Setelah kontroversi Tapera, krisis perumahan hantui generasi muda Indonesia

Upah naik rata-rata 3,1% per tahun sementara harga properti melonjak sekitar 5% secara kumulatif, menurut BP Tapera.
Ami Afriatni dan Arie Firdaus
2024.06.21
Jakarta
Setelah kontroversi Tapera, krisis perumahan hantui generasi muda Indonesia Kota Jakarta difoto dari udara pada 21 Desember 2023.
Bay Ismoyo/AFP

Ardhan Fikri, 29, tak mampu membayangkan kapan dia bisa memiliki rumah, mengingat harga properti terus menaik sementara gajinya sebagai seorang desainer grafis di perusahaan swasta di Jakarta tidak cukup untuk mencicil meski untuk hunian mungil di luar Jakarta.

“Harga rumah di dalam Jakarta sudah terlalu mahal untuk kemampuan keuangan saya saat ini. Kalau yang sesuai budget, itu sudah sangat jauh dari tempat kerja di Jakarta,” ujar Ardhan.

Seperti kebanyakan generasi milenial dan gen Z di Indonesia, Ardhan menghadapi kenyataan bahwa kenaikan upah minimum tidak sebanding dengan kenaikan indeks harga properti dan perumahan.

Upah naik rata-rata 3,1% per tahun sementara harga properti melonjak sekitar 5% secara kumulatif, menurut Badan Pengelola Tabungan Perumahan Rakyat (BP Tapera).

Tingginya permintaan dengan rendahnya ketersediaan perumahan layak menyebabkan harga rumah melambung tinggi, ungkap Kementerian Keuangan, membuat generasi muda seperti Ardhan, bersama 10 juta atau 13% rumah tangga lainnya,  terdampak backlog perumahan.

Isu krisis perumahan di Indonesia muncul menyusul kontroversi kebijakan pemerintah yang mengharuskan warga untuk ikut serta dalam Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) dengan memotong 2,5% dari pendapatannya.

Menurut Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), backlog adalah kondisi belum terpenuhinya jumlah unit perumahan yang dibutuhkan pada suatu kawasan atau wilayah tertentu.

Tapi bagi Ardhan, bukan soal jumlah unitnya yang kurang tapi kemampuan daya beli rumah yang rendah seperti dirinya, karena banyak rumah di perumahan tak berpenghuni atau belum terjual.

IMG_8145.JPG
Ardhan Fikri, 29, bekerja sebagai desainer grafis di Jakarta. [Ami Afriatni/BenarNews]

Pengalaman serupa juga dirasakan Cyntia Nuriska, 31. Pendapatannya sebagai pekerja lepas, yakni instruktur yoga sekaligus pemilik usaha kuliner kecil-kecilan cukup menyulitkan pengajuan kredit cicilan ke bank, baik untuk rumah subsidi maupun non-subsidi.

“Kriteria [dari bank] untuk ambil rumah harus memiliki pekerjaan tetap. Namun untuk freelance tidak bisa dicantumkan sebagai sumber pendapatan tetap.”

Menurut situs jual beli properti, Rumah123, harga termurah rumah 60 meter persegi di kota Solo, Jawa Tengah, Rp400 juta, sedangkan di Jakarta Rp1,6 miliar. Sementara upah minimum sebagian besar karyawan Indonesia adalah Rp5 juta.

Analis properti di Jakarta, Ali Tranghanda, mengatakan salah satu faktor yang menyebabkan kenaikan harga perumahan adalah tingginya harga tanah di pinggiran Jakarta, yang mencapai Rp12 juta per meter persegi, termahal di negara-negara Asia Tenggara.

Terus merangkaknya harga tanah, ujar Ali, membuat pengembang kesulitan untuk mengembangkan perumahan, khususnya untuk masyarakat berpenghasilan rendah. Akibatnya pasokan semakin terbatas di segmen ini. 

“Seharusnya pemerintah lebih melibatkan pemerintah daerah untuk urusan perumahan sehingga masing-masing pemda dapat mendata kebutuhan rumah di wilayahnya,” kata Ali kepada BenarNews.

Ali mengatakan seharusnya pemerintah dapat menahan kenaikan harga tanah melalui bank tanah – berfungsi melakukan pengelolaan, pengembangan, pengamanan dan pengendalian tanah – yang saat ini tidak berjalan. 

“Dengan bank tanah milik pemerintah, harga tanah seharusnya bisa dipatok sehingga ketersediaan rumah masyarakat berpenghasilan rendah terjamin,” tutur Ali, menambahkan bahwa harga yang terjadi merupakan mekanisme pasar yang tidak bisa dipatok. 

Menurut Kementerian PUPR, masyarakat berpenghasilan rendah adalah masyarakat dengan penghasilan maksimal senilai Rp7 juta untuk yang belum menikah dan maksimal senilai Rp8 juta untuk yang sudah kawin per 2023.

Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat, Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia (LPEM FEB UI) melaporkan salah satu faktor penyebab tingginya backlog perumahan adalah tingginya pertumbuhan penduduk dan urbanisasi.

Menurut LPEM, sekitar 66,6% dari total penduduk Indonesia yang berjumlah 270 juta jiwa akan tinggal di wilayah perkotaan pada tahun 2035, yang akan mengakibatkan meningkatnya permintaan perumahan di sekitar kota-kota besar.

WhatsApp Image 2024-06-21 at 17.27.41_ad438c42.jpg
Cyntia Nuriska, seorang instruktur yoga, tengah berlatih dalam sebuah sesi di Jakarta. [Ami Afriatni/BenarNews]

Peneliti senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Tauhid Ahmad, menambahkan kenaikan permintaan yang tinggi juga menjadi penyebab harga rumah semakin mahal, terutama di Jakarta.

“Jakarta kan sumber keuangan. Putaran ekonomi sangat tinggi. Demand tinggi, otomatis harga tanah akan tambah mahal,” kata Tauhid kepada BenarNews.

Jadi, hanya mereka yang kaya dan berpenghasilan tinggi yang bisa membeli rumah di Jakarta.”

Ali mengatakan – meski ditolak publik – secara konsep Tapera dapat menjadi sumber dana murah bagi pembiayaan rumah, yang akhirnya bisa menurunkan backlog perumahan saat ini. Namun, Tapera harus dapat diterima oleh masyarakat terlebih dahulu terkait juga tata kelolanya. 

“Karena saat ini masyarakat tidak terlalu percaya dengan pengumpulan dana seperti yang terjadi Taspen, Jiwasraya, dan Asabri,” kata Ali.

Tauhid menambahkan bahwa pemerintah mestinya memperhatikan sejumlah hal, jika Tapera ingin berhasil. Pertama, hanya masyarakat berpenghasilan rendah yang dapat manfaat Tapera, sementara kelompok menengah tidak dapat. 

“Jadi tidak ada asas berkeadilan bagi masyarakat di luar berpenghasilan rendah, padahal mereka kena potong juga,” tukasnya.

Kedua, ketersediaan hunian juga harus variatif, yaitu tidak berupa rumah tapak saja, tapi juga rumah susun yang maksimal. Misalnya berjarak 30 menit dari lokasi bekerja.

“Hal ini sudah dicoba di China dan tergolong berhasil,” ujarnya.

Dari dana yang dikumpulkan Tapera, kata Tauhid, pemerintah harus memanfaatkannya untuk membeli lahan-lahan besar yang dekat dengan pusat ekonomi dan transportasi publik.

“Tinggal disambungkan dengan transportasi publik. Skema dana abadi untuk bank tanah juga harus ada,” ujar Tauhid.

Namun karena luasnya penolakan kebijakan Tapera, pemerintah menunda pelaksanaan Tapera, dari yang sebelumnya tahun ini, menjadi paling lambat tahun 2027. 

 “Masih ada waktu untuk batas waktu pemberlakuan bagi pekerja swasta sampai tahun 2027,” kata Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko. 

“Selain itu, juga membangun sistem pengawasan pengelolaan keuangan untuk menjamin dana dikelola dengan baik , akuntabel dan transparan.”

Tampaknya hasrat Ardhan untuk memiliki rumah – meski harus tertunda – akan segera terwujud, dengan catatan pemerintah mampu membenahi sistem pasar yang memicu spekulasi harga tanah dan properti.

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.