Polisi temukan enam mayat lagi korban serangan kelompok separatis Papua

Serangan tersebut merupakan insiden terburuk sejak Desember 2018, ketika pemberontak membunuh 19 pekerja konstruksi jalan dan seorang tentara.
Pizaro Gozali Idrus
2023.10.27
Jakarta
Polisi temukan enam mayat lagi korban serangan kelompok separatis Papua Aparat polisi mengevakuasi korban serangan kelompok separatis Papua di Kali I, Distrik Dekai, Kabupaten Yahukimo, Provinsi Papua Pegunungan pada Jumat, 27 Oktober 2023.
Handout: Satuan Tugas Damai Cartenz

Polisi mengatakan pada Jumat bahwa mereka telah menemukan enam mayat warga sipil yang tewas dalam serangan bulan ini yang diklaim dilakukan oleh pemberontak separatis Papua, sehingga jumlah korban tewas dalam insiden tersebut menjadi 13 orang.

Para korban termasuk sekelompok penambang emas non-Papua yang diduga diserang oleh pemberontak Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB) pada 16 Oktober di Kabupaten Yahukimo, provinsi Papua Pegunungan.

Jenazah yang membusuk ditemukan dalam operasi pencarian gabungan polisi dan TNI pada Jumat pagi, menyusul laporan warga Sulawesi Selatan yang sedang mencari kerabatnya yang hilang, Kapolres Yahukimo Heru Hidayanto.

“Kami berhasil menemukan enam jenazah lagi, namun cukup jauh dari lokasi awal kami menemukan [tujuh jenazah] pada 16 Oktober 2023,” ujarnya dalam keterangannya, Jumat (27/10).

AKBP Bayu Suseno, juru bicara Satuan Tugas Damai Cartenz, satuan tugas gabungan polisi-militer yang menangani pemberontakan di Papua, mengatakan dia tidak tahu berapa banyak orang yang masih hilang.

“Tapi kami akan melakukan pencarian lagi dalam beberapa hari ke depan,” kata Bayu kepada BenarNews.

Serangan tersebut merupakan insiden terburuk sejak Desember 2018, ketika pemberontak membunuh 19 pekerja konstruksi jalan dan seorang tentara.

Satuan tugas mengatakan sebagian besar korban adalah penambang emas dari Sulawesi Selatan dan satu dari Sumatra Utara.

Satuan tugas mengungkapkan bahwa pemimpin penyerangan, Asbak Koranue, adalah bagian dari faksi TPNPB yang dipimpin oleh Egianus Kogoya, yang telah menyandera pilot Selandia Baru sejak Februari di Kabupaten Nduga, Papua.

Kepala Kantor Perwakilan Komnas HAM Papua Frits Ramandey mengatakan bahwa dirinya belum dapat berkomentar soal temuan ini seraya berupaya mendapatkan informasi lebih lengkap.

“Saya belum monitor,” ucapnya kepada BenarNews.

Upayakan dialog

BenarNews telah menghubungi Theo Litaay, tenaga ahli Kantor Staf Presiden untuk isu Papua, perihal usulan dialog pemerintah kepada kelompok separatis Papua, namun ia enggan berkomentar lebih jauh.

“Sudah ditangani aparat Polri. Kita percayakan,” jelasnya kepada BenarNews.

Peneliti Badan Riset dan Inovasi Nasional soal Papua Cahyo Pamungkas mendukung ide dialog antara pemerintah dengan kelompok separatis Papua, baik formal maupun informal.

“Sebetulnya keinginan pemerintah untuk berdialog itu telah ada dari dulu tapi belum pernah dilakukan, mungkin secara lisan atau gimmick saja,” jelas Cahyo kepada BenarNews.

Dialog itu, kata Cahyo, perlu melahirkan solusi permanen yang dimediasi pihak ketiga. Namun sayangnya, saat ini, Indonesia sedang menghadapi pemilihan presiden dan kemungkinan dialog itu tidak menjadi agenda dari pemerintah untuk saat ini.

“Namun agenda dialog mengenai konflik Papua harus ditawarkan kepada setiap capres dan cawapres. Karena kita belum tahu pandangan dari Prabowo, Ganjar, dan Anies soal Papua,” ujar Cahyo.

Juru bicara TPNPB Sebby Sambom tidak menanggapi permintaan komentar dari BenarNews.

Sambom mengatakan kepada BenarNews pada 17 Oktober bahwa kelompoknya telah membunuh tujuh penambang emas ilegal di Yahukimo yang merupakan “informan militer” dan mendesak para migran dari daerah lain di Indonesia untuk meninggalkan daerah konflik.

Konflik yang sudah berlangsung lama Ketegangan telah muncul selama bertahun-tahun di Papua, wilayah pegunungan dan tertinggal di bagian paling timur nusantara, karena adanya pemukiman sejumlah besar orang dari daerah lain di Indonesia sebagai bagian dari program transmigrasi pemerintah.

Kekerasan antara pasukan keamanan Indonesia dan pemberontak separatis telah meningkat dalam beberapa tahun terakhir.

Papua dulunya adalah koloni Belanda yang diserahkan ke Indonesia pada tahun 1963 berdasarkan perjanjian yang ditengahi PBB.

Pada tahun 1969, di bawah pengawasan PBB, Indonesia mengadakan referendum di Papua yang dianggap curang. Hanya sekitar 1.000 orang yang diperbolehkan memilih dan mereka dilaporkan dipaksa untuk memilih bergabung dengan Indonesia.

Kelompok hak asasi manusia menuduh kedua belah pihak melakukan kekejaman dan pelanggaran hak asasi manusia.

Usman Hamid, direktur eksekutif Amnesty International di Indonesia, mengatakan pemerintah harus segera berbicara dengan kelompok pro-kemerdekaan di Papua untuk mengakhiri kekerasan di sana.

Dia mengatakan United Liberation Movement for West Papua, sebuah koalisi separatis, juga baru-baru ini menyerukan dialog untuk menyelesaikan masalah tersebut.

“Permusuhan harus dihentikan. Harus ada gencatan senjata. Dan jeda kemanusiaan untuk menangani pengungsian,” kata Usman kepada BenarNews.

Dia juga mengatakan bahwa menyalahkan Tentara Pembebasan atas pembunuhan tersebut tidaklah cukup dan mendesak pihak berwenang untuk membawa kasus pidana terhadap mereka yang merugikan warga sipil di Papua ke pengadilan.

“Dengan begitu polisi bisa yakin siapa pelakunya,” ujarnya.

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.