Karen, berharap ASEAN berpihak pada masyarakat sipil dan tidak mengakui pemerintahan militer.
“Masyarakat Myanmar mengatakan cukup, kami lebih baik mati berjuang daripada hidup di bawah kediktatoran,” tegasnya.
Wai Wai Nu, aktivis dan advokat Rohingya, meragukan kemampuan ASEAN dalam meminta pertanggungjawaban junta militer akibat tersandera prinsip non-intervensi yang selama ini dianut kuat para anggota.
“Kelemahan ASEAN yang ditandai dengan non-intervensi hanya akan membuat junta militer dan rekan-rekannya semakin berani. Sekali lagi, kami sangat prihatin melihat cara ASEAN mencari solusi melalui dialog dengan rezim brutal,” kata Wai dalam kesempatan sama.
Wai, Susanna, Khin, bersama ribuan individu dan kelompok masyarakat sipil di Asia Tenggara menandatangani surat terbuka untuk dikirimkan kepada para pemimpin ASEAN, pada 24 April, yang salah satunya memuat desakan untuk kawasan mengambil tindakan substansial kepada Myanmar dengan menangguhkan keanggotaan negara itu dari ASEAN juga menjatuhkan sanksi finansial kepada junta militer dan rekan-rekannya.
Jason Gutierrez di Manila, Ronna Nirmala di Jakarta dan Kunnawut Boonreak di Chiang Mai, Thailand, berkontribusi pada laporan ini.