Korban Tewas Banjir Sulsel Bertambah Menjadi 30 Orang
2019.01.24
Jakarta
Jumlah korban tewas akibat banjir dan longsor yang menerjang Sulawesi Selatan (Sulsel) bertambah menjadi 30 orang, sementara 25 lainnya dinyatakan hilang.
Kepala Pusat Data Informasi dan Humas Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Sutopo Purwo Nugroho dalam siaran pers yang diterima BeritaBenar, Kamis, 24 Januari 2019, merincikan korban meninggal terbanyak terdapat di Gowa yaitu 16 orang, dengan 21 warga hilang dan 46 luka-luka.
Korban tewas lain terdapat di Kabupaten Jeneponto yaitu 10 orang, tiga warga hilang dan empat orang ditemukan meninggal dunia di Kabupaten Maros serta seorang warga hilang di Kabupaten Pangkep.
Sutopo menjelaskan sebanyak 5.825 warga terdampak dan 3.321 lainnya terpaksa harus mengungsi akibat banjir yang menerjang 52 kecamatan di 10 kabupaten dan kota di Sulsel.
Banjir yang diakibatkan tingginya curah hujan juga telah membuat 76 rumah rusak, 2.694 lainnya terendam dan 11.433 hektar sawah terendam serta sejumlah fasilitas publik rusak, katanya.
Sutopo menyebutkan, penanganan darurat masih terus dilakukan. Tim gabungan BPBD, TNI, Polri, Basarnas, Kementerian/Lembaga, BNPB, PMI, relawan, NGO dan masyarakat terus bekerja.
“BNPB terus mendampingi BPBD dalam penanganan darurat,” ujarnya. “Bantuan logistik juga dikirimkan.”
Gubernur Sulawesi Selatan, Nurdin Abdullah, mengaku pihaknya sudah bekerja maksimal untuk membantu warga terdampak bencana yang terjadi sejak Selasa lalu.
"Proses evakuasi dilakukan sejak kemarin, semua kebutuhan sudah dipenuhi, termasuk kita minta Bulog mengirim beras 20 ton ke semua lokasi bencana,” katanya.
“Evakuasi, pencarian, penyelamatan korban, dan penanganan masyarakat terdampak banjir terus diintensifkan. Di sejumlah wilayah, air mulai surut, termasuk lokasi terparah seperti Gowa.”
Mulai pulang
Sejumlah warga mengaku telah berani pulang ke pemukiman untuk sekadar mengecek kondisi rumah atau membersihkan rumahnya dari lumpur dan sampah akibat banjir.
“Saya sudah kembali ke rumah. Tadi sudah bersih-bersih. Terlalu banyak lumpur,” kata Muhlis Sirajuddin, seorang warga Kelurahan Mangasa, Kecamatan Tamalate, Makassar, saat dihubungi dari Jakarta.
Menurutnya, banjir di hampir seluruh pemukiman padat di Kecamatan Tamalate mulai surut sehingga tersisa lumpur dan sampah.
Warga Kelurahan Sungguminasa, Kecamatan Somba Upo, Kabupaten Gowa, Irna Wati juga menyatakan banjir mulai surut di daerahnya.
“Meski tadi sempat terjadi hujan, namun tidak menimbulkan banjir susulan,” katanya, seraya menambahkan banyak warga di daerahnya juga sudah kembali ke rumah.
“Tapi masih ada yang bertahan di lokasi pengungsian. Saya baru berani pulang karena air sudah surut,” ujar Irna.
Sebelum kembali ke rumahnya, ia mengaku, sempat menginap semalam di pengungsian yang dibangun pemerintah di lapangan Gowa.
Warga Perumnas Antang di Makassar, Andi Masdar, mengaku kompleksnya masih digenangi banjir sehingga petugas gabungan melakukan evakuasi warga.
“Air belum surut-surut. Warga juga masih banyak yang dievakuasi,” katanya.
Direktur Wahana Lingkungan hidup (Walhi) Sulawesi Selatan, Muhammad Al-Amien menilai banjir dan longsor yang menerjang Sulsel, karena buruknya manajemen dan tata kelola lingkungan di kawasan Daerah Aliran Sungai (DAS).
Selain itu, sistem drainase perkotaan yang buruk dan semakin berkurangnya daerah resapan air.
“Ini berdasarkan hasil pantauan dan kajian tim Disaster Desk Walhi Sulawesi Selatan,” katanya.
Dia menambahkan menurunnya kualitas lingkungan di daerah hulu hingga hilir menjadi penyebab lain sehingga banjir dan tanah longsor tidak bisa dihindarkan.
“Di daerah dataran tinggi misalnya, kerusakan hutan terus meningkat sehingga erosi dan sedimentasi meningkat," ujarnya.
Tidak hanya itu, di sepanjang DAS Jeneberang juga banyak tambang galian dan batuan yang mengakibatkan sedimentasi meningkat, sehingga terjadi pendangkalan sungai, yang akhirnya menumpuk di Bendungan Bili-Bili.
Laju air yang deras dari dataran tinggi, tambahnya, semakin cepat bercampur sedimen, kemudian sampai di dataran rendah, perkotaan yang kekurangan daerah resapan dan sistem drainase yang buruk, ditambah reklamasi pantai mengakibatkan air tertahan.
“Maka itu terjadilah banjir,” pungkas Al-Amien.