50 keluarga korban gagal ginjal akut gugat pemerintah dan perusahaan
2022.12.01
Jakarta
Puluhan keluarga korban yang meninggal dan sakit pasca mengonsumsi sirop obat batuk tercemar telah mengajukan gugatan kepada pemerintah dan perusahaan yang diduga memasok produk tersebut, kata kuasa hukum penggugat pada Kamis (1/12).
Ketua Tim Advokasi untuk Kemanusiaan, Awan Puryadi, mengungkapkan sekitar 50 orang keluarga korban atau pasien telah sepakat memberikan kuasa kepada pihaknya untuk mengajukan gugatan kelompok atau class action.
“Sidang perdana seharusnya akan dilakukan 13 Desember tapi karena ada penambahan jumlah pemberi kuasa bertambah, maka kemungkinan ditunda sampai waktu tertentu,” kata Awan kepada BenarNews, menambahkan bahwa gugatan telah diajukan 18 November lalu.
Menurut Awan, gugatan class action itu menargetkan Kementerian Kesehatan, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) dan tujuh perusahaan yang terlibat dalam penjualan sirop yang mengandung dua senyawa pelarut beracun yang digunakan dalam produk obat.
Awan mengatakan bahwa mereka mengambil tindakan tersebut karena pemerintah gagal mencegah penjualan obat-obatan yang mengandung senyawa berbahaya yang mengakibatkan kematian atau cedera pada anak.
“Karena BPOM punya kewenangan mengawasi kandungan obat. Ternyata tidak ada pengujian cemaran juga,” kata Awan.
Dia menambahkan bahwa Kementerian Kesehatan seharusnya menerapkan protokol untuk melarang penggunaan senyawa beracun, yakni, Ethylene glycol (EG), Diethylene glycol (DEG), dan Ethylene glycol butyl ether (EGBE).
Indonesia mengalami lonjakan kasus gagal ginjal akut sejak Agustus, dengan kematian sedikitnya 199 orang, kebanyakan anak-anak, mendorong penyelidikan dan larangan penjualan obat cair.
"Belum ada yang mengaku bertanggung jawab. Mereka (para korban) sangat kecewa dengan situasi saat ini," kata Awan.
Awan menyatakan pemerintah dan juga perusahaan farmasi harus bertanggung jawab dan memberikan ganti kerugian yang layak bagi para korban. Pasalnya, hingga saat ini, masih banyak korban yang mengalami masalah kesehatan karena masalah gagal ginjal akut ini.
"Kami menilai bahwa selain Kemenkes (Kementerian Kesehatan) dan BPOM, produsen obat dan pemasok bahan juga harus ikut bertanggung jawab. Itulah mengapa ada sembilan pihak yang menjadi tergugat dalam gugatan ini yang terdiri dari unsur pemerintah dan swasta," kata dia.
Awan mengungkapkan tujuh perusahaan yang digugat, yaitu PT Afi Farma Pharmaceutical Industry, PT Universal Pharmaceutical Industry, PT Tirta Buana Kemindo, CV Mega Integra, PT Logicom Solution, CV Budiarta, dan PT Megasetia Agung Kimia.
Selain perdata, Awan menyatakan bahwa sangat memungkinkan mereka juga mengajukan gugatan pidana terhadap para pihak yang saat ini belum dijerat oleh Badan Reserse Kriminal Polri.
Namun, dia mengatakan saat ini korban masih fokus di gugatan class action dan mendesak agar perawatan intensif terus dilakukan hingga pasien pulih.
Keluarga menuntut kompensasi sekitar Rp2 miliar untuk setiap orang yang meninggal dan sekitar Rp1 miliar untuk setiap orang yang sakit, kata Awan mengutip pengacara mereka.
Menurut Awan, polisi juga telah melakukan penyelidikan terhadap setidaknya tiga perusahaan yang izin produksi obat siropnya dibekukan sementara.
Kejadian luar biasa
Awan juga mendesak pemerintah menetapkan kasus gagal ginjal akut anak sebagai kejadian luar biasa (KLB) untuk memudahkan pembiayaan penanganan kasus ini.
“Kalau dengan status KLB maka pemerintah wajib membiayai para korban dan wajib membuka data seluas-luasnya kepada publik atas penyebab gagal ginjal akut ini,” kata Awan.
“Tapi kenapa pemerintah tidak menetapkan status KLB mungkin takut terbongkar soal penggunaan senyawa yang seharusnya tidak digunakan dalam obat ini?”
Berdasarkan data Kementerian Kesehatan awal November, total kasus gagal ginjal akut mencapai 323 dengan 190 korban di antaranya meninggal dunia.
Awan mengatakan bahwa hampir seluruh korban yang meninggal ini akibat dari pemberian resep obat dari dokter melalui fasilitas BPJS.
“Kecuali ada satu korban yang bukan dari pemberian resep obat BPJS,” ungkap Awan.
Sebelumnya, Ombudsman Republik Indonesia (ORI) menilai pemerintah gagal melindungi masyarakat dalam kasus gagal ginjal akut terhadap anak-anak itu.
Pimpinan ORI, Robert Na Endi Jaweng, menilai ada potensi kesalahan administrasi yang dilakukan Kementerian Kesehatan dan BPOM karena kasus ini sudah terjadi sejak Januari lalu namun baru mendapatkan perhatian serius beberapa bulan belakangan.
Atas ketiadaan data, kata Robert, Kementerian Kesehatan tidak dapat melakukan sosialisasi berupa pemberian informasi kepada publik terkait penyebab dan antisipasi gangguan ginjal akut.
Pizaro Gozali Idrus berkontribusi pada laporan ini.