Korban Bom JW Marriott Setelah 13 Tahun Berlalu
2016.08.08
Jakarta
Didik Hariyono (41) sumringah, Sabtu siang, 6 Agustus 2016, saat bertukar lelucon dengan Thamin, pria yang hampir satu dekade tak ditemuinya.
Sesekali, dia menggaruk kulit punggung tangan dan dahinya yang berkerut dan berbeda warna dibanding beberapa bagian tubuh lainnya.
“Masih terasa gatal, padahal sudah lama sembuh,” ujar Didik.
Kulit bekas luka bakar itu bukti kisah kelam yang pernah dialami Didik, 13 tahun silam.
Hari itu, 5 Agustus 2003 lalu, staf personalia di sebuah perusahaan jasa itu berjalan kembali ke kantornya di Menara Rajawali, usai makan siang di bilangan Mega Kuningan.
Saat melewati bagian depan Hotel JW Marriott, dentuman kuat melemparnya sejauh 50 meter. Ledakan itu tak hanya menghancurkan mobil-mobil dan bagian depan hotel, tapi juga membakar tubuh Didik.
“Saya berteriak-teriak dan berlarian tak tentu arah dengan api di tubuh Saya,” tuturnya kepada BeritaBenar.
Di situlah, Didik bertemu Thamin, yang sedang mengantar dua majikannya yang juga jadi korban ledakan, Dwi Welasih dan adiknya, Dini.
“Belum reda kaget akibat ledakan, tiba-tiba ada orang berlari di depan mobil dengan api di badannya. Saya suruh dia berguling-guling supaya apinya padam,” ujar Thamin.
“Seperti adegan bintang film Hollywood ya, Mas?” gurau Didik, disambut tawa Thamin.
Lelaki yang lari itulah Didik. Dia berguling di tanah, sesuai perintah Thamin. Api yang membakar tubuhnya padam, tapi sebagian tubuhnya menderita luka parah dan membekas hingga kini.
“Ini pertama kali kembali bertemu Mas Didik setelah sembilan tahun lamanya,” ungkap Thamin.
Dua belas orang tewas di tempat dan lima orang lainnya meninggal dunia kemudian serta sedikitnya 150 lainnya luka-luka akibat tragedi itu. Kelompok radikal Jamaah Islamiyah, yang berafiliasi dengan Al-Qaeda, bertanggung jawab atas serangan bom bunuh diri yang didetonasi dari sebuah mobil di luar lobi hotel itu.
Hotel Marriott kembali menjadi sasaran bom bunuh diri pada 17 Juli 2009 ketika terjadi serangan bom di hotel tersebut dan hotel Ritz-Carlton di Mega Kuningan Jakarta yang menewaskan 9 orang dan sedikitnya 50 orang luka-luka.
Setahun di rumah sakit
Didik harus dirawat di Rumah Sakit Pusat Pertamina (RSPP) selama setahun. Dua pekan dia koma di ruang isolasi luka bakar.
“Tubuh saya dibalut seperti mumi. Yang tak terbakar hanya punggung. Tangan kanan saya patah,” ujar Didik, “saya hampir seperti lurah di RSPP karena paling lama dirawat di sana.”
Meski menjalani perawatan intensif, Didik menyanggupi permintaan dokter untuk menasihati dan menyemangati korban luka bakar lain, baik akibat ledakan bom maupun kecelakaan kerja.
Ujian lain melanda saat dia mengetahui perusahaan tempatnya bekerja tidak membayarkan jaminan kesehatan, sehingga Didik sempat kesulitan membayar tagihan-tagihannya. Untung pemerintah menjamin pengobatan para korban bom dan ada juga bantuan beberapa yayasan kemanusiaan.
Didik harus dioperasi plastik 20 kali untuk memulihkan bekas luka bakarnya selama tiga tahun berikutnya.
“Tubuh saya sempat mengalami atropi, massa otot menyusut akibat setahun hanya terbaring di kasur,” ujarnya.
Pulang kampung
Didik memutuskan kembali ke rumah orang tuanya di Kediri, Jawa Timur, empat tahun setelah kejadian. Selama di kampung halamannya, dia mengaku enggan pergi kemana-mana.
“Kalau jalan-jalan harus ditemani kakak saya. Masih ada perasaan was-was,” tukasnya.
Setahun kemudian, ia memberanikan diri melakukan perjalanan ke luar kota, termasuk ke Jakarta.
“Saya sempat takut naik pesawat. Takut jatuh,” ujarnya.
Didik sempat mencoba usaha ternak sapi saat di kampung dengan berbekal modal dari donator, namun tidak bertahan lama.
“Ketika waktunya panen, harga sapi jatuh. Saya bangkrut. Luar biasa ya pengaruh kartel daging itu,” keluhnya.
September lalu, Didik dipercaya menjadi petugas teknologi informasi untuk membantu kampungnya mengelola dana desa, sebuah program pemerintah untuk percepatan pembangunan desa.
Para korban dan keluarga mereka melakukan foto bersama pada peringatan 13 tahun bom JW Marriott di Jakarta, 6 Agustu 2016. (Zahara Tiba/BeritaBenar)
13 Tahun berlalu
Sabtu lalu, Didik bersama 30-an korban lain menghadiri peringatan 13 tahun pemboman JW Marriott.
Acara yang diprakarsai Yayasan Penyintas Indonesia (YPI) itu digelar di kawasan Kebayoran Baru - Jakarta, diwarnai dengan temu kangen sesama korban, shalat Dzuhur, siraman rohani, santap siang, dan pembagian santunan.
Dalam sesi siraman rohani dan testimoni, beberapa janda korban terlihat tidak sanggup membendung air mata mereka. Apalagi, ini adalah pertemuan pertama yang mereka gelar sejak tragedi itu.
“Penyintas adalah mereka yang berhasil melintasi kejadian, mengubah hidup mereka. Semoga semua tetap semangat dan ini dilaksanakan untuk memperkuat persaudaraan kita,” ujar Ketua Umum YPI, Sucipto Hari Wibowo.
Syafiq Syeirozi dari Aliansi Damai Indonesia, organisasi nirlaba dengan visi membangun Indonesia damai melalui peran korban terorisme dan bekas pelaku, mengatakan penyintas telah berkontribusi terhadap revisi Undang-Undang Antiterorisme dengan memperjuangkan hak-hak korban yang selama ini diabaikan pemerintah.
“Suara korban sangat kuat dan diperlukan demi Indonesia yang damai. Suara korban tak diwakilkan, naturalitasnya mampu merontokkan niat buruk yang ingin mengacaukan perdamaian di negeri ini,” ujarnya.
Bagi Didik, peristiwa pemboman itu telah mengubah hidupnya.
“13 tahun, ambil hikmahnya saja. Mungkin membuat saya jadi orang bersabar, pandai bersyukur,” ujarnya.
“Saya siap jika ada program bertemu pelaku bom. Saya akan kasih tahu bahwa korban perbuatan mereka bukan orang lain, tapi saudara sendiri. Saya sudah maafkan mereka.”