KPK Tangkap Mantan Sekretaris MA Nurhadi, Buronan Dugaan Suap Rp46 M
2020.06.02
Jakarta

Setelah hampir empat bulan berstatus buron untuk kasus dugaan suap dan gratifikasi, mantan Sekretaris Mahkamah Agung (MA) Nurhadi ditangkap oleh tim penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di Jakarta, demikian kata pejabat komisi antirasuah pada Selasa (2/6).
Sementara itu, Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron menyatakan kasus yang menjerat Nurhadi juga berpeluang untuk dikembangkan ke tindak pidana pencucian uang (TPPU).
Nurhadi bersama Rezky Herbiyono, menantu yang juga tersangka kasus dugaan suap dan gratifikasi perkara di MA selama tahun 2011-2016, ditangkap penyidik KPK di salah satu kediaman mereka di Jakarta Selatan, Senin (1/6), kata Wakil Ketua KPK, Nurul Ghufron, dalam keterangan pers.
“Pada 1 Juni 2020, sekitar pukul 18.00, tim penyidik KPK mendapat informasi dari masyarakat mengenai keberadaan dua tersangka berstatus DPO (Daftar Pencarian Orang) di rumah di Jl. Simprug Golf, Kebayoran Lama,” kata Ghufron, seraya menjelaskan kedua tersangka masuk DPO sejak 13 Februari.
Kedua tersangka, sambung Ghufron, sempat bersikap tidak kooperatif dengan tidak membuka pintu rumah dan mengizinkan penyidik KPK melakukan penggeledahan. “KPK koordinasi dengan RT setempat untuk buka paksa agar disaksikan,” sambungnya.
Selain dua tersangka, tim KPK juga mengamankan istri Nurhadi, Tin Zuraida, untuk diperiksa sebagai saksi.
“Statusnya sebagai saksi. Kenapa dibawa? Ketentuan hukum acara pidana, terhadap orang yang dipanggil secara sah dua kali berturut-turut tidak hadir maka panggilan selanjutnya dengan perintah untuk membawa,” kata Ghufron.
Tin Zuraida, berprofesi sebagai staf ahli di Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PAN-RB), ikut menghilang setelah suami dan anak menantunya itu ditetapkan sebagai buronan.
KPK menetapkan Nurhadi dan Rezky sebagai tersangka penerima suap dan gratifikasi senilai Rp46 miliar pada 16 Desember 2019. Suap diduga diberikan oleh Direktur PT Multicon Indrajaya Terminal (MIT) Hiendra Soenjoto untuk memenangkan sejumlah kasus perdata yang melibatkan perusahaannya, kata KPK.
KPK mengatakan penyidik masih akan terus mencari keberadaan Hiendra yang juga menghilang setelah ditetapkan sebagai tersangka pemberi suap pada pertengahan Desember 2019.
Jerat pencucian uang
Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron mengatakan kasus yang menjerat Nurhadi sangat terbuka untuk dikembangkan ke Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU).
“Kalau ternyata dugaan hasil tindak pidana korupsinya disamarkan, disembunyikan atau apapun caranya supaya tidak kelihatan, maka itu bagian dari tindak pidana pencucian uang,” kata Ghufron.
Nurhadi dan Rezky akan menjalani serangkaian pemeriksaan selama penahanan di rumah tahanan KPK hingga 20 hari ke depan.
Nurhadi dan istri telah menjadi pegawai negeri sipil (PNS) di lingkungan MA sejak awal tahun 1980an. Nurhadi diketahui lama menjadi Kepala Biro Hukum dan Humas, sedangkan Tin lama berkiprah di Pusdiklat MA, demikian catatan lembaga hukum tinggi tersebut.
Berdasarkan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) yang terakhir kali dilaporkan Nurhadi pada 2012, disebutkan PNS ini memiliki total harta kekayaan hingga Rp33 miliar.
Beberapa di antaranya adalah kepemilikan empat mobil mewah merek Toyota Camry, Lexus, MINI Cooper, dan Jaguar. Selain itu, Nurhadi juga memiliki batu mulia setara Rp8,6 miliar, logam mulia senilai Rp500 juta, dan harta bergerak lainnya mencapai Rp11 miliar.
Untuk rumah dan bangunan, totalnya mencapai Rp7,3 miliar. Salah satu kediaman mewahnya yang sempat ramai jadi perbincangan publik adalah di Jalan Hang Lekir V Nomor 2 sampai 6, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan.
Pada salah situs jual beli rumah, kediaman tersebut ditaksir dengan harga Rp40-50 miliar. Sementara, KPK mengkonfirmasi Nurhadi memiliki sedikitnya 13 rumah di DKI Jakarta, Jawa Barat, hingga Jawa Timur.
Karier Nurhadi terhenti pada 2016, saat kasus jual beli perkaranya terbongkar. Dalam kasus tersebut, Nurhadi melalui Rezky diduga telah menerima suap dan gratifikasi dengan nilai mencapai Rp46 miliar dari tersangka Hiendra.
Wakil Ketua KPK Ghufron menyatakan hingga saat ini pihaknya belum melakukan penyitaan terhadap harta milik mantan pejabat negara ini.
“Prosesnya masih penggeledahan, belum sampai penyitaan. Kalau sudah sampai di dalam pengembangan dan pemeriksaan berkaitan dengan korupsi, nanti kami akan sita,” ucapnya.
Nurhadi dan Rezky sama-sama disangkakan melanggar Pasal 12 UU tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Novel Baswedan
Sementara itu, penyidik senior KPK, Novel Baswedan, disebut menjadi bagian dari tim penyidik yang menggeledah rumah Nurhadi.
“Mas Novel ada dalam tim tersebut. Apakah dia kasatgasnya (ketua satgas) atau bukan, saya belum dapat laporan,” kata Ghufron.
Sementara, mantan Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto meyakini Novel memimpin langsung operasi itu.
“Kendati matanya dirampok penjahat yang “dilindungi”, tapi mata batin, integritas dan keteguhannya tetap memukau. Ini baru keren,” kata Bambang, melalui akun Twitternya, Selasa.
April 2017, Novel disiram air keras oleh dua orang tak dikenal yang mengakibatkan luka bakar di kedua matanya.
Kuasa hukum meyakini insiden tersebut berhubungan dengan perkara yang tengah ditangani Novel saat itu. Hingga saat ini kasus Novel belum selesai disidangkan.
Pihak pembantu
Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Kurnia Ramadhana yang memuji kerja KPK yang telah berhasil menangkap tersangka Nurhadi, mengingatkan KPK juga harus mengenakan tuduhan merintangi hukum bagi pihak-pihak yang terbukti membantu pelarian Nurhadi.
“Mustahil jika dikatakan pelarian ini tanpa adanya bantuan dari pihak lain,” kata Kurnia tanpa merujuk pihak mana yang dimaksudnya.
Penangkapan Nurhadi dan Rezky merupakan mengembangan dari operasi tangkap tangan (OTT) KPK pada tahun 2016 terhadap Panitera Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Edy Nasution dan mantan Presiden Komisaris PT Lippo Group Eddy Sindoro.
“Dalam dakwaan Eddy Sindoro, nama Nurhadi sempat muncul karena komunikasi yang dilakukan dengan Edy Nasution,” ucap Kurnia.
Eddy divonis hukuman empat tahun penjara pada Maret 2019, karena terbukti memberikan uang Rp150 juta dan 50.000 dolar AS kepada Edy Nasution. Adapun vonis untuk Edy Nasution adalah 5 ½ tahun penjara karena terbukti menerima suap dari pihak berperkara di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.