KPAI Kutuk Pembunuhan Gadis di Sulsel karena 'Bawa Aib’
2020.05.13
Palu dan Jakarta
Komisi perlindungan anak dan aktivis hak perempuan mengecam pembunuhan gadis 16 tahun asal Bantaeng, Sulawesi Selatan, oleh tersangka kedua kakak laki-lakinya, karena dianggap membawa aib kepada keluarga setelah dia mengaku berhubungan seks dengan sepupunya.
Rosmini dibunuh dengan menggunakan parang dan tombak oleh kakak pertamanya, Rahman bin Darwis (30) dan kakak keempatnya, Suprianto bin Darwis (20) di kediaman mereka di Desa Pattaneteang, Kecamatan Tompobulu, Kabupaten Bantaeng pada Sabtu (9/5) pagi, kata Kabid Humas Polres Bantaeng, Sandri Ersha.
“Korban sebelum dibunuh mengaku kalau pernah berhubungan badan dengan Usman yang masih sepupu dengan korban. Keluarga merasa malu, makannya kedua kakaknya membunuh korban,” kata Sandri kepada BenarNews.
“Jadi awalnya keluarganya ini menduga Rosmini diguna-guna, karena tidak ada laki-laki yang mau nikah sama dia. Lalu tak lama Rosmini seperti orang kesurupan dan tiba-tiba melantur bilang dia pernah pacaran sama Usman itu,” kata Sandri.
Hasil visum kepolisian tidak menemukan adanya tanda pemerkosaan pada jenazah Rosmini, ujar Sandri.
Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mengecam keras pembunuhan itu dan meminta kepolisian untuk memberikan hukuman maksimal kepada pelaku.
Kekerasan tidak bisa dibenarkan
Komisioner KPAI Bidang Hak Sipil dan Partisipasi Anak, Jasra Putra, menekankan atas nama adat manapun, pembunuhan adalah hal yang tidak bisa dibenarkan dan oleh karenanya hukum pidana tetap harus ditegakkan.
“Kekerasan tentu berbeda dengan menegakkan kehormatan keluarga. Kami minta kepolisian memberikan hukuman maksimal, seumur hidup, kepada pelaku pembunuhan,” kata Jasra kepada BenarNews.
Setelah membunuh Rosmini, keluarga lalu menahan tiga orang pria yang kebetulan melintas di depan rumah panggung tersebut, termasuk Usman (45) yang diklaim pernah menjalin hubungan dengan korban, kata Sandri.
Setelah negosiasi dua jam dengan polisi, keluarga akhirnya membebaskan ketiga orang itu, yang mengalami luka-luka karena senjata tajam, kata Sandri.
Walaupun berhubungan seks dengan anak yaitu mereka yang berada di bawah 18 tahun dilarang berdasarkan hukum Indonesia, hubungan badan yang diduga dilakukan antara Usman dan korban yang masih di bawah umur tidak masuk dalam penyidikan petugas karena penyidik hanya fokus kepada kasus pembunuhan, demikian kata Sandri.
“Hubungan badan yang disampaikan korban sehingga menjadi pemicu korban dibunuh oleh dua kakak kandungnya hanya sebagai motif. Untuk kami menyidik itu tidak bisa karena tidak ada bukti dan saksi-saksi,” tegas Sandri.
Ia menambahkan bahwa Usman tidak ditahan karena bukan tersangka.
“Usman malah menjadi korban penganiyaan keluarga korban. Makanya kami kembangkan terus kasusnya untuk mengejar tersangka lainnya,” tandas Sandri.
Kapolres Bantaeng, AKBP Wawan Sumantri, mengatakan dua kakak korban telah ditahan dan ditetapkan sebagai tersangka.
“Saat ini penyidik masih melakukan penyelidikan dan melakukan pemeriksaan-pemeriksaan lanjutan,” terangnya kepada BenarNews.
Kedua tersangka dikenakan pasal Undang-undang Perlindungan Anak dan terancam hukuman mati jika terbukti bersalah, kata Wawan.
Selain itu, pemeriksaan kejiwaan kepada seluruh keluarga korban menunjukan mereka tidak mengalami gangguan psikis, ujarnya.
Belum jelas
Kepala Dinas Bidang Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) di Bantaeng, Sitti Ramlah mengatakan sampai saat ini pihak keluarga belum bisa memberikan keterangan yang jelas terkait kronologi kejadian penganiayaan yang berujung pada pembunuhan tersebut.
“Keluarga lainnya masih sering histeris. Ibu kandung Rosmini juga kata dokter mengalami depresi karena kejadian ini. Jadi kami belum bisa menggali lebih dalam,” kata Sitti melalui sambungan telepon.
Siri
Sunyoto Usman, sosiolog dari Universitas Gadjah Mada, mengatakan kepercayaan untuk melakukan pembunuhan karena ada yang dianggap membuat aib keluarga atau siri masih kuat dipelihara oleh orang-orang keturunan Bugis-Makassar.
“Ketika terjadi hubungan di luar pernikahan, perselingkuhan dan sebagainya, itu disebut sebagai siri atau memalukan keluarga besar,” ujarnya.
Namun, pembunuhan karena siri saat ini sudah jarang terjadi.
Biasanya, orang yang melakukan pembunuhan siri akan melapor dan menyerahkan diri, karena pembunuh tersebut mendapatkan penghormatan karena dinilai telah memelihara martabat keluarga.
Komisioner Komisi Nasional (Komnas) Perempuan, Siti Aminah Tardi, menyebut siri sebagai adat yang menempatkan perempuan sebagai simbol moralitas yang rentan menjadi sasaran kesalahan.
“Padahal kan sebenarnya konteks zina ini belum terungkap. Apakah memang si anak ini dengan [sepupunya] ini pacaran atau mendapatkan kekerasan seksual?” kata Siti merujuk pada kasus Rosmini.
Selain persoalan adat, Siti menekankan bahwa insiden ini merupakan kekerasan berbasis gender yang harus dihentikan.
Begitu pula jika memang terbukti benar terjadi pemerkosaan, maka hukum pidana tetap harus dijatuhkan kepada pelaku sesuai dengan Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
“Bahwa budaya siri ya itu harus dipelihara, tapi mungkin kita harus memberikan interpretasi baru terhadap konsep budaya itu,” tukasnya.
Jasra dari KPAI mengakui, kasus kekerasan terhadap anak yang terkait dengan adat masih sering terjadi di Indonesia. Kasus yang paling sering adalah pernikahan di bawah umur karena desakan keluarga untuk menghindari perbuatan zina.
“Kasus-kasus kekerasan anak dengan alasan adat itu masih banyak terjadi, termasuk di Bantaeng itu sering sekali terjadi pernikahan anak. Negara memang masih gagal mencegah kasus-kasus seperti ini,” kata Jasra.
Menurut data KPAI, sepanjang 2011 sampai 2019, telah terjadi 1.728 kekerasan terhadap anak dengan motif agama dan budaya.