Larangan jual rokok ketengan picu kritik dari pengusaha dan pedagang kecil
2024.08.02
Jakarta
Di tengah lonjakan angka perokok aktif di Indonesia, pemerintah menerbitkan aturan yang melarang penjualan rokok secara eceran sebagai upaya menurunkan prevalensi perokok dan mencegah perokok pemula di Tanah Air.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada Mei menyatakan sekitar 70 juta orang Indonesia merupakan perokok aktif, dengan rincian 7,4% di antaranya berusia 10-18 tahun, menurut Data Survei Kesehatan Indonesia Kementerian Kesehatan.
Beleid larangan penjualan rokok eceran itu termaktub dalam Peraturan Pemerintah (PP) berisi lebih dari 1.000 pasal yang diteken Presiden Joko “Jokowi” Widodo pada Jumat pekan lalu, yang diterbitkan sebagai aturan turunan Undang-Undang Kesehatan yang disahkan pada Agustus 2023.
Sejumlah pengamat mengapresiasi keberadaan PP tersebut, namun berharap pemerintah serius dalam pengawasan dan penegakan hukum di lapangan, sementara para pedagang kecil menolak kebijakan itu dengan menyebut akan mematikan usaha mereka.
Ketua Tobacco Control Support Center (TCSC) Sumarjati Arjoso mengatakan, selama ini sudah terdapat sejumlah aturan larangan merokok di beberapa tempat tertentu, tapi terkadang penegakan hukumnya masih lemah.
"Sekarang, misalnya, kan sudah banyak peraturan daerah soal kawasan tanpa rokok, tapi untuk ketaatan masih rendah," kata Sumarjati dalam keterangan pers di Jakarta pada Rabu (31/7).
Hal sama disampaikan Ketua Umum Komisi Nasional Pengendalian Tembakau, Hasbullah Thabrany yang mengatakan, "Kami berharap PP dijalankan konsisten. Itu yang penting karena ini adalah langkah awal."
Perihal larangan menjual rokok secara eceran termuat pada Pasal 434 ayat 1 yang menyatakan, "Setiap orang dilarang menjual produk tembakau dan rokok elektronik secara eceran satuan per barang, kecuali bagi produk tembakau berupa cerutu dan rokok elektronik."
Aturan itu juga melarang penjualan rokok dalam radius 200 meter dari satuan pendidikan dan tempat bermain anak serta tidak dibolehkan menjual rokok kepada mereka yang berusia di bawah 21 tahun — sebelumnya 18 tahun.
Hanya saja, rangkaian beleid tersebut tidak memuat soal sanksi yang diberikan jika masih ada penjual yang membandel.
Oleh karena itu, selain sanksi untuk para pelanggar, Sumarjati pun meminta pemerintah menjabarkan lembaga atau badan yang bertugas mengawasi penjualan rokok eceran di tengah masyarakat pada kebijakan turunan peraturan pemerintah ini.
"Nanti pengawasan (larangan rokok eceran) oleh siapa? Apakah Ketua RT (rukun tetangga) atau Satuan Polisi Pamong Praja? Itu juga penting," kata Sumarjati.
Selain larangan menjual eceran, PP terbaru juga mewajibkan produsen untuk memperbesar gambar peringatan menjadi 50% dari bungkus rokok, dari sebelumnya 40%.
Juru Bicara Kementerian Kesehatan Siti Nadia Tarmizi mengatakan, perihal sanksi akan diatur lebih lanjut dalam Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes), tapi dia tak memerinci potensi sanksi yang bakal diberikan serta detail lainnya.
"Bagaimana mekanisme penindakan, nanti diatur di Permenkes," ujar Nadia kepada BenarNews, tanpa menjabarkan kapan peraturan itu bakal diterbitkan.
Larangan penjualan rokok eceran sejatinya telah digodok pemerintah sejak beberapa tahun terakhir, namun akhirnya baru diterbitkan pada 27 Juli 2024.
Aturan soal penjualan produk tembakau sebelumnya diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 109 Tahun 2012, namun beleid itu belum memuat soal larangan penjualan rokok eceran.
Presiden Jokowi pada Desember 2022 mengatakan beberapa negara sejatinya telah lebih dulu menerapkan kebijakan tersebut, tapi Indonesia tergolong terlambat mengadopsinya.
Nadia menambahkan bahwa penerbitan aturan pelarangan menjual rokok eceran didorong oleh keinginan pemerintah mengurangi jumlah perokok di Indonesia, terutama kaum muda.
"Dampak merokok terhadap kesehatan sangat merugikan. Jadi, pengeluaran untuk rokok lebih baik untuk memenuhi gizi keluarga," kata Nadia.
Berdasarkan data Survei Sosial Ekonomi Nasional Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2022, rokok merupakan komponen pengeluaran rumah tangga tertinggi kedua di Indonesia setelah beras, mencapai 12,21% di perkotaan dan 11,63% di pedesaan.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam rapat bersama Dewan Perwakilan Rakyat pada Desember 2022 bahkan menyebut fenomena tersebut menjadi dilema bagi pemerintah dalam mengentaskan kemiskinan di Tanah Air.
BPS mencatat rumah tangga miskin rata-rata mengeluarkan Rp246.382 per bulan untuk belanja rokok.
Peneliti Pusat Kajian Jaminan Sosial Universitas Indonesia, Aryana Satrya, mengatakan setiap 1% peningkatan pengeluaran rokok bakal menaikkan kemungkinan rumah tangga menjadi miskin sebesar 6%.
Walhasil, dia pun mendesak pemerintah untuk menaikkan cukai rokok jika serius menurunkan prevalensi perokok di Indonesia.
"Ke depannya (pemerintah) harus menaikkan cukai rokok sehingga harga rokok semakin tidak terjangkau," ujar Aryana dalam keterangan pers sama di Jakarta, seraya menambahkan bahwa penelitian yang telah dilakukannya menunjukkan jika harga rokok mencapai Rp60 ribu maka diperkirakan 60% perokok akan berhenti.
Ketua Umum Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia Ede Surya Darmawan menyebut pemerintah dapat menempuh siasat lain untuk mengurangi perokok aktif di Indonesia, yakni dengan memberlakukan perizinan khusus seperti alkohol.
"Kalau tidak berizin, dia melanggar aturan dan bisa dipidana karena itu barang berbahaya," kata Ede kepada BenarNews.
Dalam laporan Hari Tanpa Tembakau 2024, WHO memproyeksikan perokok berusia 15 tahun ke atas di Indonesia bakal meningkat pada 2030, saat prevalensi global justru diperkirakan menurun.
Perokok 15 tahun ke atas di Indonesia diperkirakan mencapai 38,7% pada 2030, dari sebelumnya 33,2% pada 2010. Adapun prevalensi global diproyeksikan turun ke 18,1% pada 2030, dari 26,4 persen pada 2010.
Defan Azmani, seorang pedagang warung kelontong di Cimanggis, Depok, Jawa Barat keberatan dengan rencana pemerintah melarang penjualan rokok eceran, dengan menyebut kebijakan itu akan mengurangi pendapatannya dan para pemilik warung kecil lain secara signifikan.
"Kalau mau benaran ngurangin rokok, ya, larang semuanya saja berjualan rokok," kata Defan kepada BenarNews, sembari mengklaim 70% pendapatan warungnya berasal dari penjualan rokok.
"Kalau dilarang (menjual rokok eceran), dari mana lagi pendapatan warung saya?"
BenarNews menghubungi Sekretaris Jenderal Aliansi Masyarakat Tembakau Indonesia (AMTI) Hananto Wibisono terkait kebijakan ini, tapi belum beroleh balasan.
Namun dalam keterangan pada 2023, saat rencana PP 2012 yang mengatur soal produk tembakau menyeruak, dia menuding langkah itu sebagai upaya mematikan ekosistem tembakau Indonesia.
Hal sama disampaikan Ketua Umum Perkumpulan Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (GAPPRI) Henry Najoan yang menyebut kebijakan itu sebagai penyisipan agenda asing untuk menghancurkan industri tembakau di Indonesia.
Dia merujuk pada pasal-pasal di PP yang lebih banyak mengatur perihal perdagangan dan industri, alih-alih soal kesehatan.
"Ruang lingkung lebih banyak mengatur bisnis rokok dan tembakau yang meliputi iklan, promosi, sponsor, dan lain-lain. PP 28/2024 ini melampaui kewenangannya atau over authority," kata Henry dalam keterangan tertulis diterima BenarNews.
"Semua jelas ke arah perdagangan dan penyisipan agenda asing untuk menghancurkan industri tembakau di Indonesia," ujarnya, seraya menambahkan bahwa peraturan bakal menyebabkan banyak produsen terutama kelas menengah kesulitan menyesuaikan diri, bahkan berpotensi gulung tikar.