Seruan Menguat Tolak Junta Militer Myanmar Menghadiri KTT ASEAN
2021.04.19
Jakarta
Seruan menguat dari berbagai kalangan agar pemimpin ASEAN tidak mengundang pemimpin junta Myanmar dalam pertemuan tingkat tinggi pada akhir pekan ini untuk membahas situasi terkini pasca-kudeta oleh militer di negara itu.
Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ASEAN direncanakan berlangsung di Sekretariat ASEAN di Jakarta, pada 24 April 2021, dan akan dihadiri para pemimpin negara di kawasan secara langsung, demikian sumber pemerintahan di Indonesia.
Tanee Sangrat, juru bicara Kemlu Thailand, mengatakan pemimpin junta Myanmar Min Aung Hlaing akan menghadiri pertemuan di Jakarta.
"Beberapa pemimpin telah memastikan kehadiran mereka, termasuk MAH (Min Aung Hlaing)” kata Tanee, Senin.
Ini bakal menjadi perjalanan luar negeri pertama Min Aung Hlaing sejak kubunya menolak hasil pemilihan umum pada November 2020, yang memenangkan Aung San Suu Kyi.
Perdana Menteri Prayuth Chan-o-cha akan diwakili oleh Menteri Luar Negeri Don Pramudwinai dalam pertemuan tersebut dan salah satu wakil perdana Menteri, kata Tanee.
Kabar kehadiran Min Aung Hlaing tersebut mendapat penolakan dari kelompok aktivis, politisi dan pengamat.
“Pemerintah Republik Indonesia tidak boleh memberikan pengakuan terhadap junta militer sebagai pemerintahan yang sah di Myanmar, karena rezim ini telah membantai warga sipil dan membungkam gerakan demokrasi yang merupakan suara rakyat Myanmar,” kata Irine Putri, anggota Komisi I DPR RI, Fraksi PDI Perjuangan.
Irine mengatakan seharusnya National Unity Government (NUG), pemerintah tandingan yang dibentuk pekan lalu oleh anggota parlemen yang dibubarkan junta dalam kudeta 1 Februari lalu, yang diundang.
“Myanmar sudah diambang perang saudara, dan kita tahu bahwa NUG dan rakyat Myanmar tidak akan mundur karena mereka sudah sekian lama ditindas rezim militer. Jadi ASEAN perlu menekan rezim militer untuk mengembalikan mandatnya kepada pemerintahan sipil, seperti sebelum kudeta, karena itu satu-satunya jalan,” kata Irine.
NUG sendiri mendesak agar ASEAN tidak melegitimasi junta dengan mengundang wakilnya ke KTT.
"Jika ASEAN sedang mempertimbangkan tindakan yang terkait dengan urusan Myanmar, saya ingin mengatakan itu tidak akan berhasil kecuali bernegosiasi dengan NUG, yang didukung oleh rakyat dan memiliki legitimasi penuh," kata Wakil Menteri Luar Negeri NUG, Moe Zaw Oo kepada layanan berbahasa Myanmar di situs Voice of America (VOA) pada Minggu.
Moe Zaw juga mendesak agar ASEAN untuk tidak mengakui junta militer sebagai pemerintah yang sah bagi Myanmar.
Dinna Prapto Raharja, praktisi hubungan internasional untuk lembaga think-tank Synergy Policy di Jakarta berpendapat kedatangan junta militer akan mempersulit konsensus yang adil bagi masyarakat Myanmar, terlebih sejauh ini tidak ada tanda-tanda ada pihak sipil yang diundang ke KTT.
“Bisa juga karena pengaturan seperti ini akan menguat ketidakpercayaan dari pihak NUG maupun masyarakat sipil bahwa ASEAN itu imparsial dan tidak memihak,” kata Dinna kepada BenarNews, seraya menambahkan junta tidak perlu diikutkan dalam pengambilan keputusan di KTT itu.
Bridget Welsh, pakar politik dari Nottingham University yang berbasis di Malaysia, mengatakan mengundang pemimpin junta ke pertemuan ASEAN sama dengan membenarkan kekerasan terhadap rakyat sipil.
“Tidak perlu mengundang pembunuh ke meja perundingan. ASEAN sama saja memberi mereka senjata untuk membunuh orang Myanmar. Sebaliknya, NUG harus ada di sana,” kata Welsh kepada BenarNews.
Welsh mengatakan Malaysia kemungkinan besar akan berpartisipasi dalam pertemuan ASEAN itu namun saat ini masih enggan memberi pernyataan lantaran poin-poin dalam pertemuan masih dalam pembahasan.
Sementara itu, dalam pertemuan bilateral Menlu Malaysia Hishammuddin Hussein dengan Menlu Australia Marisa Payne, Senin, keduanya berbagi keprihatinan yang sama tentang penggunaan senjata mematikan oleh pasukan keamanan Myanmar terhadap warga sipil dan mengulangi seruan kepada semua pihak untuk menahan diri.
“Semua pihak yang berkepentingan harus mencari solusi damai dan mengupayakan dialog yang konstruktif, rekonsiliasi, dan segera kembali ke keadaan normal sesuai dengan keinginan dan kepentingan rakyat Myanmar untuk perdamaian, keamanan dan stabilitas kawasan yang lebih besar. Malaysia akan terus melakukan keterlibatan konstruktif dengan semua pihak dengan tujuan untuk berkontribusi pada resolusi damai tentang masalah ini,” kata Hishammuddin.
Pentingnya kehadiran kedua kubu
Rizal Sukma, peneliti senior Centre for Strategic and International Studies di Jakarta menilai kehadiran junta militer Myanmar tidak serta-merta mengartikan bahwa ASEAN mengakui atau mendukung Tatmadaw sebagai pemerintah yang sah di Myanmar.
“Tapi karena KTT bermaksud mendesak Tatmadaw menghentikan kekerasan, tentunya desakan itu perlu disampaikan langsung ke junta,” kata Rizal kepada BenarNews.
Indonesia dan Malaysia pada pertengahan Maret, menyerukan dilakukannya pertemuan darurat berupa KTT ASEAN untuk membahas gejolak di Myanmar yang telah menewaskan lebih dari 700 nyawa masyarakat sipil dalam aksi unjuk rasa menentang kudeta militer dimulai pada awal Februari.
Rizal berharap pada KTT tersebut para pemimpin ASEAN bisa membuat pihak militer menyepakati restorasi demokrasi.
“Tentunya kita berharap KTT bisa menyepakati bahwa perlu ada penghentian kekerasan di Myanmar oleh junta militer yang kemudian bisa dimulainya dialog antara orang-orang Myanmar,” kata Rizal.
Pakar politik internasional Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Dewi Fortuna Anwar, mengatakan pertemuan tingkat tinggi tersebut idealnya dihadiri oleh dua kubu yang tengah berkonflik di Myanmar dalam mencari solusi bersama.
“Untuk menindaklanjuti proses dialog, tentunya kubu Suu Kyi perlu ikut dalam pertemuan,” kata Dewi kepada BenarNews, Senin.
Apabila pertemuan hanya dihadiri pihak junta, dirinya memperkirakan ASEAN akan sulit mencapai konsesus yang adil, khususnya bagi masyarakat sipil di Myanmar.
“Kehadiran junta militer dalam ASEAN Summit pasti akan mempersulit konsensus. Namun, tanpa kehadiran junta, upaya ASEAN untuk mencari solusi atas konflik Myanmar juga tidak akan membuahkan hasil,” lanjutnya.
Pengamat hubungan internasional Universitas Padjajaran di Bandung, Teuku Rezasyah, turut berpendapat kehadiran pemimpin militer Myanmar dalam pertemuan tersebut strategis bagi ASEAN.
“Kalau ASEAN ingin mendorong agar kekerasan segera dihentikan, akses untuk bantuan kemanusiaan dibuka, maka yang paling tepat adalah berbicara langsung dengan militernya,” kata Rezasyah.
Namun mantan menteri luar negeri Indonesia Marty Natalegawa mengatakan solusi yang memuaskan kedua belah pihak semakin sulit dijangkau.
“Hari demi hari kita melihat bahwa masing-masing pihak bergerak semakin jauh satu sama lain,” katanya dalam sebuah podcast YouTube minggu lalu, mengutip keputusan komisi pemilihan junta yang menyatakan hasil pemilu tahun lalu "tidak sah"
“Pada hari-hari awal (setelah kudeta) kita masih bisa membayangkan situasi di mana bisa terjadi kesepakatan tanpa kehilangan muka. Tapi sekarang taruhannya semakin tinggi dan ruang rekonsiliasi semakin sempit,” ujarnya, seraya menambahkan bahwa para pemimpin militer yang melakukan pembunuhan warga sipil perlu dimintai pertanggungjawaban secara hukum.
Sikap kepada NUG
Pada Jumat pekan lalu, kubu pro-demokrasi Myanmar mengumumkan pembentukan NUG sebagai upaya menentang perebutan pemerintahan secara sepihak Tatmadaw, serta menggalang dukungan baik lokal maupun internasional demi restorasi demokrasi.
“Setiap orang harus menyambut pemerintah yang baru diluncurkan dengan sepenuh hati. Kami akan terhubung dengan dunia untuk bekerja sama,” kata aktivis demokrasi veteran Min Ko Naing dalam pidato video 10 menit yang dikutip dari Radio Free Asia (RFA).
Sejauh ini belum ada sikap dari pemerintah negara ASEAN lain terkait pembentukan NUG.
Faizasyah dari Kemlu Indonesia mengatakan dirinya belum menerima informasi lebih lanjut perihal sikap pemerintah atas keberadaan NUG. Selain itu, dia juga mengaku tidak mengetahui mengapa NUG tidak hadir dalam pertemuan Sabtu nanti.
“Undangan untuk menghadiri pertemuan ASEAN dikeluarkan oleh Brunei selaku Ketua ASEAN saat ini,” katanya.
Dinna Prapto dari Synergy Policy mengatakan belum adanya sikap dari Kepala Negara ASEAN perihal NUG bisa dimaklumi lantaran hingga saat ini belum ada surat resmi ke negara-negara kawasan maupun Sekretariat Jenderal ASEAN perihal pembentukan, posisi dan dasar legitimasi NUG.
Kendati begitu, mantan Utusan Indonesia untuk Komisi HAM ASEAN ini menilai situasi tersebut tidak seharusnya menjadi alasan bagi ASEAN untuk tidak menghadirkan perwakilan sipil Myanmar dalam pertemuan esok.
“Menurut hemat saya meskipun situasinya belum ada surat tertulis dari NUG, negara-negara ASEAN selayaknya menahan diri juga untuk tidak terus menerus memberikan pengakuan pada junta militer dengan mengundang hanya junta militer; karena ini kan situasinya konflik, situasinya penuh ketidakpastian, jadi harus ada pengecualian sikap terutama pada pihak yang jelas-jelas melakukan pembunuhan kelompok sipil secara luas,” kata Dinna.
Jesada Buaban, peneliti Thailand di Universitas Gadjah Mada Yogyakarta mengatakan kepada BenarNews bahwa isu HAM menjadi topik yang sangat dinantikan banyak pihak pada pertemuan esok, dengan fokus desakan penghentian kekerasan.
“Tekanan dari negara-negara ASEAN sangat penting, meskipun Thailand dan Kamboja telah menunjukkan ketidakpedulian terhadap situasi tersebut,” kata Buaban.
Selain HAM, faktor pengaruh Cina yang tak terbantahkan di kawasan juga akan memengaruhi jalannya KTT. “Banyak negara ASEAN harus mempertimbangkan hubungan dengan Cina sebelum menanggapi konflik di Myanmar,” tukasnya.
Nontarat Phaicharoen di Bangkok dan Kunnawut Boonreak di Chiang Mai, Thailand, Ronna Nirmala dan Tria Dianti di Jakarta, serta Hadi Azmi di Kuala Lumpur turut berkontribusi dalam laporan ini.